Berdikari dari Kebun Sendiri

 


Jauh hari sebelum kegiatan berkebun menjamur di saat pandemi, duo eyang bernama Juhariyah dan Jumatin sudah memulainya. Tampaknya hidup sendiri di hari tua tidak semenakutkan yang dibayangkan jika melihat betapa mandirinya mereka hidup berdampingan dengan tanaman-tanaman di pekarangan rumah. Selasa pagi (8/12/20), berkat Mba Zuhana, saya berkesempatan berkunjung ke kebun Duo Mak Tani Legend di Sekolah Eyang Tanoker Ledokombo, ini.

Menjelang Hari Jadinya, Tanoker mengadakan lomba kebun keluarga untuk siapapun warga yang memiliki tanaman-tanaman pangan di pekarangan rumah. Mba Zuhana mengajak saya untuk menemaninya menjadi juri dalam acara ini. Tentu saya senang sekali, mengingat Mba Zuhana bilang akan banyak Mak Tani yang berpartisipasi. Selasa, pukul 6 pagi saya mruput dari Jember Kota menuju Kalisat. Kami berangkat menuju basecamp tanoker, menemui Bu Cicik, founder Tanoker ini. Biasanya hanya melihatnya saat acara festifal egrang, kali ini kami bercakap sedikit soal Mak Tani.


Sampai di sana beliau sedang asyik berkebun. Saya langsung terpesona melihat di area kolam renang tanoker banyak tanaman-tanaman langka yang di tanam. Mulai dari sorgum, telang, peace lily , dan tanaman-tanaman lain yang tumbuh begitu saja di tepi kolam. Khususnya sorgum, setahu saya di Jember tanaman ini hanya ada di Sumber Jambe dan tahun 2019 awal stoknya sempat langka. Rupanya Bu Cicik hanya menanamnya untuk koleksi dan memuliakan benihnya. Sembari menunggu beliau mandi kami disuguhi minuman herbal telang dicampur sereh dan melahap pisang. Nikmat sekali apalagi pas kami belum sarapan, hihihi.


Rupanya ada salah satu teman lagi, Mbak Sari, salah satu dosen yang sebenarnya akan bertemu dengan Mba Zuhana karena ada urusan yang maha darurat. Beliau bergabung dalam perjalanan kami. Sepertinya akan terasa lebih seru dengan kedatangannya.

Sebelum mampir ke kebun peserta pertama, kami memarkirkan motor di dekat lokasi eyang-eyang yang sedang senam pagi. Mereka adalah para siswi di sekolah eyang. Lengkap dengan masker dan faceshield, mereka senam dengan sangat energik. Kami bersiap ke kebun peserta yang pertama, milik dari Eyang Jumatin.


Pertama memasuki pagar rumah, saya takjub melihat beberapa pohon buah mulai dari papaya, buah naga hingga jeruk nagami serta pohon lainnya berderet cantik. Beberapa polybag sawi, brokoli, cabe dan aneka sayur lain tertata dengan sangat rapi. Makin ke belakang makin takjub dengan bagaimana Eyang ini mengintegrasikan nutrisi tanamannya dengan beternak ikan. Mulai dari aquaponik sampai hidrponik pernah dicobanya. Tidak ada yang terbuang dari kebunnya. Sisa sampah dapur dimanfaatkan untuk pupuk dan huma bagi maggot atau ulat yang bisa digunakan sebagai pakan ikan. Tak heran, ikannya tampak seger-seger. Air tempat hidup ikannya ini sekaligus dipakai untuk menyiram tanaman-tanaman. Semuanya murni organik. Sampai cucu Eyang ini hafal dengan citarasa sayur yang dimasak dari kebun. ‘’Ini pasti Eyang beli yaa…’’, kata cucunya saat ketahuan rasa sayurnya beda dengan sayur yang metik dari kebun sendiri.




