Emak-emak Sengon yang Berbahagia




                Berbicara tentang double burden, saya membayangkan masa-masa menjadi perempuan dewasa yang menegangkan. Tangan kanan menggoreng tempe yang hampir gosong, sementara tangan kiri menggendong anak yang menangis karena mainannya rusak. Telefon berdering, dan cucian numpuk di belakang. Entah apakah masih sempat menikmati momen membaca buku yang sunyi, atau sekedar menulis catatan harian. Bayangan menjadi ibu-ibu kekinian menghantui saya yang masih belajar menjadi perempuan dewasa. Tapi hari ini, ketakutan-ketakutan itu dapat ditepis perlahan.
                Sebelas perempuan bersiap diangkut sebuah pick up putih menuju acara Jantiko (salah satu kegiatan rutin Kelompok Muslimat NU di Trenggalek). Nenek mengajak saya ikut acara ini. Terakhir saya diajak ke Jantiko pada waktu SD, di mana yang diingat waktu itu banyak sekali orang yang duduk mendengar pengajian, banyak orang berjualan, dan saya tidur. Saya berharap akan mendapat sesuatu dari acara yang asing ini. Minimal dapat dijadikan tulisan. Hmmm.
                Selain ingin mencoba pengalaman baru, saya tertarik naik pick up-nya. Naik kendaraan terbuka memang selalu menyenangkan (kecuali saat hujan). Momen terbaik yang masih saya ingat adalah saat diajak teman KKN naik bak Tossa untuk memindahkan kayu dan satu rak polybag keliling kampung. Sementara momen paling mengerikan adalah saat naik bak pick up bersama ibu-ibu saat mengantar ke pernikahan kakak perempuan saya di rumah keluarga suami yang berada di pegunungan. Saat jalan menanjak, kami ketar-ketir berharap kendaraan tetap dalam kondisi prima sampai tujuan. Sembari senyum menahan ketawa saat ada yang menangis keringetan sembari menyebut nama Tuhan karena takut (kisah selengkapnya ada di esai saya yang dimuat di antologi Rengkek-Rengkek).
                Sekali lagi, saya menikmati momen naik pick up bersama ibu-ibu yang akan menuju Jantiko ini. Semilir angin, udara pagi yang segar, matahari yang masih malu-malu dan obrolan ibu-ibu yang lucu. Dalam satu bak kendaraan, kita akan mendengarkan beragam topik dari lingkaran-lingkaran diskusi mereka. Ada yang membahas tentang ikan yang digoreng pagi ini, tetangganya yang sakit, hingga kacang yang direbus untuk cemilan saat acara Jantiko. Semua diceritakan dengan penuh semangat. Di pojokan, saya bingung mau nimbrung yang mana.
                Jika anak-anak sekolah atau pun orang yang bekerja punya Hari Minggu untuk berlibur, maka ibu-ibu ini punya Jumat Pon untuk berlibur. Ibu-ibu ini telah menyelesaikan tugas dapurnya pagi-pagi sekali. Membawa beberapa uang saku jika nanti ingin beli sesuatu dan sebotol minum jika haus. Acara akan selesai pukul sepuluh malam. Salah satu ibu tak bisa ikut karena harus merawat ibunya yang sakit dan cucunya yang besok akan tamasya.
                Serangkaian acara Jantiko ini antara lain menyimak Al-qur’an, shalat berjamaah, Dzikrul Ghofilin, mendengar pengajian dan doa-doa. Di sela-sela puluhan ibu-ibu yang duduk bernaung terob, kelilinglah para penjual. Mulai dari kerudung, tas, makanan ringan, minuman yakult, hingga perlak. Tawar menawar juga dilakukan dengan leluasa meskipun acaranya sedang berdoa. Pantas saja nenek saya selalu mengusahakan memiliki sangu tiap akan ikut ke acara ini, bersiap-siap jika nanti ada yang ingin dibeli. Jika mengantuk beberapa juga bisa tidur asal tidak keterusan. Ketinggalan ayat yang disimak juga tak masalah, toh masih ada teman sebelah yang bisa ditanyai. Sungguh liburan yang sederhana. Ditambah lagi, nenek dan ibu-ibu yang lain merasa bahagia. ‘’Membaca dan menyimak satu ayat Al-qur’an pahalanya sama, didoakan 70 malaikat,’’ bisik nenek dengan senyuman khasnya padaku.
                Sepulang dari acara ini, kami naik pick up putih lagi diiringi guyonan ala emak-emak. Mereka akan berbagi jajanan yang dibelinya bagi keluarga dan beristirahat. Pagi datang, kembali ke rutinitas awal. Memasak, mengurus anak, bersih-bersih, hingga bekerja di pembibitan sengon. Sore tiba, mereka akan menikmati momen bersama anak cucu, menonton televisi. Tayangan cengeng ala uya-kuya hingga azab-azaban menjadi tontonan favorit. Azan berkumandang, mereka buru-buru menuju mushala terdekat. Sembari menceritakan aktivitasnya hari ini. Saya jarang menemui ibu-ibu ini sakit ataupun berwajah muram. Mereka tidak tergantung pada smartphone dan apa-apa yang terkadang memusingkan untuk manusia hari ini. Tak bingung update story, jika tempenya gosong atau listrik tiba-tiba mati. Mungkin ini sebabnya saat bercerita, ekspresi mereka selalu penuh makna. Makna karena senang sudah ada yang mendengar keluh kesahnya seharian ini.  
                Jika pun esok saya mengalami double burden, toh saya harus dapat menciptakan momen-momen bahagia. Seperti emak-emak sengon, yang bergembira menyambut Jumat Pon Tiba.

Komentar