Bu Umar dan Sepiring Gado-gado




Jika ditanya mengapa masih memilih bertahan di Jember?

Orang ini adalah salah satu alasan saya.


Dia biasa dipanggil Bu Umar. Perempuan paruh baya, yang juga dipanggil ibu gado-gado waktu masih berjualan di Pujasera Faperta. Saat masih baru (2013) saya harus rela nunggu lama untuk antri menyantap menu andalannya ini. Potongan lontong, taburan kecambah, irisan kubis rebus, irisan tahu-tempe goreng, kentang (yang setahun kemudian dihilangkan karena semakin mahal), dua iris potongan telur rebus, diguyur saus kacang dan 5 biji krupuk yang renyah. Dengan harga 6000, gado-gado yang ciamik ini sudah bisa menyenangkan perutmu. Apalagi ditambah tempe goreng buatannya, dijamin kamu akan kangen rasanya sampai tujuh purnama tiba.

Hingga pada akhir 2014, kami berkenalan lebih jauh, saya masuk anggota studio KAWAN (Klinik Agribisnis Wahana Agro Nugraha), sebuah Studio di prodi Agribisnis yang bergerak di bidang penalaran, kewirausahaan dan pemberdayaan masyarakat. Kedai mungil milik ibu ini merupakan salah satu bentuk kerja dari Studio KAWAN. Pundi-pundi rupiah mengalir melalui masakan-masakannya. Manajemen dan modal dari KAWAN, masak dan pengolahan langsung dari Bu Umar
Setelah menjadi pengurus baru kami membuat beberapa konsep untuk ketiga divisi di KAWAN, salah satunya ya untuk kafe ini. Kami mencoba memperbahuri konsep dan sistem penggajiannya. Bagi hasil lebih kami pilih karena menurut kami waktu itu lebih manusiawi, wkwk. Untuk lebih membuatnya rame kita memasang banner dan menamainya dengan Cafetania, konsep kedai makan mini dengan menu bertema pertanian di dalamnya. Kami latihan beberapa kali dengan ibu ini mau diapakan menu yang kita sajikan nanti. Tak sulit, karena tangan Bu Umar memang sudah master dalam urusan makanan dari sononya. 



Waktu berjalan, jadwal jaga telah disusun, kami bergantian bantu jaga kafe ini. Kesibukan fakultas saintek yang kaya praktikum dan laporan membuat beberapa anggota sering absen. Bahkan ketua menghilang, dan saya diminta pegang kendali. Maka setiap hari saya akan ke kafe ini tiap sela jam praktikum dan kuliah. Membantu mencuci piring, membuat kopi, menggoreng tempe, mengantar makanan dan beberapa pekerjaan lainnya. sesekali membuka modul agar pretest maupun posttest saya aman. Bu Umar sering menawarkan saya makan, yang tidak bisa saya tolak, sebagai upah tiap saya membantu pekerjaannya. Pada saat itulah, beliau sering bercerita apa pun. Tentang anaknya, pengalaman masaknya, dan banyak hal lainnya.

Bu Umar kesulitan untuk diminta membaca, namun sangat baik perkara mengingat. Saat pesanan sedang banyak saya dan seorang teman kadang lupa tadi pesanannya apa, dan pemesan duduk di sebelah mana. Bu Umar sangat hafal nama pelanggan-pelanggan yang biasa membeli padanya. Maka tak jarang mas-mas angkatan tua hobi nian ngopi di sini, Bu Umar berhasil membuat pembeli untuk datang membeli lagi dan lagi. Kadang Bu Umar sangat update tentang gosip percintaan kakak tingkat di fakultas, mau tak mau saya akhirnya tau. Dan tak jarang Bu Umar mencoba menjodohkan saya dengan beberapa yang dikenalnya. Tak ada yang nyantol,wkwkwk.

Kadang bahasa maduranya keluar, saya gelagapan. Dan kadang dia tertawa ngakak tiap kejadian lucu terjadi. Bu Umar, perempuan paruh baya beranak tiga yang sudah pada dewasa, semangat menghidupi hobi dan membantu suami.


Bersama Bu Umar saya diajarkan bagaimana membuat kopi yang nikmat, membuat tempe goreng yang enak, memasak lodeh yang rasanya pas dan beberapa ilmu yang sangat berguna. Beberapa saya ingat, beberapa lupa. Tapi apa pun itu, resep bukan hal utama yang menghidupi masakan miliknya, tapi lebih ke rasa cinta. Pengalamannya di bidang memasak, kesabarannya saat warung sepi, dan keuletannya saat ramai pembeli menjadi bukti bahwa Bu Umar tidak hanya memasak, tapi menyajikan makanan sepenuh hati.

Hingga akhirnya, kebijakan fakultas mulai mengusik. Pujasera yang dulu sederhana dibentuk menjadi sistem monopoli, masing-masing penjual tidak boleh menjual produk yang sama. Pembelian harus melalui kasir. Dan dipotong 10% dari hasil penjualan, perlu digarisbawahi lagi, PENJUALAN, bukan keuntungan. Saya mengajukan protes untuk ini. Belum lagi kadang saat sepi pemasukan hari itu tidak bisa menutupi modal yang dikeluarkan. Belum lagi bentuk kerjasama kami adalah bagi hasil, alat dan modal kami sediakan dan bu Umar yang mengelola bahan-bahannya, kami bagi sama rata. Tapi kebijakan tetap berjalan.

