Dua hari yang lalu, tepat satu bulan Kelompok Dongeng Litera
berdiri. Permintaan pertama untuk berbagi dongeng setelah pertunjukan di hari
dongeng lalu datang langsung dari Mas Yes, pengajar di Sokola Kaki Gunung. Sabtu
sore, 13 April 2019 kami sepakat berangkat ke Sokola Kaki Gunung yang berada di
Sumbercandik, Jelbuk, Jember untuk bermalam di sana mengingat rute perjalanan
dari sumber yang kami terima lumayan menegangkan. Rencana awal kami akan
membawakan dongeng pada hari minggunya, namun berkat saran dari Mas Yes, kami
putuskan untuk survey dan berkenalan dengan anak-anak di sana terlebih dahulu.
Hujan gerimis hampir menciutkan nyali kami. Jalanan tentu
licin dan hari hampir gelap. Dengan berbagai pertimbangan dan mengumpulkan
keberanian, kami nekat berangkat pukul 16.30 WIB. Terdapat tiga motor matic dan
5 perempuan nekat menggunakan jas hujan. Lusy boncengan dengan Nizzar, Ella
dengan Agustin dan saya dengan Scoopit (motor kesayangan saya yang kehilangan
spion kirinya). Awalnya saya juga ragu, teman-teman mengkhawatirkan saya
mengingat saya tak begitu lihai mengendarai motor, tapi saya pura-pura berani
saja, ‘’Kalau kenapa-napa ya buat pengalaman saja’’, pikir saya, wkwkwk.
Sampai di Polsek Arjasa, Mas Yes sudah menunggu dengan
sepeda motornya. Dia izin membeli beberapa keperluan yang mungkin dipesan
istrinya di toko retail terdekat. Dia sempat kaget melihat kami yang semuanya
perempuan. Dia mengkhawatirkan kami sekaligus ketawa geli mendengar penuturan
kami yang belum tahu medannya nanti sama sekali dan hanya lihat sedikit saja
lewat youtube. Kami berangkat dengan sedikit debar dan pertanyaan di kepala. Sekaligus
senang, membayangkan suasana sokola dan senyum adik-adik di sana.
Beberapa kilometer pertama jalanan masih mulus. Gerimis mulai
berkurang dan hari semakin redup. Mulai naik, tapi masih mulus. Di sisi kiri
nampak pemandangan persawahan, terasiring yang menyegarkan. Saya Cuma bisa
melirik mengingat jalanan cukup sempit dan harus berhati-hati. Hingga sampai di
jalanan yang cukup berbatu, perasaan saya mulai berdebar tapi ya jalan saja. Mas
Yes bilang, ‘’Ngegasnya yang yakin, pasti aman...’’. Dengan formasi motor Mas
Yes, Aku, Ela-Agustina dan Lusy Nizzar. Tiap di tikungan Mas Yes menunggu kami
dan menggambarkan bagaimana medan selanjutnya. Mas Yes bilang, ini baru
bebatuan pertama dan belum ada apa-apanya dibanding yang di atas nanti. Bisa dibilang,
baru separo perjalanan. Kami menghela nafas sebentar.
Mungkin karena tegang tangan saya agak kaku saat menarik gas
melewati jalan berbatu. Jalanannya cukup sempit, penuh batu dan sedikit licin. Kami
terus berjuang di remang-remang. sampai di satu jalan yang menurut Mas Yes
jalanan paling susah dilalui dari rute sebelumnya. Di sisi kanan ada tebing.
Ukuran
jalan hanya sekitar dua meter tanpa pelindung di sisi kanan. Beberapa lumpur
tampak licin. Kami seperti spot jantung. Mas Yes meminta saya mengikuti
jalannya. Tapi pada bagian tanah yang nampak licin saya ragu dan takut. Motor saya
beberapa kali hampir jatuh. Saya hanya fokus di depan dan mengabaikan tebing di
sisi kanan. Saat jalan semakin sulit dan menanjak motor saya tak mau maju meski
sudah saya gas sekuat tenaga. Mas Yes menolong motor saya. Berikutnya, motor
Ela dan Lusy juga kesulitan. Ela menangis, merasakan jalanan yang licin dan
semakin sulit diterjang. Tapi kami tetap jalan mengingat langit semakin gelap. Masih
dengan rute yang menanjak, belokan, dan batu-batu ganas.
