Lama
aku tidak ke sekolah sejak kejadian yang menyebalkan itu. Setiap hari ada
perempuan berkacamata bulat datang ke rumah. Aku tak paham, kata mama dia
adalah terapis baru untukku. Aku tak paham terapis itu apa. Ini bukan pertama
kalinya. Mama sering mengajakku bertemu dengan orang-orang macam ini. Memaksaku
melakukan ini dan itu. Tiap terapi, aku seringkali takut dan menangis.
Kacamatanya yang bulat
dan senyum penuh di bibir tidak juga menurunkan rasa takut itu. Seminggu yang
lalu, aku hanya berdua dengannya di kamar rumah kami yang kosong. Di kamar ini
mama hanya meletakkan satu meja dan dua kursi yang saling berhadapan. Tanpa
jendela. Hanya ventilasi kecil dan warna tembok dengan cat yang putih pekat.
Dia memberikan banyak
pertanyaan dengan nada yang tinggi. Aku dipaksa untuk melihat matanya.
Tangannya memegang kepalaku agar bersedia melihat matanya. Aku tak suka.
Beberapa detik saja pandangan mataku melayang lagi menolak matanya. Dia
memaksaku lagi lebih keras. Lalu memberi pertanyaan. Suaranya keras sekali.
Telingaku sakit mendengarnya. Aku menangis kencang.
Aku juga dipaksa
mengikuti perintahnya. Berdiri, duduk, lompat dan entah apalagi. Aku bosan dan
takut padanya. Mama, bolehkah aku libur terapi sehariii saja?*
*lanjutan potongan cerita fiksi Gauri Agatha by Fitri Hamasah.
Komentar
Posting Komentar