‘’Gimana Bu? Ngga papa ya sedikit dulu, masih awal nanti semoga bisa lebih banyak lagi..’’ kataku pada Bu Umar saat pertama sistem itu berlaku dan warung sepi.
Bu Umar mengiyakan, berapapun yang didapat, ia selalu yakin pasti akan bertambah esok atau lusa.
Benar dugaannya, warung kembali ramai, tetap banyak yang bersedia membeli. Meski ya tetap dipotong 10%. Menyebalkannya lagi, 10 % yang menurut mereka untuk mengelola listrik, air wastafel dsb untuk keperluan memasak dan mencuci priring dan gelas, tidak ada bantuan yang jelas saat air wastafel mati, kami harus menimba di sumur dekat green house yang cukup dalam dengan tampar yang cukup panjang. Kadang saat kami benar-benar padat, Bu Umar melakukannya sendirian.

Berkali-kali protes, tetap saja tak banyak membuahkan hasil. Puncaknya, saat saya hampir lengser dari kepengurusan, pujasera ditutup, tidak boleh ada yang berjualan di sana. Alasannya perbaikan, namun bulan demi bulan berjalan hingga berganti tahun, pujasera tetap mangkrak. Konon, katanya Telkomsel akan mengambil alih, namun entahlah, tak ada kabar yang jelas sampai sekarang. Protes kami mental, unsur politis yang sedikit berseberangan antar dua prodi utama memperparah keadaan. Dekan baru, orang-orang baru dan kebijakan baru. Belum selesai monopoli membuat kami menderita, lantas pujas ditutup. Beberapa penjual di pujas kecewa, mereka kehilangan mata pencahariannya. Konyol, tak ada demo, tak ada apa, mahasiswa faperta terima-terima saja mereka kehilangan tempat ngopi dan makannya, L(((

Bagi generasi yang sempat menikmati adanya pujas, sangat merasa kehilangan saat melihat tempat itu tak lebih seperti hamparan area tua penuh rumput dan besi yang sudah berkarat. Dulu sekali, sembari hectic mengerjakan laporan secara berkelompok, tukar referensi tipus, dan sebagainya kami selalu memenuhi  gazebo-gazebo yang ada di sana. Sembari memesan makanan, kopi dan apa pun. Atau sekedar bercakap sederhana sembari menunggu pergantian jam kuliah tiba. Tak jarang anak-anak UKM, himpunan dan studio mengadakan acara di sini, gratis dan bisa dikonsep semau kita. Lha sekarang, mangkrak, menyisakan kenangan dan keinginan kami tiap ingin makan siang atau ngopi. Beberapa angkatan tua yang biasanya bisa di sini sambil nunggu dosen untuk revisi harus ngungsi ke warung di luar fakultas. Hem, dan Bu Umar cemas menunggu kapan Pujas dibuka lagi.

Maka Bu Umar terus menanyakan perkara pujas tiap kontak atau main ke rumahnya. Dia menjual cilok dan beberapa es di dekat ruang tamu. Tentu tak banyak tapi hanya itu yang bisa dilakukan. Saya sudah lengser, pengurus baru lebih cepat lulus dari yang saya duga dan tidak ada transfomari ke generasi di bawahnya. Studio KAWAN telah memasuki fase senjakalanya. Dan pujasera yang dulu menggaungkan nama KAWAN telah teronggok, penuh besi karatan, meja berdebu dan hal-hal lain yang mengingatkan saya pada banyak hal.

Setelah lulus, entah bagaimana ceritanya, saya cemas dengan Bu Umar. Dia begitu pandai memasak. Sering diminta untuk memasak oleh beberapa kenalannya namun tak tahu bagaimana cara agar kemampuannya ini bisa lebih diketahui lebih banyak orang lagi. Beberapa kali saya ngobrol sederhana dengan menantu atau anaknya mungkin mau bantu catering sederhana dan main media sosial, tak kunjung ada respon. Dan akhirnya saya memberanikan diri untuk bekerja sama dengan Bu Umar. Namanya Ngakan Catering, Bu Umar yang memasak, kami yang mengonsep dan memasarkan.
Selain Mak Sri, Bu Umar adalah salah satu perempuan yang membuat Jember serasa seperti rumah sendiri. Sering saat merasa bosan saya main ke rumahnya, mendengarkan ocehannya dan sering kali ditawari masakannya yang nikmat, kadang saya pura-pura sudah makan kadang ya saya makan.

Sejak di KAWAN dan sering bergaul dengan Bu Umar saya punya keinginan kelak mendirikan cafe sederhana dan perempuan-perempuan macam Bu Umar bisa masak tanpa dipotong 10% di dalamnya. Hehe, maka saat takdir membawa saya kembali ke Jember entah sampai kapan, saya akan tetap bersimbiosis dengan Bu Umar, untuk menyajikan masakannya yang nikmat ke piringmu. Semoga beliau sehat selalu dan tetap bisa memasak dengan bahagia.  

Komentar