Beberapa hari terakhir, saya menyadari ada yang tidak beres
dengan kesehatan mental saya.
Saya punya teman yang terang-terangan bercerita bahwa dirinya menderita penyakit psikologis anxiety. Dia sering merasakan kecemasan berlebihan. Bayangan tentang kematian, hal-hal yang belum terjadi dan hal-hal lain yang sebenarnya tidak begitu penting untuk ditakutkan. Saat kumat, dia bisa terkena panick attack. Badannya demam, lemas dan keringat dingin, saat periksa ke dokter, dokter bilang tidak sakit apa-apa. Kejadian yang memicu emosi sering menyebabkan penyakit ini kumat dan parahnya lagi dia takut menjadi gila karena pikirannya ini. Setiap kawan saya ini bercerita, saya selalu bingung bagaimana menanggapinya karena saya tidak merasakan apa yang dirasakannya. Saya hanya bisa berbagi empati dan menyarankan agar dia mulai mencoba beberapa hal yang baru agar perlahan bisa sembuh. Namun ternyata tak semudah yang saya kira. Teman saya ini masih terus merasakannya sampai sekarang, meski bisa dibilang sudah menurun daripada sebelumnya.
Selang beberapa waktu, saya menemukan lagi seseorang yang
berdasarkan cerita temannya juga menderita anxiety. Parahnya, dia sampai
menyilet tangannya tiap gejalanya menjadi. Di samping karena kurang kasih
sayang bapaknya, dia juga memiliki ketergantungan pada mantan pacar yang masih
disayanginya. Beberapa kali terapi dan harus minum obat penenang. Saya tak
habis pikir, dan mulai berpikir bahwa anxiety ini bukan saja faktor bawaan.
Setelah dua kali bertemu dengan penderita anxiety, bulan
lalu saya menerima kenyataan bahwa teman samping kamar di kos pertama saya di
Jember ternyata menderita penyakit kekurangan hormon bahagia. Dulunya saya
merasa anak ini aneh. Tak pernah tersenyum, menyapa dan tak punya kawan satupun
di kos. Mukanya datar. Kadang kalau sedang telfon dengan temannya dalam kamar,
suaranya meninggi. Ia sering memutar lagu-lagu dengan volume sedikit keras di
kamarnya. Terbaru saat saya main ke kos lama, dia sibuk pindahan dengan
orangtua. Usut punya usut, dia berhenti kuliah karena penyakitnya ini. Dia
cerdas secara akademik, namun ternyata gangguan dalam diri menghalangi
perjalanan karirnya.
Dan beberapa hari terakhir saya menyadari jika saya
menderita gangguan overthinking. Saya bisa memikirkan hal yang tidak penting
sampai berlarut-larut. Saat kelas satu SD, saya pernah ketinggalan instruksi
saat guru membacakan soal cerita yang harus saya formulasikan dalam bentuk
perhitungan matematika. Saya malah menulis ulang kalimatnya dan ketinggalan
saat guru mendikte sampai waktunya habis. Saya tidak mengumpulkannya. Sebenarnya
ini sepele, dan tidak berpengaruh pada rangking saya di kelas yang tetap
menduduki peringkat favorit. Tapi dampaknya saya bisa-bisa memikirkan ini di
malam-malam berikutnya. Menyalahkan diri snediri, merasa bodoh, dan sebagainya.
Tak sampai di situ. Pernah saat saya sedang tertariknya
dengan sebuah sinetron remaja saya akan mengepoi kisah pemain utamanya yang
digosipkan cinlok sampai berlebihan. Dan menyibukkan diri untuk stalking dan
terlibat diskusi dengan akun-akun yang tak jelas. Saya baru ingat mengapa waktu
itu saya sebodoh itu (haha).
Ada beberapa hal yang tidak bisa saya kontrol. Terkait pikiran
yang berdampak pada perasaan saya. Tentu ini akan sangat kelihatan saat emosi
saya terganggu. Saya akan memikirkan ini berlarut-larut. Saat jatuh cinta dan
patah hati, bisa jadi dunia saya akan berubah. Ah, tak perlu dibahaslah. Tahu sendiri
kan kita bisa menjadi sangat emosional saat melibatkan perasaan kita dengan
seseorang?
