Waktu itu tengah malam. Aku dan Rosy pulang dari cafe tempat
kerja. Kami boncengan motor melewati jalanan yang sepi. Tiba-tiba dari belakang
ada mobil box (atau mobil biasa ya aku lupa duh) menyuarakan klakson
berulang dan keras. Tak puas dengan kami yang minggir mereka lanjut meneriaki
kami. Sontak Rosy marah dan berteriak pada mereka. Aku lupa pisuhan apa yang ia
lontarkan, tapi yang kuingat dia emosi betul waktu itu. Kalau sudah seperti
itu, aku diam saja. Ikut merasakan emosinya sembari deg-degan.
Rosy adalah perempuan paling pemberani sekaligus cengeng yang
pernah kukenal. Masih kuingat betul saat itu Kongres PPMI terakhir kami di
Surakarta. Seperti Kongres sebelumnya dibutuhkan sosok-sosok vokal yang bisa
melancarkan prosesi sidang untuk menyuarakan usulan dari masing-masing kota.
PPMI Jember waktu itu sedang mengalami kekosongan Sekjend. Sementara yang
berangkat kebanyakan anak-anak baru. Waktu itu diputuskan sidang komisi. Saya dan
beberapa teman kebagian ikut komisi bersama Rosy. Sisanya masuk di timnya Amin.
Beberapa kali saat memberikan usulan selalu saja usulan Rosy dipatahkan
mentah-mentah. Rosy menangis. Kami membantu pun rupanya masih kurang kuat. Entah
bagaimana ceritanya suara perempuan tak punya banyak kekuatan di forum itu. Rosy,
salah satu yang cukup berani.
Sebelum memutuskan untuk tinggal di kontrakan AJI, aku
sempat memikirkan banyak hal. Sebelumnya aku tak pernah bersedia sekamar dengan
oranglain. Aku takut mereka terganggu jika aku sedang badmood atau saat aku sedang tak niat merapikan kamar. Tapi aku pikir kali ini Rosy berbeda. Dan
mungkin sudah waktunya aku belajar berbagi kamar dengan orang lain. Jadilah kita
seatap mulai hari itu.
Jika Rosy berpikir aku perempuan yang kuat menghadapinya aku
rasa terlalu berlebihan. Aku termasuk orang yang sensitif. Sedari kecil ibu
selalu bilang aku ini mudah tersinggung, mungkin ini jadinya aku menjudge
diriku sendiri sensitif. Tapi saat digembleng di Tegalboto, aku diajarkan
menghadapi Mas Agus yang dulunya kaku betul, Toni yang mulutnya nylekit, juga
teman debat macam Nizzar yang keras kepala, atau Yudis yang pernah bikin Atul
Nangis. Untung masih ada Sekli , Mas Bill dan Atul yang cukup netral
mendinginkan kepala kami. Jadi setelah omongan nylekit masuk kuping, aku tak
pernah menyimpannya lama-lama. Aneh, aku tak pernah dendam sama mereka. Mereka
orang-orang jujur yang sudah seperti keluarga sendiri (huekkk). Sekasar apa
pun. Itu jadi bekal yang kugunakan untuk menghadapi Rosy. Ditambah aku sudah
menghadapi kekerasan verbal sejak kecil.
Pernah suatu ketika aku sungguh tak nyaman dengan ucapan
Rosy. Aku juga sedang kacau saat itu. Hingga memutuskan pulang ke rumah
sejenak. Lalu kembali dengan kondisi yang cukup membaik. Kembali haha-hihi
seperti sebelumnya. Jika waktu diputar dan disuruh memilih tetap di kos
sebelumnya atau tinggal di Kontrakan bersama Rosy, aku tetap memilih yang
kedua. Kata seseorang aku ‘’cupu’’ betul, aku ingin belajar berani ya dari
Rosy. Wkwkwk.
Rosy yang kelihatannya lebih punya sisi maskulin daripada
feminin, ternyata pandai memasak (yang selama ini dikonstruk kecakapan yang
lebih memerlukan sisi feminin). Dia bercerita jika di keluarganya, papa mamanya
jago masak. Dia sering turut serta menyajikan hidangan besar macam rawon, gulai
ayam, dsb, tiap ada acara besar. Selama di kontrakan, masakannya juga enak. Dia
sangat menyukai sayur. Satu trik yang kadang kutiru adalah makan selada isi
daging ala korea. Rosy sangat marah jika banyak makanan terbuang. Pernah selepas
acara PPMI nasi yang tersisa ketahuan tak dihangatkan dan basi lalu dibuang,
dia marah.
Waktu kecil Rosy pernah berantem dengan teman laki-lakinya. Sampai
anak laki-laki itu menangis. Selama bergaul dengannya aku paham betul kalau
Rosy marah atau tak senang dengan seseorang itu pasti ada penyebabnya. Dia tak
bisa menutupi sesuatu yang tidak membuat perasaannya nyaman. Blak-blakan. Di titik
ini kita sama, hanya saja level Rosy sudah di tingkat dewa.
Saat berbagi cerita soal pengalaman masa kecil yang
membentuk kondisi psikologis kita masing-masing kita akhirnya paham. Mengapa dia
yang begitu pemberani mudah sekali menangis. Mengapa aku yang kadang kelihatan
rapuh tapi berani bertahan pada hal-hal yang menguji kesabaran betul. Mengenai kebiasaanmu
mengurung diri di kamar dan mood-mood an membersihkannya, aku tak terganggu
karena juga begitu. Aura emosi negatif yang kadang muncul toh itu siklus yang
wajar. Jika aku tak sabar dengan Rosy yang begitu, mungkin aku juga tak akan
sabar bekerja menghadapi anak berkebutuhan khusus macam autis maupun ADHD yang
secara emosi menguras kesabaran.
Rosy juga pendengar yang baik. Meski waktu itu aku kadang
masih suka muter-muter ngomongnya dan tidak to the point. Aku belajar untuk
bicara lebih sistematis. Agar tidak dikendalikan perasaan.
Maka ketika dia pergi, meski kami bukan teman yang sangat
dekat aku merasa kehilangan. Apalagi setelah membaca tulisannya tentang selera
kulinerku yang unik (lebih tepatnya aneh, wkwkwk).
Semoga kebaikan selalu menyertaimu, Rosy.
Komentar
Posting Komentar