Ais: ‘’Nggak Boleh Patah Ya!’’




Senin yang cerah. Hari pertama saya menjadi seorang guru pendamping anak berkebutuhan khusus di Al-Irsyad. Saya tidak mengira sebelumnya, jika nasib membawa saya ke sini. Beberapa tahun silam saya punya keinginan kuliah di Pendidikan Luar Biasa, tapi tak kesampaian, hingga akhirnya kuliah di Pertanian. Mencoba menikmatinya, ikut ini itu, dan akhirnya lulus. Muter lagi, ke sana kemari, lalu dalam waktu yang tak lama entah bagaimana ceritanya, impian yang dulu terpendam terwujud begitu saja. Saya masuk di pendidikan inklusi, menjadi guru pendamping bagi anak berkebutuhan khusus. Saya jadi inget kata Keenan ke Kugy di Novel Perahu Kertas: ‘’Gy, jalan kita mungkin berputar, tetapi satu saat entah kapan, kita pasti punya kesempatan jadi diri kita sendiri.’’
Pada hari pertama itu saya menanti Bu Watil, koordinator guru ABK di Al-Irsyad di ruang khusus Guru dan terapi ABK. Di dalamnya terdapat ruang depan, ruang utama, ruang penyimpanan barang serta ruang administrasi dan kepala guru ABK. Di ruang utama terdapat beberapa matras, meja belajar, beberapa area mainan dan buku ajar yang sangat menarik buat anak-anak. Di sinilah biasanya para guru pendamping mengajak abk-nya untuk belajar dan terapi. Hingga Bu Watil datang dan kami bercakap di ruangan.
Bu Watil menjelaskan apa saja tugas guru pendamping ABK dan siapa abk yang akan saya dampingi. Namanya Gladys Alana Winata, biasa dipanggil Ais, siswi kelas satu yang mengalami syndrom Asperger. Saya baru mendengar istilah ini pertama kali. Syndrom ini merupakan salah satu gejala autis. Sindrom ini menyebabkan seorang anak memiliki kesulitan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi secara efektif. Ais menurut cerita Bu Watil, sangat menyukai komik dan sudah dapat membuat beberapa ilustrasi komik yang bagus. Saat ini ia masih memiliki guru pendamping, dan saya perlu belajar dengan guru pendamping Ais yang sebelumnya, sebelum akhirnya benar-benar dilepas.
Saya diantarkan Bu Watil menemui Ais. Waktu itu Ais sedang mengikuti jadwal belajar mengaji. Ais diminta untuk menulis huruf-huruf arab yang telah dibuatkan oleh guru pendamping sebagai contoh. Pertemuan pertama, saya cukup berdebar. Anaknya nampak lebih besar jika dibanding teman seusianya. Kerudungnya hampir menutupi mata dan tampak kekecilan jika digunakan kepalanya. Beberapa helai rambut keluar dari sela-sela muka. Anaknya sulit fokus, untuk menyelesaikan satu baris perlu diingatkan berkali-kali. Kalimatnya membingungkan, kosa kata yang keluar juga aneh dan acak. Saat diajak berbicara kontak mata Ais kemana-mana. Kadang marah-marah, dan bisa teramat bahagia di menit berikutnya. Saat tantrum, Ais bisa memukul kepalanya sendiri dan emosi yang tak tertahankan. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, cinta Ais terhadap komik tidak bisa dipungkiri lagi. Hiburan saat ia bosan dengan tugas adalah menggambar ilustrasi. Tanpa mencontoh, gambar-gambar yang dibuat berasal dari dunia imajinasi yang didapatnya dari komik-komik tersebut.
Saya cukup deg-deg-an. Mengingat ini pengalaman pertama dan menantang untuk dua tahun ke depan. Tapi saya percaya, bisa berteman dengan Ais di hari-hari selanjutnya. Mengamati gerak-geriknya dan berupaya agar Ais nyaman dengan kehadiran saya. Bu Tina (guru pendamping Ais sebelumnya) menceritakan beberapa hal tentang Ais. Pelan-pelan saya mulai paham kebiasaan Ais. Kosakata-kosakata lucu sering keluar dari mulitnya seperti: telur tahu bulat, nggak boleh patah dan kalimat lain yang bisa membuatnya tertawa sembari mengucapkannya. Dia selalu punya kalimat andalan yang disampaikan kepada orang-orang tertentu. Misal kepada saya, ada satu momen yang menyebabkannya bilang ‘’Nggak Boleh Patah Ya!’’ saat menggunakan krayon, dia akan mengucapkan itu tiap memandang muka saya sembari tertawa begitu terus setiap hari. Beda lagi dengan guru satunya, dia akan menunjuk burung garuda dan menanyakan pada guru tersebut, ‘’Apa itu Ustadzah Vivin?’’ kalau belum dijawab dia tidak akan diam. Saat diminta mengerjakan sesuatu dan dia tidak mau dia akan berteriak ‘’Nanti’’ sambil marah-marah dan hampir menangis.
Entah bagaimana ceritanya, Ais yang kata guru pendamping sebelumnya susah didekati bisa dekat dengan saya. Dia beberapa kali menangis saat saya pergi sebentar, dan ini tentu tidak baik. Ais menjadi tidak terlalu mau mendengar guru yang sebelumnya dan saya mulai sungkan karena ini. ibu pendamping Ais bercerita jika Ais tidak pernah menangis saat Bu Tina pergi. Ais juga jarang memanggil namanya. Sempat saat marah dengan Bu Tina Ais malah mendekati saya dan seolah menunjukkan jika dia takut dan tidak mau mendengar perkataannya. Sampai di sini, saya mulai berpikir, apakah pendekatan saya yang salah. Baiklah, seminggu pertama bersama Ais cukup menyenangkan.
Pojok kesukaan Ais adalah sudut baca, satu rak khusus buku-buku anak baik cerita bergambar sampai komik ada di sana. Saat bosan belajar ia selalu kesana dengan mata berbinar dan tak peduli bagaimanapun dunia sekitarnya. Ais punya dunia sendiri saat bersama buku. Ais punya banyak koleksi komik di rumah. Saya senang, Ais tidak terkontaminasi dengan gadget dan cinta sangat dengan buku. Tantangan terbesar yang harus saya pecahkan adalah, saya harus punya metode yang pas agar dapat mudah membuatnya tertarik. Terbersit di pikiran saya untuk membuatkan komik sederhana berisi dia sebagai tokoh utama. Konon, saya suka sekali menggambar ilustrasi kisah anak yang punya rangkaian cerita tiap pulang sekolah. buku bekas dari sisa tahun ajaran lalu saya gunakan untuk menggambar potongan cerita-cerita bersambung ini. sama seperti Ais, saya tak begitu suka mewarna tapi lebih suka ke ilustrasinya saja. Pengalaman membuat cerita baik naskah teater saat SMP, cerpen maupun karya lainnya sangat membantu saya di sini.
Sejauh ini, saya selalu pegang kalimat Ais, ‘’Nggak boleh patah ya!’’ Iya Ais, saya tak boleh patah semangat untuk membantumu belajar dan berkembang dengan bahagia. Satu minggu pertama yang menakjubkan bersama Ais.

Komentar