Sebuah gedung sekolah
yang berwarna biru. Tak banyak mainan. Tak ada prosotan. Burung dari kertas
tidak bergelantungan di jendela. Hanya ada dua ayunan di pojok lapangan.
Warnanya coklat kusam. Tak ada yang main di ayunan itu. Apakah di sekolah ini
tak boleh main ayunan?
Aku
dan mama sampai di kelas baru. Seorang perempuan berkerudung kuning menyambut
kami. Mereka bercakap agak lama. Mama bergegas pamit. Aku diminta mama mencium
tangan perempuan itu. Tangannya membetulkan kepalaku agar menatap matanya. Aku
bisa melakukannya satu detik saja. Mataku sulit untuk menatap mata siapapun
lama-lama.
Mama menciumku, aku
memeluknya erat. Tiba-tiba aku ingin pulang saja. Tapi mama tetap pergi.
Meninggalkanku dengan perempuan berkerudung kuning ini. Aku tetap enggan
menatapnya. Lalu tangannya membimbingku untuk masuk ke kelas.
Kelasnya ramai. Aku duduk di samping seorang
anak perempuan yang terus berbicara dan mencoba menyapa. Aku langsung merasa
pusing dan memegangi kepala. Anak-anak begitu bising, dan yang ingin kulakukan
hanyalah menangis. Aku menangis hingga perempuan tadi datang menghampiri. Dia
memintaku untuk berhenti menangis. Tapi aku tak mau, lebih tepatnya tak bisa.
Suaranya tambah tinggi. Tangisku semakin keras. Aku membuang tas dan buku tulis
yang baru dibelikan mama ke lantai. Lalu tanganku memukul kepalaku sendiri.
Anak-anak lain melihatku.
Aku tak peduli. Aku marah, teriak dan
terus menangis. Kencang dan lama sekali. Aku hanya ingin pulang. Aku benci
kelas ini. Tapi tak ada yang bisa kukatakan. Aku hanya bisa menyebut ‘’Mama...’’
sambil terus menangis sesenggukan.
Perempuan
itu menunjukkan raut muka yang menyebalkan lalu segera ke depan kelas. Dia
mengabaikanku yang terus menangis. Dia mengajak anak-anak lain tertawa dan
bernyanyi. Aku tak suka pada mereka.
Aku ingin sekolahku yang lamaaaaaaa!*
*lanjutan potongan cerita fiksi Gauri Agatha by Fitri Hamasah.
Komentar
Posting Komentar