Saya seperti merasa ban tubles saya mau copot. Dengan sekuat
tenaga mencoba mengendalikan setir yang rasanya seperti mau loncat. Tarik rem,
gas, tarik rem, kaki berjaga, tahan napas, begitu seterusnya. Karena sendirian
saya Cuma bisa bergumam dengan Scoopit, ‘’Kamu kuat kok ya, tahan dulu’’. Sesekali
kami melewati jalanan yang cukup mulus(tapi lebih banyak berbatunya). Rasanya seperti
bisa menarik napas sedikit lega setelah tubuh dikoyak batu-batu di jalanan
sebelumnya. Lalu berbatu lagi dan tiba di tikungan mendekati sokola. Motor Lusy
dan Ela sudah tak bisa naik dibantu bapak-bapak penduduk setempat dan Mas Yes. Kami
istrirahat sebentar. Motor kami seperti bau gosong dan tangan kami cukup
kelelahan. Nizzar dan Agustina sesekali harus turun saat jalanan sudah
benar-benar sulit. Dan...akhirnya tepat pukul 18.00 WIB kami tiba di pondok
Sokola Kaki Gunung.
Sebuah rumah panggung beratap bambu dan berdekorasi kayu. Teras
depan dengan pagar bambu pelindung di pinggirnya. Begitu masuk ruang depan
penuh dengan poster belajar huruf, nama-nama hewan, buah, gambaran yang diwarnai
(karya anak-anak di sini). Di sudut ruang depan ada banyak buku anak-anak. Masuk
ke tengah terdapat kamar tidur dan ruang kecil yang tampak nyaman. Lantai kayunya
berakhir di sana dan berujung di dapur beralaskan tanah dengan kompor dan
peralatan sampai bahan masak untuk istri Mas Yes. Di belakang dapur terdapat
kamar mandi lengkap dengan WC. Di belakangnya lagi tepat di luar kamar mandi
tempat mencuci baik itu piring maupun baju. Airnya langsung dari sumber dan
sangat dingin. Suasananya hening, tenang dan menyenangkan. Kami melepas penat,
ngobrol banyak hal dan senangnya lagi Mba Lita (istri Mas Yes) menyajikan
masakannya untuk makan malam kami. Nasi hangat, ikan asin, sayur kacang,
kerupuk dan sambal. Nikmat nian makan malam saat itu.
Mas Yes menceritakan banyak hal. Mulai bagaimana dia bisa
bergabung dengan Sokola Kaki gunung dan bagaimana karakter anak-anak di sini. Dia
berkisah bagaimana baru belajar bahasa Madura ya saat di sini. Menyayangkan sekali
kami yang belum bisa berdongeng dengan bahasa Madura mengingat sudah lama
berada di Jember. Menurutnya sekeren apapun dongeng yang dibawakan nantinya
akan sangat disayangkan ketika anak tidak menangkap maksudnya. Akhirnya dengan
banyak sekali pertimbangan kami akan membawakan dongeng di sini pada hari
pendidikan nanti dengan bahasa Madura. Lusy akan membantu menranslatekannya
untuk kami.
Anak-anak di sini dibesarkan oleh alam. Bagaimana dia bisa
mengenali mana saja tumbuhan yang bisa dimakan oleh kambing dan mana yang
tidak. Bagaimana mereka bisa memanjat pepohonan dengan cepat. Bagaimana mata
mereka jeli mengamati burung kecil di dahan yang jaraknya cukup jauh. Bagaimana
mereka bisa lari-lari di jalanan pegunungan tanpa terpeleset dan jatuh di
usianya yang masih balita. Dan bagaimana-bagaimana lainnya yang sulit bagi
kami, orang-orang dewasa yang area belajarnya lebih banyak di habiskan di kelas
saja.
Orang-orang tua di sini yang tidak bisa membaca huruf
alphabet juga memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menghafalkan hari tanpa
kalender. Tak ada kalender di rumah. Penanggalan umum baru muncul ya menjelang
pemilu seperti sekarang ini. Selebihnya mereka bisa menghafal hari dan
pasarannya tanpa melihat kalender. Mas Yes juga mengatakan bahwa kita sering
kali menjudge mereka buta aksara, padahal ya sebenarnya mereka tahu aksara
arab, membaca al quran dan menghafalkan surat yasin tiap malam jumat tiba. Mungkin
kata yang lebih pas perlu dilengkapi jadi buta aksara alphabet. Mereka bisa
membaca tulisan arab ya karena terbiasa dengannya, sementara aksara alphabet
tidak dipraktikannya setiap hari seperti anak-anak. Ini yang menjadi salah satu
kendala bagi orang tua yang baru belajar huruf alphabet. Bukan berarti Sokola
tak terlibat sama sekali untuk pendidikan orang dewasa di sini. Beberapa kali
mereka didampingi untuk belajar menawarkan harga, berkelompok, berdiskusi dan
beberapa kecakapan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan yang diterapkan disini lebih bersifat
kontekstual. Beberapa kali Mba Lita juga membuka kelas memasak dan menjahit
sederhana baj-baju yang sobek bagi anak-anak di sini. Kami juga diminta untuk
mempertimbangkan menggunakan tokoh yang familiar dengan anak-anak di sini
mengingat dua tokoh kami ada kudanil dan beruang madu yang belum masih asing
bagi mereka. Dan banyak hal lain lagi yang kami perbincangkan sampai akhirnya
sepakat untuk tidur. Kami berlima tidur di ruang depan. Lengkap dengan kasur
tipis dan selimut yang kami bawa masing-masing. Kami tidur lelap dan bangun
saat subuh tiba.
