Bagi mereka yang terbiasa pergi, kata pulang adalah sesuatu
yang istimewa. Di ujung pekan, bulan, tahun, atau hari istimewa tertentu,
mereka selalu mendambakan kepulangan. Hingga hari ini, saya masih bertanya,
mengapa rasanya belum benar-benar merasakan pulang saat berada di rumah, bahkan
setelah sekian lama berada di kota lain. Kadang saya berpikir ada yang salah
dengan diri saya. Kadang pula, saya berpikir, apakah sesuatu atau seseorang yang
ingin saya tuju saat pulang tidak ada di sana?
Jauh sebelum perasaan ini terjadi, saya adalah mahasiswa
perantauan yang pernah sering menangis tiap sendirian di kamar kosan saat
merasa rindu dengan rumah dan orang tua. Meski tak dimanja, dulunya orangtua
saya sering mengantar kemana-mana saat saya perlu sesuatu. Saya bukanlah anak
yang penurut, tapi diam-diam suka memberi kejutan kecil-kecilan pada mereka. Beberapa
kali berbohong dan nakal tanpa sepengetahuan mereka. Pemberontakan kecil
terjadi saat saya memilih jurusan dan apa pun kegiatan dan perlombaan yang akan
saya ikuti sendiri. Beberapa berhasil, sisanya hanya menuntut coba lagi dan
lagi. Saat nama Jember keluar di hasil uji SBMPTN, ibu saya hampir tak
mengizinkan. Anak terakhir, perempuan, dan tak pernah tinggal jauh dalam jangka
waktu yang lama dari orangtua, begitu pikirnya.
Tapi saya memang nakal. Merasa sering mengikuti kegiatan
sekolah yang menuntut keluar dari rumah dan gimana susahnya bisa lolos dari tes
ini menjadi alasan saya untuk membuatnya percaya. Dengan air mata di awal,
merasakan jatuh bangunnya kuliah di pertanian, sok sibuk mengikuti ini itu, hingga
jualan es lilin dan jajanan pakai tremos keliling, tak terasa lima tahun
berlalu. Sekali pun saya bukanlah orang yang benar-benar pintar di pertanian
dan kadang merasa salah jurusan, tapi saya wajib menyelesaikan apa yang sudah
dimulai. Toh pertanian bukanlah hal yang buruk. Banyak inspirasi menulis saya
dapat dari sana dan nilai saya tak buruk jika dibandingkan teman lain yang satu
jurusan. Intinya, saya bisa bertahan sampai lulus. Kalau merasa telat belajar
serius, tak masalah, praktik akan memperbaiki keterlambatan itu.
Yang sedikit mengganjal setelah lulus adalah, ketakutan
keluarga jika saya tak pulang. Takut kecantol dengan orang sana dan akhirnya
tak pulang. Padahal, asam di gunung, garam di laut, akhirnya ketemunya di
belanga juga. Mau saya di Papua sekalipun kalau jodohnya orang Trenggalek ya
bakal tetep ketemu, begitu pun sebaliknya. Mengapa takut sesuatu yang belum
benar-benar terjadi. Sebelumnya saya juga orang yang seperti itu, bahkan kadang
masih sama. Tapi pelan-pelan rasa takut itu harus dibuang. Bukankah sejak kecil
saya sudah berupaya mencari kebahagiaan dan mengmpulkan keberanian saya
sendiri? Membangun mimpi saya sendiri?
Pagi ini, di rumah kami yang baru, sambil menunggu seorang
teman yang akan berkunjung, saya akan menulis pesan untuk saya sendiri. Sebagai
pengingat, bahwa sayalah yang paling bertanggung jawab pada hidup saya sendiri.
Saya hanya ingin berpesan, agar membiarkan dan melepaskan orang-orang yang
menuntut saya sempurna. Memang mereka pikir mereka siapa? Lupakan kesempurnaan,
dan bidiklah perbaikan. Saya juga pelan-pelan belajar mengontrol perasaan saya. Toh, ada
fase di mana saya benar-benar melupakan hal itu dan bahagia karena banyak hal
lebih terfokuskan karenanya. Jatuh pernah, bangkit apalagi, harus lebih banyak
kan?
Sebelum usia 25 datang, saya akan berupaya untuk itu. Saya hanya
akan membiarkan orang-orang yang bisa menerima dan terus memberikan dukungan
yang bisa masuk dalam hidup saya. Selebihnya, biar lewat saja. Toh mereka tak
benar-benar peduli. Dan berupaya keras agar mimpi yang tergadai di fase
sebelumnya bisa terwujud.
Jadi apakah saya akan pulang? Saya rasa setiap orang pasti
pulang. Hanya saja, sekarang, saya masih belajar membangun definisi pulang itu
sendiri. Karena definisi rumah bagi saya bukan bangunannya, tapi lebih ke orang-orangnya.
Jiwa saya mungkin jauh, tapi hatinya tetap bersemayam bersama kalian. Anakmu ini,
putra sang fajar yang nakal, tapi selalu sayang pada kalian.
Sehat selalu dan mari belajar menerima serta menjalani hari dengan melawan ketakutan-ketakutan itu.
Komentar
Posting Komentar