Jika saya telusuri, ini sangat berdampak pada kehidupan
saya. Seperti saya pernah kehilangan nafsu makan dan berat badan saat
ditinggalkan seseorang. Prestasi menurun dan kesedihan berlarut-larut yang
tidak mudah dibendung. Saat senang, bisa jadi saya bisa begitu bersemangat dan seolah-olah
dunia bisa saya taklukan saat itu juga. Saya bisa menjadi begitu pelupa, tak
fokus dan kehilangan konsentrasi pada saat-saat tertentu. Jujur, ini di luar
kendali saya. Tapi saya bersyukur beberapa hal menakjubkan tetap bisa saya
lalui meski menderita overthinking semacam ini.
Hingga akhirnya saya menelusuri lagi apa-apa yang menjadi
penyebabnya. Seperti pola asuh saat kecil dan lingkungan yang dipenuhi dengan
aura negatif juga bisa memperparah kondisi ini. Hal penting yang sering
orangtua lupakan adalah apresiasi dan kasih sayang bagi tumbuh kembang anak. Meski
orangtua teman-teman dan kawan waktu kecil sering memuji prestasi yang berhasil
saya raih, tapi saya tetap saja merasa rendah diri, tak berguna dan bodoh. Saya
tumbuh menjadi anak yang minder dan kadang penakut. Anehnya, beberapa hal masih
bisa saya capai. Seperti juara kelas, berbagai perlombaan baik akademik dan
seni, prestasi di aneka ekstrakurikuler, karya-karya sastra mulai SD hingga
dewasa baik puisi, naskah drama, gambar, cerpen hingga novel, dan hal lain yang
sebenarnya membuat saya tersenyum jika mengenangnya. Saya sampai di kesimpulan
bahwa saya tak seburuk yang saya bayangkan. Dan juga tak harus istimewa. Cukup menjadi
versi terbaik. Di semesta ini saya hanya mikroorganisme saja seperti yang lain.
Jadi ya biasa aja, tak perlu dipikir berlebihan.
Hari ini, menjelang usia 24, saya senang telah menyadari
bahwa ada yang salah dengan mental saya. Dan saya pelan-pelan sedang berusaha
menyembuhkannya. Seperti menyanyi saat naik motor, menulis apa saja yang
tiba-tiba muncul di pikiran dan terus berupaya sibuk tiappikiran buruk muncl. Saya
sedang belajar meditasi. Dan berupaya memahami bahwa kita tidak bisa menganggap
remeh kesedihan orang lain. Memahami bahwa sakit mental itu bukan hal sepele
yang bisa dijadikan bahan candaan. Saya sempat mengira saya itu ADHD , kelainan
psikologis akibat gangguan syaraf yang menyebabkan penderitanya sulit fokus dan
konsentrasi. Saya tidak separah itu.
Baiklah, mulai hari ini, sebagai kado untuk usia 24 saya
beberapa hari lagi saya akan berupaya untuk tidak terlalu pusing memikirkan
beberapa hal. Quarter Life Crisis
akan saya lalui dengan menyenangkan. Karena satu ganjalan terbesar selama hidup
saya sudah terkuak. Dan saya lebih leluasa memahami ketika beberapa hal yang
tak bisa saya kontrol terjadi. Tak usah kaget, bisa jadi orang yang selama ini
kelihatan baik saja juga mengalami sakit mental tertentu. Ini sungguh biasa
saja dan jangan dipikirkan berlebihan. :*
Untuk hal-hal konyol yang pernah saya lakukan sebelumnya,
saya tidak menyesal. Di masa depan saya bisa menjadikan itu sebagai bahan
tulisan. Salam sayang dari saya yang sedang berupaya melihat hari dengan sudut
pandang yang baru.
Komentar
Posting Komentar