Pagi inilah kami langsung bertemu dengan anak-anak yang Mas
Yes ceritakan. Mereka berkumpul di masjid berbentuk panggung sederhana tak jauh
dari Sokola, jalan sedikit ke kiri, turun di belokan beberapa meter,
berhati-hati agar tak jatuh dan mereka menyambut kami dengan malu-malu. Rupanya
mereka memang menginap di sana tiap hari libur sekalian belajar mengaji. Beberapa
anak rumahnya cukup jauh dari sini sehingga memutuskan menginap saja tiap libur
begini.
Ada Rita, Syahidah, Ayul, Abi, Panji, David, dan beberapa
nama lainnya. Kami berkenalan, bercakap dan bercanda sebisanya mengingat hanya
beberapa yang bisa berbahasa Indonesia. Beberapa malu-malu, ada juga yang sudah
nampak lengket dengan kami. Mereka menunjkkan buahbuahan di dekat tempat kami. Yang
nampak jelas adalah durian. Penduduk di sini terbiasa membibitkan tanaman untuk
pohon yang ditanamnya sendiri. Tak jauh dari musala ini ada beberapa bibit
pohon dari hasil penyetekan dan disungkup plastik.
Berdasarkan cerita ada tempat wisata yang dekat dari sini,
namanya Silo Bonang atau lebih populer dengan sebutan Batu bernyanyi. Kata mereka,
batu ini akan berbunyi saat dipukul. Kami sepakat untuk ke sana bersama. Mereka
bilang dekat, tapi kami percaya dekat versi mereka itu cukup jauh bagi kami. Tapi
kami menikmati saja lah ya, anggap untuk olahraga, hihihi. Di sepanjang jalan
mereka bercerita banyak hal. Mulai dari bagian dari tanaman kecil yang bisa
dimakan dan dicemil. Mereka tak tahu namanya. Bentuknya kecil, berbulu halus
dan yang matang berwarna hitam. Saat saya ikut makan, rasanya sedikit manis. Meski
awalnya ragu melihat bulu-bulunya.
Sesekali mereka memanjat, berlari tanpa
takut jatuh sama sekali di jalan setapak kecil yang sisi kirinya ada tebing. Mereka
memperkenalkan banyak tanaman unik juga di sepanjang jalan meski sesekali tak
tahu namanya. Mana yang dimakan kambing dan mana yang bukan. Lalu sampailah di
Silo Bonang. Dari atas tempat ini nampak cantik. Beberapa bebatuan di tata
layaknya kursi dan meja yang ada di rumah makan. Di batu berbentuk meja ada
batu-batu kecil yang fungsinya sepertinya untuk dipukul dan menghasilkan bebunyian.
Terdapat pondok kecil di ujung area wisata ini. Pemandangan
pegunungan dan aneka bunga menjadi dekorasi alami yang menambah kecantikannya. Di
salah satu sisi yang paling menarik perhatian ada patung hitam menghadap
tumpukan batu kecil yang disusun dengan sangat rapi. Sayang sekali penjaganya,
salah satu ayah dari anak-anak ini belum datang sehingga pintunya masih ditutup
kami hanya bisa mengamatinya dari atas. Bercakap beberapa lama kami memutuskan
pulang ke tempat masing-masing. Mereka ke rumah dan kami ke pondok sokola. Mayan
lah kami sudah mengenali karakter mereka dan ada sedikit gambaran dongengnya
nanti mau digimanain.
Setelah sarapan, berkenalan dengan tiga anak yang lain dan
bercanda beberapa lama kami memutuskan pulang. Mengingat mendung sedikit menggumpal
di atas sana. Kami berpamitan, mengucap banyak terima kasih dan sepakat kembali
di hari berikutnya. Sembari membayangkan jalanan yang terjal di depan sana.
Terimakasih
pada semesta yang bersahabat di sepanjang perjalanan kami. Dengan sedikit njarem dan kenangan yang tersisa.
Komentar
Posting Komentar