 
Peserta yang ke-2 adalah kebun milik Eyang Juariyah. Layaknya Eyang Jumatin, beliau juga tinggal sendirian. Tak jarang beliau mengajak tanaman-tanamannya berkomunikasi saat kesepian. Menariknya lagi, selain ada tanaman buah, pangan dan herbal, Bu Juhariyah sangat suka mengoleksi tanaman hias. Mulai dari episcia, miana, Lili, hingga janda bolong ada di kebunnya. Bahkan sebelum janda bolong naik daun Eyang ini sudah menanamnya.




Eyang ini sudah sangat teredukasi terkait teknik bertanam organik di pekarangan rumah. Tanamannya yang muncul kutu putih diberinya pestisida nabati dari larutan yang berisi bawang putih dan sabun cuci piring. Bahkan karena masih tidak mau pergi juga jamur di tanamannya Eyang ini telaten mengusap daunnya satu per satu. Kami di buat iri melihat cabenya yang seger dan tanaman herbal serta pangan yang lengkap. Beliau bilang jika ingin makan tinggal metik di kebun. Sesekali perlu ke warung hanya untuk beli tempe untuk lauk pauk. Lele tinggal panen di budikdamber. Perjumpaan kami ditutup dengan foto bersama dan berkenalan. Baru tahu ternyata beliau berasal dari Trenggalek juga dan menetap di Jember. Serasa seperti bertemu saudara sendiri hihihi.

Selanjutnya kami menuju Kebun Pak Efan, beliau merupakan ketua Kelompok Petani Kencono Wungu. Mereka merupakan produsen benih padi mentik susu yang dulu teman saya beli. Mengapa tidak menggunakan kata Kelompok Tani dan lebih memilih diksi Kelompok Petani? Karena komunitas ini tidak tercatat dalam POKTAN yang ada di bawah naungan Dinas Pertanian. Mereka berdiri atas inisiatif sendiri didampingi oleh Satria Dkk, mahasiswa Fakultas Pertanian UNEJ. Berangkat dari keresahan Pak Efan dengan kotoran sapi yang lewat sungai depan rumah yang aromanya sangat mengganggu, beliau memikirkan bagaimana agar kotoran tersebut berguna. Hingga sekarang mereka fokus bertani semi organik untuk mengurangi penggunaan kimia dan mengurangi limbah pertanian yang terbuang percuma. Meski jumlah anggotanya hanya lima, mereka sangat optimis dengan jalan yang dipilihnya ini.



Waktu kami berkunjung di halaman Pak Efan ada hamparan biji padi yang di jemur. Itu merupakan benih padi mentik susu yang dijual terbatas. Di sudut halaman ada beberapa sayur dan polybag kosong yang baru dipanen. Ada varietas jagung merah, putih yang ditanam di pinggiran. Kolam kecil juga tersedia di sela-sela tanaman yang ditanam dalam polybag. Bunga-bunga langka baru saya lihat di sini. Ada bunga balon yang lucu mirip mainan, entah nama ilmiahnya apa, yang jelas saya baru menemuinya di sini. Kami bercakap sedikit soal pupuk langka dan bahayanya pupuk kimia. 



Karena keterbatasan waktu kami segera pamit ke tempat tujuan utama kami. Bertemu dengan Bu Latifa dan suami, punggawa sekolah Bok Ebok dan Pak Bapak, mendampingi warga dan pegiat literasi keluarga bagi warga di sekitarnya. Mulai dari korban kekerasan hingga anak-anak buruh migran yang kurang pendampingan. Bercakap panjang lebar untuk keperluan liputan Mba Zuhana. Mba Latifa juga yang menginisiasi Kebun Bahagia. Tingginya angka perceraian dan KDRT akibat terpuruknya ekonomi kala pandemic menjadi dasar adanya ‘’Kebun Bahagia’’. Setidaknya kemandirian pangan dan kesibukan mengurus tanaman diharapkan bisa menjadi sumber untuk membenahi keretakan baru dalam rumah tangga. Jika dalam seminggu kebutuhan pangan bisa metik dari kebun sendiri tentu bisa menghemat pengeluaran harian bukan?


Sepulang dari kebun kami melanjutkan agenda diskusi. Terimakasih untuk perjalanannya, semoga lain waktu bisa berbagi cerita  kembali.

 

Komentar