Untuk yang Hari Ini Ulang Tahun




Pagi itu Kau telah menyiapkan kemeja terbaikmu. Selepas subuh meminjam setrika tetangga agar bagian yang kusut bersedia menghilangkan jejak. Sandal yang menganga pemberian sodara sengaja kau paku, agar aman digunakan meski tak terlihat baru. Langkahmu tenang dengan beberapa harapan untuk anak ragilmu. Dan semesta merestui, namamu dipanggil untuk naik ke panggung, mendampingi anakmu yang mendapat juara dua paralel satu angkatan menjelang lulus SMP.

Tapi anakmu itu semakin besar sekarang. Ia ingin bercerita banyak di hari ulangtahunmu, semoga hatimu tenang dan terhibur, seperti saat kau mendongeng untuknya saat kecil dulu.

‘’Bapak apa kabar? Maaf jika sahurmu masih sepi.  Aku juga sering kesepian di sini. Sampai lupa kalau-kalau tidak baik memeluknya terus menerus. Akhirnya sepi menemukan tempatnya sendiri.
Kadang aku masih cengeng, Pak. Dan kadang aku menjadi terlalu berani. Tinggal di rumah orang sendirian, melawan ribuan semut hampir tiap hari, bangun dengan kaki seribu di kaki kadang di tangan, cacing yangkeleleran hingga klabang yang hampir menyusup di bawah karpet tidurku. 

Mulanya aku takut dan lelah sendiri tiap rumah ini banjir atau tiba-tiba semut gatal mengkudeta saat pulang kerja. Sudah capek, harus ngepel dan mengusir semut-semut nakal itu agar bersedia keluar. Beberapa baju yang akhirnya basah dan cucian kehujanan yang tak sempat diangkat. Lama-lama aku terbiasa, sambil ngakak saat ngepel rumah dan menyapu semut sambil keringetan ngomel tak jelas dalam hati. Selebihnya kutinggal tidur, dapat tempat berteduh saja sudah mending, iya kan Pak?

Terhitung sudah hampir 4 bulan sejak kau dan ibu memintaku untuk tidak kembali ke Jember. Kalian takut aku tak bisa menjaga diri, hidup ini keras terutama bagi perempuan, kata kalian waktu itu. Dan aku tetap kukuh, ingin kembali. Kalian menyerah dan akhirnya membiarkanku tetap pada pilihan ini: aku masih ingin merantau.

Jujur, ketakutan kalian bukan tanpa alasan. Beberapa hari sebelum ini di perumahan tak jauh dari tempat tinggalku sekarang terjadi pemerkosaan yang pelakunya seorang kuli bangunan. Tentu aku juga takut. Tinggal sendirian, beserta motor, pagar tak terlalu rapat, pintu yang tipis dan sisi kanan kiri dan depan yang masih belum berpenghuni. Tetangga lumayan jauh. Dan banyak kuli bangunan seliweran sekitar rumah. Tapi aku berupaya berani saja. Toh kadang ada Pak Pak yang keliling mengecek rumah-rumah ini kalau malam. Aku, masih anakmu yang pura-pura berani sampai lupa kalau sedang pura-pura.

Masih jelas kuingat dulu aku sangat takut ke wc sendirian dan meminta Bapak menemani di luar. Sembari ngeden, memanggil bapak, lalu lega saat kau menyahut panggilanku dan tainya langsng keluar. Bahkan dulu aku sangat takut jika ditinggal sendirian. Takut petir, takut dibully anak sebelah, takut dengan ibu yang marah-marah karena tak sabar dengan kenakalanku dan takut-takut lainnya. Semuanya berakhir padamu, kau pahlawan kesayanganku waktu itu.

