‘’Konsep unik itu kan kalau akademisi harus riset, kalau metode saya
sederhana, apa yang ada di sekitar kita, kita buat aja sebisanya...’’ kata Pak
Topo, pendamping pangan sehat di kelompok binaan kuliner Tanoker.
Pukul
08.00 WIB saya dan Rosy meluncur menuju kontrakan Mba Prit. Sebelumnya, hanya
saya, Mba Prit dan teman kami masing-masing yang akan bergabung untuk main ke
Pasar Lumpur Tanoker. Tapi takdir berkata lain, kedua teman kami batal, dan
Rosy yang akan melakukan liputan pertama di salah satu media yang baru
merekrutnya akhirnya bergabung. Kami senang, ternyata dia tidak bermetamorfosis
menjadi kelinci karena lama tak ada kabar. Sesampai di Mba Prit, kami menunggu
beberapa waktu, bercakap panjang lebar dan memutuskan berangkat pada pukul
sembilan lebih sedikit.
Pasar
lumpur merupakan kegiatan bulanan desa wisata tanoker yang menyajikan dan
mengenalkan kesenian serta permainan tradisional serta pemberdayaan ekonomi
kreatif warga melalui produk kuliner sehat dan kerajinan tangan. Ini kali kedua
saya berkunjung ke sini. Karena sudah cukup siang kami melewatkan penampilan
tarian egrang dan acara pembukaan. Beberapa rombongan tamu mulai dari ibu-ibu
hingga anak-anak datang mewakili kelompok dan komunitasnya. Satu yang kami tahu
berasal dari Sokola Kaki Gunung. Rosy sempat melakukan wawancara dengan Tiara,
ketua forum anak Ledokombo yang mengupayakan terpenuhi hak dan tersampaikannya
suara anak yang selama ini masih belum tersalurkan dengan baik.
Tepat
di belakang stand kerajinan tangan ada sepetak kolam lumpur yang siap dijadikan
sebagai arena polo lumpur. Dua tim telah bersiap dengan kaos seragam untuk
membedakan mana lawan dan kawan. Peluit ditiup wasit, bola dilempar dan pemain
mulai berebut bola. Langkah kaki tentu lebih berat karena harus menerjang
lumpur, belum lagi cipratan air yang masuk ke muka, ada yang kena mata ada yang
masuk ke mulutnya. Tapi permainan semakin seru, suara ‘’byur’’ serta pekikan
goal menularkan semangat tersendiri bagi penonton. Saat bola menuju ke arah
penonton, beberapa menghindar, takut kena cipratan.
Hal
yang paling saya suka adalah di deretan stand kuliner. Macam produk pangan
kreatif ada di sini. Ada kerupuk mendol dari tepung mocaf, keripik bunga turi,
keripik daun kelor, nasi bakar, rujak, dan masih banyak lagi yang semuanya
menggugah selera. Untuk membelinya kami harus membayar dengan kupon yang ditukar dengan uang di stand khusus. Jika ada kembalian akan diberi dalam
bentuk kupon juga. Mba Prit dan Rosy membeli rujak dengan harga 10.000 dan saya
membeli nasi lemak campur seharga 7000 . Untuk minum kami memilih es degan
seharga 3000. Yang menyenangkan lagi adalah kami berkesempatan mewawancarai pendamping
pangan sehat kelompok kuliner di Tanoker yaitu Pak Topo.
Pendampingan
kelompok kuliner ini tidak hanya terkait bagaimana cara memasak dan memilih
produk pangan yang sehat, tapi juga difasilitasi sekolah enterpreneur yang
diadakan dua kali tiap bulan. Mulai dari manajemen produksi, mendapatkan
perijinan usaha hingga metode pemasaran diajarkan di sini. Mereka sesekali mendatangkan
pemateri dari luar. Pak Topo mengarahkan
agar kelompok usaha yang terdiri dari ibu-ibu ini mengeksplor bahan yang ada
seperti ketan, hingga umbi-umbian. Warna makanan memanfaatkan dari bahan alami
seperti ubi ungu, dan lain-lain. Bahan setengah jadi seperti tepung mocaf sudah
mampu produksi sendiri dan belum bisa dijual keluar. Hal ini disebabkan
kelangkaan singkong karena petani sudah malas menanam akibat harganya sempat
jatuh. Harga di pasaran saat ini naik, akhirnya tepung mocaf yang dibuat hanya
dibuat untuk memenuhi kebutuhan kelompok. Untuk mengajak anggota kelompok
beralih menanam sendiri bukan hal yang mudah karena terkait dengan pertimbangan
keputusan ekonomi, ketersediaan lahan dan sebagainya. Kecuali kalau ada yang
mengajak bermitra tentu bisa dipertimbangkan lagi.
Selain
mewawancarai Pak Topo, kami juga berkesempatan mewawancarai Bu Enik, salah satu
penggerak Sekolah Bok Ebok di mana anggotanya adalah para ibu-ibu mantan buruh
migran. Sekolah ini tidak hanya memberi penyadaran terkait pentingnya hidup
sehat tapi juga bagaimana agar ibu-ibu berani bersuara dan menyampaikan
aspirasinya. Bagaimana yang mulanya hanya menggunakan satu sikat gigi bahkan
satu handuk untuk dipakai sekeluarga mulai berani mengubah kebiasaan lama meski
harus mengeluarkan beberapa uang untuk membeli. Suara-suara ibu yang awalnya
tak pernah dilibatkan dalam rapat-rapat desa mulai didengar, mulai diundang
tiap ada acara tertentu. Mereka belajar bagaimana membuat produk dan belajar
cara memasarkannya. Ibu-ibu dikelompok ini bahkan ada yang berani menjadi saksi
atas kasus pemerkosaan yang terjadi di
sekitarnya. Pelan-pelan Sekolah Bok Ebok memunculkan penyadaran melalui hal
paling dekat bagi anggotanya, bahwa perempuan bisa berdaya dan bersuara. Uniknya,
setelah sebelas minggu dan di rasa layak, anggota sekolah ini akan diwisuda. Kami
akan berkunjung lagi ke kelompok ini dalam waktu dekat, tentu akan menarik jika
dibahas dalam tulisan tersendiri nantinya.
Setelah
kenyang oleh makanan dan informasi, kami pulang mengitari empat kecamatan dan
berkenalan dengan satu-satunya Injil berbahasa Madura di dunia. Sampai bertemu
lagi di kesempatan baik berikutnya.
Komentar
Posting Komentar