Kadang, kita kesulitan merekam jejak sendiri. Tahu-tahu
napas kita sudah ngos-ngosan, sampai di tempat yang tidak pernah kita duga
sebelumnya. Lalu berhenti sejenak, menengok ke belakang dan menyadari satu hal:
aku tadi lewat mana saja ya?
Baiklah, saat di kamar mandi sore ini bukan pipis atau tai
yang keluar, tapi keinginan untuk menulis. Ya sudah, saya berak tulisan di sini
saja ya. Semoga bisa jadi pupuk esok atau lusa.
Sampai kapan Kelompok Dongeng Litera ini akan bertahan? Ya,
sampai kapan. Melihat kelahirannya dulu tanpa sengaja, pertanyaan ini mulai
berputar-putar di pikiran. Om Ade Museum Huruf bertemu dengan saya kembali
(setelah lama tak berjumpa selepas kegiatan mendongeng di Toga Mas beberapa
tahun yang lalu) di acara International Women Day. Dia lama mencari saya dan
bercakap banyak hal agar saya kembali menggeliatkan dongeng di Jember. Kami bertukar
pikiran beberapa lama dan menyadari kalau-kalau beberapa minggu sebelum ini
saya memang bermaksud kembali lagi ke dunia dongeng setelah vakum beberapa
tahun. Mungkin ini yang namanya semesta merestui. Tidak ada yang salah dengan
keputusan saya untuk masih memilih tinggal di Jember.
Dalam benak saya sudah muncul nama-nama yang akan dihubungi
untuk merealisasikan ini. Malam itu disepakati, kelas dongeng dan komunitas
dongeng akan bekerjasama dengan Museum Huruf ke depannya nanti. Pagi sekali
teman-teman yang saya hubungi, Nizzar, Lusi, Niera, bersedia dengan sedikit
keraguan. Dan akhirnya, dalam waktu yang singkat saya dan Om Ade memberanikan
diri untuk merayakan Hari Dongeng yang tinggal 2 Minggu lagi. Di awal rapat
dengan Nizzar dan Lusy, kami sepakat harus memutuskan nama. Karena sulit kami
pikirkan dulu di kos masing-masing, esoknya nama Kelompok Dongeng Litera yang
saya usulkan disepakati. Tanggal 12 Maret 2019, kami sepakati sebagai hari
kelahirannya.
Mengapa memilih Litera? Karena dalam benak kami komunitas
ini nanti tidak hanya mendongeng dengan cerita yang sudah ada, tapi dapat
menghasilkan karya dongeng baru serta mengenalkan literasi dongeng di
masyarakat. Ya dalam benak ini ya, realisasinya sambil jalan dan berdoa,
hihihi. Beberapa proker disusun, tawaran kami terima dan sambutan masyarakat
yang menyenangkan. Dan sekali lagi pertanyaan ini muncul di kepala: Sampai
kapan ya nanti kelompok ini bertahan?
Tidak bisa dipungkiri, lika-liku bergabung dengan komunitas
literasi banyak memberikan saya pelajaran. Mulai dari pergulatan idealisme,
pro-kontra kegiatan dan bisnis sosial, bertahan saat yang lain mulai gugur,
membangkitkan gairah komunitas dan hal-hal lain yang sebelumnya hanya nampak
gemerlap dari luarnya. Saat magang di Warung Arsip, Faiz Ahsoul, pegiat Forum TBM
Indonesia, berbagi pengetahuannya tentang komunitas. Komunitas yang hidup, harusnya
bisa membantu memenuhi apa yang menjadi kebutuhan anggotanya. Entah kebutuhan
untuk mengembangkan skill, aktualisasi diri, meningkatkan kemandirian ekonomi,
dan sebagainya. Beberapa yang bertahan membuktikan ini, Rumah Bintang sesuai
yang diceritakan Mang Nik salah satunya.
Penggerak komunitas ya manusia, yang dinamis. Maka saya angkat topi untuk pegiat komunitas yang bisa istiqomah di jalannya tanpa kehilangan idealisme yang dibangun sejak awal. Aktifitas sosial kadang menakutkan di mata saya setelah beberapa kali berhadapan langsung dengan hal-hal yang berlawanan dengan nurani. Bahwa yang sebelumnya nampak ‘begitu’ bisa sangat berbeda saat kita sendiri tahu apa yang ada di dalamnya. Maka saya mulai gelisah. Lepas dari beberapa komunitas dan merasa seperti ada yang hilang. Maka saat Kelompok Dongeng Litera ini berdiri saya seperti menemukan diri saya kembali. Saya punya keluarga yang akan membantu menghidupi komunitas ini.
Kebiasaan buruk memikirkan hari esok saya buang pelan-pelan.
Bahwa terkadang yang terbaik adalah hidup di masa sekarang untuk menghidupi
Kelompok Dongeng Litera yang masih bayi. Apa yang terjadi esok atau pun nanti,
dia pasti akan menemukan jalannya sendiri.
Awalnya kami hanya bertiga riweh ke sana kemari. Lalu Ela
dan Unying (kawan dari UKMK) bersedia gabung. Dan disusul Salman, mahasiswa
tunadaksa yang punya minat besar di bidang teater. Kami senang, Salman tidak
minder dengan kondisinya dan punya semangat besar untuk menghidupi komunitas
ini. Sampai di sini, kami masih meyakinkan diri pelan-pelan. Apa yang kami dapat sebelumnya semoga bisa
menjadikan kami lebih tahan banting lagi di komunitas ini.
Jadi, semoga semesta merestui.
Komentar
Posting Komentar