Aku belajar banyak hal darimu yang pendiam. Tanpa diucapkan, wujud cinta yang sepenuhnya adalah tindakan. Maka, aku kadang tumbuh jadi anak yang gengsi menunjkkan perhatiannya melalui kata-kata. Dingin, tak acuh, lalu diam-diam memperhatikan terlalu besar dengan apa yang bisa diberikan. Ya kadang berbalas baik, kadang tidak. Tapi tidak ada yang salah dengan memberi bukan? Aku pernah baca perkataan Gandi yang bunyinya begini: ‘’Mencintai memberi kita keberanian, dicintai memberi kita kekuatan’’. Menguatkan orang lain tak ada yang salah kan Pak? Agar mereka juga tahu, bahwa mereka sangat berharga. Terlebih jika aku tak diperlakukan yang sama ya sudah, aku sudah belajar untuk lebih berani.

Aku sangat berterima kasih untuk dongeng yang kau berikan saat kecil dulu. Kancil yang cerdik itu telah mengantarkan anakmu ini pada dunia baru. Dunia yang pelan-pelan menjadi tempat baru mencurahkan cintanya, kelompok dongeng litera, namanya. Masih bayi dan sedang belajar ditekuni.
Mengenai pekerjaan, jujur aku senang Pak. Mungkin impian terpendam yang lama kusimpan telah menemukan jalannya. Aku tak perlu kuliah SLB agar bisa jadi guru anak berkebutuhan khusus. Meski tantangannya harus menyesuaikan dengan sistem yang sebenarnya tak begitu kusukai, tapi sudahlah, aku harus menyelesaikan dan menikmati pekerjaanku.

Jika kau bertanya mengapa aku bersikeras di sini, hidup sendirian di kota orang, gaji awal yang pas-pas an, bisnis kecil yang belum tentu menjanjikan ? Jawabannya sederhana Pak, aku ingin mandiri dan belajar hidup susah. Meski sebelumnya sudah susah, tapi aku belummerasa mandiri sepenuhnya. Sekarang kalau lapar di tempat kerja nasi dan krupuk pun rasanya nikmat. 

Pak, makasih belum mendesakku dengan pertanyaan mengenai pernikahan. Karena jujur, aku belum kepikiran itu sampai sekarang. Keinginan itu ada tapi bukan untuk sekarang. Maaf jika mungkin kau dengar beberapa orang yang kuabaikan saat mengirim pesan, apalagi pakai istilah ta’aruf dan sebagainya. Sudahlah, kutaksuka istilah istilah semacam itu. Kenalan ya kenalan aja, temenan ya temenan aja, jika sudah waktunya aku pasti menikah, dengan pilihanku sendiri. Orang baru bisa jadi neraka bagiku dan orang lama belum tentu jadi surga, maka biar aku jalan-jalan dulu.
Ulangtahunmu beberapa hari lagi tapi kuberanikan diri menyusun harapan mulai dari sekarang. 

Pertama, semoga kau sehat selalu, makan dengan cukup dan jangan mau sakit. Maaf jika belum bisa menjagamu, membuatkan kopi dan hal lainnya. Harapan kedua, semoga hatimu selalu lapang menerima kenyataan di depan, entah apapun yang kupilih dan terjadi nanti percayalah, aku tetap anak yang menyayangimu. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun, tapi selalu berupaya agar langkah membuatmu bahagia bisa terlaksana. Terimakasih sudah menjadi bapak yang tak peduli dengan lambe-lambe turah tetangga. Terimakasih sudah mengajarkan bahwa ukuran kebahagiaan bukanlah pada materi, maka ketika kesempatan menjadi guru ini datang kuambil saja. Toh aku masih bahagia meski belum bisa mencukupi pengeluaran bulanan yang tak terduga.

Yang terakhir, semoga kau dan ibu bisa terus saling menguatkan. Kesetiaan dan kesabaranmu tak diragukan lagi. Darimu aku belajar nerimo, berhati lapang dengan apa pun yang kita peroleh, meski kadang aku masih suka menangis, tapi percayalah, itu adalah proses untuk bisa kuat sepertimu.

Semoga jalan kita lancar, terimakasih selalu memberi cinta tanpa banyak bicara.
               

Komentar