pict: mojokertotimes.com |
Sembari menunggu nasi dingin saya akan menulis sesuatu sore
ini. Tentang sebuah penemuan sederhana, dalam hidup saya. Biasa saja sih, tapi
tidak apa-apa, memangnya siapa yang menuntut semuanya harus luar biasa?
Seminggu yang lalu saya meminjam buku Sekli selepas
memperingati ulangtahunnya kecil-kecilan di kosan. Judulnya ‘’The Happiness
Project’’ karya Gretchen Rubin. Saya bukan penikmat buku-buku motivasi ala
pengembangan diri atau semacamnya, tapi selepas baca sinopsis dan gaya
penulisannya, saya cukup tertarik membawanya pulang. Apalagi buku pesanan saya dari
@bukubulek belum datang jadi bolehlah ke buku ini sambil menunggu.
Buku ini berkisah tentang seorang perempuan yang merancang
dan mengaplikasikan kegiatan dan upaya-upaya untuk bahagia bulan demi bulan
dalam setahun. Tiap bulannya dia menentukan apa yang ingin dicapai, semisal
pada bulan januari dia akan memulai dengan ‘’Meningkatkan Energi’’. Dia menceritakan
upaya-upaya agar tujuannya tercapai dengan kegiatan sederhana seperti tidur
lebih awal, berolahraga, merapikan benda di rumah, menangani tugas yang ditunda
hingga bertindak lebih energik. Dia menceritakan upayanya dan menegaskan bahwa
tiap orang punya poin berbeda untuk menemukan kebahagiaannya dan bahagia perlu
diusahakan, tanpa menggantungkannya pada orang lain. Hingga saya menulis ini
saya baru sampai di bulan Juni dan cukup terhibur membaca cerita-ceritanya yang
diselingi hasil penelitian dan kutipan tokoh ternama seperti Oscar Wilde,
Benjamin Franklin, Jung, dsb.
Akhirnya saya merefleksi kehidupan saya akhir-akhir ini,
semakin dewasa saya semakin kesepian karena lingkaran pertemanan yang semakin
sempit dan akan semakin sempit beberapa bulan mendatang. Baru-baru ini saya
menemukan salah satu metode self healing sederhana saat pikiran saya sumpek dan
bosan sendirian di rumah. Saya tak terlalu suka ngopi jadi saya ingat-ingat
lagi apa yang membuat rasa sumpek itu pelan-pelan memudar. Jawabannya adalah
jalan-jalan di pasar.
Dulu saya mengira cuci mata di pusat-pusat perbelanjaan terutama
pakaian akan meredakan mood yang memburuk, ternyata tidak bagi saya. Kalau tak
membeli kita ada perasaan ingin, sementara kalau membeli jadi menyesal karena terkesan membeli sesuatu yang tak begitu
dibutuhkan. Berbeda dengan di pasar, seperti yang akan saya kisahkan berikut
ini.
Seringkali sepulang kerja saat kami dipulangkan lebih pagi
saya memilih ke pasar. Merasa sumpek di rumah dan tak tahu hendak kemana, saya
memilih pasar. Meskipun sesampainya di sana saya hanya membeli tiga potong
tempe dan dua buah kentang, tetap saja saya tak menyesal . Ada kesenangan
tersendiri saat saya melihat sayur mayur yang ditata rapi, interaksi penjual
dan pembeli, semangat penjual menjajakan dagangan, dan semangat penghuni pasar
yang menguap seperti bau ikan di pasar ikan. Di Jember saya baru berkunjung ke
pasar Tanjung dan Curahnongko (dulu tempat KKN), meski bisa dibilang biasa
saja, tapi tetap tempat ini menjadi salah satu tujuan saya tiap sumpek. Berkeliling
sendirian sambil ngakak saat lupa rute di dalamnya. Semacam labirin, saya baru
mengingat arah tempat yang biasa saya tuju setelah empat kali ke sana.
Meski demikian, sayang sekali belum banyak penghuni pasar
tanjung yang menata dagangannya dengan rapi dan cantik. Misalnya, baru satu
saya menemukan pedagang sayur yang menata dagangannya dengan sangat rapi,
berdasarkan ukuran, disusun cantik, dan beberapa dikemas dengan kantong
plastik, meski yaa belum ramah lingkungan, tapi berkat usahanya ini tempat ini
paling banyak dilirik pembeli tiap ke lantai dua di area pasar. Saya terinspirasi
dengan eksotisme pasar setelah membaca postingan Gede Kresna, pendiri Rumah
Intaran di Bali, yang tiap singgah di beberapa kota di Nusantara tak lupa
mengamati dan mendokumentasikan keindahan pasarnya mulai dari beberapa pasar di
Sumatra, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan lainnya. pedagang-pedagang ini sudah sangat
ramah lingkungan. Jika kita dibuat melongo karena beberapa supermarket di Vietnam mulai beralih ke daun pisang untuk
kemasan beberapa produk sayurnya, maka pedagang-pedagang di pasar ini lebih
kreatif lagi.
Misalnya ada yang mengemas gula dengan daun lontar,
penyusunan daun salam yang sangat cantik, pemaksimalan transportasi (sepeda
ontel, dsb) sebagai tempat berjualan, penataan buah dalam baskom yang tertata
tiap jualannya, dan hal menarik lainnya (bisa dicek langsung di fb Rumah
Intaran atau Gede Kresna). Hal sederhana macam itu sebenarnya merupakan salah
satu strategi penjualan yang begitu cerdas untuk membuat pembeli tertarik. Mulai
dari penataan, pemilihan tempat, kebersihan hingga penyortiran produk yang
dijual semua dilakukan tanpa teori bla bla bla. Dan yang pasti sudah sangat
ramah lingkungan, kembali ke alam dan sudah sangat cerdas dibanding kita-kita
yang baru sadar bahwa konsep ramah lingkungan itu semakin penting sekarang.
Mungkin saya perlu main-main ke pasar-pasar di Jember
lainnya, mengingat sebentar lagi kawan-kawan saya akan lebih banyak yang pergi
jadi harus mengatur siasat agar lebih betah di Jember meski sendirian. Pergi ke
pasar hanya salah satunya, bisa jadi nanti bosan. Dan saya harus menemukan ide
yang lain, entah memperdalam dongeng, menulis buku, main ke petani, atau ide
yang lain?
Selamat melawan rasa bosan dan kesepian.
Komentar
Posting Komentar