Mama
bilang kita akan pergi ke sekolah yang baru lagi. Dengan kemarahan yang sama
aku tidak suka dibangunkan lebih pagi dari biasanya. Tapi ya sudahlah, mama
juga tidak akan mengerti. Ada sedikit ketakutan apakah nanti sekolahku yang
baru menyenangkan. Aku pikir tidak ada yang lebih menyenangkan dari sekolahku
yang dulu. Setidaknya tidak seperti sekolah biru kemarin. Atau setidaknya aku
tidak lagi dituntut terapi setiap hari. Aku tak suka.
Mama
mengantarku dengan sepeda motor. Sepanjang jalan banyak sekali anak-anak
sepertiku diantar papa atau mamanya. Aku tak punya papa, jadi tak tahu
bagaimana rasanya diantar papa. Sejak kecil mama yang merawatku. Sembari
memandangi roda-roda berputar di jalanan, sampailah akhirnya di sekolahku yang
baru. Pagar hitam dan gedung yang lebih besar dari sebelumnya. Ada ayunan,
jungkat-jungkit, prosotan di depan gedung kecil yang warna-warni. Aku langsung
berlari ke sana, mama gagal mencegahku. Aku meluncur di prosotan. Dari jauh
mama tampak mengetik sesuatu di hp nya. Aku berpindah main ayunan. Senang
sekali rasanya bisa main di sini.
Raut
mukaku berubah saat tiba-tiba seorang perempuan berbadan besar dengan rambut
pendek datang menyalami mama. Mama melambai dan memanggil namaku. Aku tetap
diam saja. Lalu mereka datang. Mama memelukku dan menjelaskan bahwa dia adalah
guru pendampingku di kelas. Aku tak begitu mengerti. Tapi sepertinya ini bukan
pertanda baik. Mama pergi meninggalkanku dan perempuan ini berdua.
Dia
mengulurkan tangan, mencoba berkenalan.
‘’Bu
Mita...’’ katanya dengan mulut yang dibuka lebar-lebar. Lalu menanyakan siapa
namamu. Aku tak juga menjawab sambil melihat-lihat ke tempat lain.
‘’Siapa
na...ma....mu???’’, dia lalu membetulkan kepalaku agar menatapnya. Aku tak juga
menjawab. Lalu dia menjawabnya sendiri.
‘’Gauri
Agatha..... Dipanggil U...riii....U....riiii’’, katanya sedikit keras sembari
memegangi kepalaku. Aku mengikutinya.
‘’Uyiii....’’,
kataku. Dia langsung tersenyum dan bersorak.
‘’Pintaaar......’’
ucapnya dengan keras.
Dia
bergegas menggandeng tanganku menuju ke suatu tempat. Aku membatu tak mau. Aku
masih mau main di sini. Dia terus memaksa.
‘’Uriii,
ke kelas, be...la... jar...!’’ ucapnya.
Aku tetap menggelengkan kepala
tak mau. Dia mulai menarik tanganku lebih kencang. Kami tarik menarik. Karena
dia lebih besar, aku kalah. Aku mengikutinya dengan terpaksa.
Komentar
Posting Komentar