Jangan Ada Lagi Pernikahan Dini!

sumber pict: educenter.id


4 November 2018 lalu, seorang gadis bernama Hilda Fauziah (18) kabur dari rumah. Ia menolak pernikahan gantung yang telah lama menjadi tradisi keluarga dan bersikeras melanjutkan kuliah. Sejak usia kecil jodoh Hilda telah ditentukan tanpa sepengetahuannya, saat hampir lulus keluarga baru menyatakan rencana perjodohan tersebut. Menjelang pernikahan itu dilaksanakan, Hilda menghilang.

Data UNICEF per-2017 menunjukkan Indonesia menduduki peringkat ke-7 angka perkawinan anak terbanyak di dunia dan ke-2 di ASEAN berdasarkan data Council of Foreign Relation. Pada April 2018, pasangan yang masih berstatus SMP mengajukan dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Disusul pada bulan Juli, anak berumur 13 dan 14 tahun melangsungkan pernikahan di Kalimantan Selatan. Batas usia perkawinan hanyalah slogan, yang tak berharga di hadapan tradisi ‘yang memundurkan kemanusiaan’ dan budaya patriarki.

Hilda hanya satu contoh kecil yang berhasil melawan, di luar sana begitu banyak anak perempuan yang tak bisa berbuat lebih. Pasrah dengan keadaan, tekanan dari masyarakat dan tuntutan dari orangtua. Kurang siapnya anak-anak ini menghadapi fase pernikahan dari sisi psikologis seringkali memicu perceraian, dan tak jarang pada kekerasan. Anak yang seharusnya masih berkesempatan mengenyam pendidikan, mengejar apa yang ingin diraih terbatasi oleh tuntutan-tuntutan hidup yang belum layak didapatkan di usianya.Belum lagi ini bisa memicu Angka Kematian Ibu yang harus melahirkan di usia yang belum matang.

Hal ini juga yang dialami salah satu narasumber saya saat masih di Tegalboto, sebut saja Lila. Lila adalah seorang Pekerja Seks yang dinikahkan keluarganya saat masih 10 tahun. Pernikahannya ini tidak berbuah manis. Ia sering mengalami kekerasan dari suami. Kenyataan pahit pernah dialaminya saat hamil tua dan melihat suami berselingkuh. Lila terkejut dan mencoba bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya. Suami tambah marah dan menampar Lila. Mereka berpisah. Sempat rujuk lagi, cerai lagi, rujuk lagi, hingga benar-benar berpisah. Lila harus berjuang menghidupi ibu dan anaknya seorang diri. Bekerja kesana kemari cukup sulit baginya yang tak berijasah. Hingga akhirnya terpaksa bekerja menjadi Pekerja Seks untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang semakin banyak tersebut.

Berapa perempuan yang harus menanggung kesedihan ini akibat pernikahan dini yang masih sulit dihindari. Hari ini, kita masih berpikir bahwa menikah adalah sumber kebahagiaan, mencegah seseorang berbuat zina, dan membantu perempuan dari tuntutan ekonomi yang menyusahkan karena sudah ada yang menanggung semuanya. Padahal menikah tak sesederhana itu. Butuh persiapan yang cukup untuk menuju ke sana. Jika sebelumnya kita tidak bahagia, bukan berarti hidup seseorang akan lebih bahagia setelahnya. Apalagi jika masih anak-anak, bukannya membahagiakan justru pernikahan itu yang merenggut kebahagiaan dan masa depannya.

Harus semakin banyak Hilda-Hilda lain yang berani melawan, berjuang untuk otonomi tubuhnya sendiri. Selamat Hari Perempuan Internasional!  

Komentar