Kadang
kita merasakan sesuatu saat sudah berjarak. Entah rindu, atau semacamnya. Pagi ini
saya rindu menulis di blog ini setelah menganggurkannya selama 3 bulan. Konon,
produktifitas dalam menulis saya sangat dipengaruhi suasana hati. Entah saat
patah hati, terserang rindu, kecewa, sedih, hingga jatuh cinta sekalipun. Semakin
dalam yang dirasakan, tulisannya semakin menusuk. Saya jadi ingat kutipan yang
berkata: jangan menyakiti hati seorang penulis, karena dia bisa membunuhmu
dalam kisah yang dia tulis. Atau kutipan yang mengatakan: jangan sekali-kali
menyakiti hati penulis, atau kau akan abadi dalam karyanya. Sudah lama saya merindukan momen menulis saat
cuaca hati sedang mendung atau saat penuh dengan bintang. Saya selalu tertawa
membacanya beberapa minggu atau bulan kemudian saat mengingat betapa patah
hati, rasa marah atau jatuh cinta bisa membuat saya menulis beberapa puisi atau
cerpen konyol macam itu. Sesekali seorang teman bercerita menangis setelah
membaca cerpennya, atau beberapa orang dari beda pulau mengirim pesan bahwa
puisi-puisi saya di blog sesuai dengan yang dialaminya saat kuliah di fakultas
yang sama.
Baiklah,
itu tadi pembuka atas curahan hati saya. Terkait bagaimana kondisi hati yang
membuat saya tergerak untuk menulis kali ini tak bisa saya ceritakan karena
akan merusak mood Anda untuk
melanjutkan membaca. Akhir-akhir ini bencana berdatangan, mulai dari Lombok
sampai Donggala. Berbagai pihak mulai menganalisis penyebabnya, dan yang paling
sering saya dengar adalah ini karena dosa para LGBT. Apa-apa karena LGBT. Orang-orang
jadi semakin berlomba-lomba menjadi tuhan, merasa tahu segalanya. Dan saya akan
sedikit berbagi pengalaman saya saat mendengar curahan hati dari dua teman yang
LGBT.
Yang
pertama, Onci (nama samaran) yang berusia 20 tahun. Anak terakhir dari lima
bersaudara. Memiliki pita suara tinggi layaknya perempuan. Suaranya akan
berubah jadi laki-laki saat sedang batuk ataupun berdehem. Perawakannya kurus,
mengenakan behel di gigi dan rambut bagian atas sedikit berwarna pirang. Pertemuan
pertama, saya menganggapnya laki-laki seperti pada umumnya. Mengenakan kaos dan
celana jins, tak memakai anting dan rambut ala-ala David Becham, sedikit
berantakan bagian atasnya. Tapi saat dia mulai bersuara dan melontarkan canda,
saya lebih merasakan aura feminim dalam diri Onci. Saya masih berupaya tak
beranggapan apa-apa tentang orientasi seksual Onci. Lambat laun dia dan
temannya melontarkan guyonan yang selalu mengarah pada ketertarikan mereka akan
laki-laki.
Hari
kedua, Onci merasa nyaman untuk bercerita pada saya tentang kisahnya. Sembari memotong
daging Onci tak canggung berbicara tentang kekasih prianya yang tinggal di
Surabaya. Hubungannya baru berjalan 3 minggu. Menurut Onci, kekasihnya tampan. Beberapa
minggu lagi mereka akan bertemu melepas rindu. Saya mulai bertanya sejak kapan
perasaan suka terhadap sesama jenis itu muncul. Onci mulai merasa ada yang aneh
dan tertarik pada teman sesama jenisnya saat masih kelas 2 SD. Hingga akhirnya
saat masa SMA, berkat pergaulannya yang semakin luas, Onci menjadi paham bahwa
ternyata dia tidak mengalaminya sendiri. Pernah suatu ketika seorang teman
menyarankannya agar berkonsultasi pada BK di sekolah. Tapi nyalinya semakin
menciut saat tahu temannya yang lesbi justru disuruh taubat dan kembali ke
jalan yang benar setelah konsultasi ke guru BK.
Onci
merupakan siswa yang berprestasi dan selalu menjadi juara di kelasnya. Kelas 1
SMP dia sudah belajar membiayai hidupnya sendiri dari menjadi guru les. Ibunya seorang
buruh cuci yang menjadi tulang punggung keluarga. Ayah merupakan seorang kiayi
yang menghabiskan hari-harinya untuk beribadah dan mengimami setiap agenda
keagamaan di mushola dekat rumah. Sejak kecil Onci tak pernah merasa kasih
sayang ayahnya. Jika ia melakukan kesalahan sang ayah selalu memojokkan. Tapi tak
pernah peduli dan perhatian padanya. Baginya, ibu adalah satu-satunya orangtua
yang dimiliki.
Berbeda
dengan Onci, teman LGBT saya yang kedua sebut saja Dori (nama samaran) berusia
23 tahun. Hidung mancung, perawakan tinggi langsing, bulu mata lentik dan
kalung emas menghiasi leher. Pertama bercakap saat berkenalan dan bercakap saya
tidak mengira jika dia LGBT. Dori menjadi tertarik pada laki-laki setelah putus
asa ditinggal menikah kekasih perempuannya saat duduk di bangku SMP. Dori
merasa kesetiaannya selama bertahun-tahun dikhianati. Dibanding Onci, Dori
lebih menyukai pria dewasa yang tak jarang sudah berkeluarga. Dori berkenalan
dengan kekasihnya dari sebuah aplikasi kencan para gay. Persamaan keduanya
adalah, Dori kurang kasih sayang ayah sejak kecil. Ayah merantau dan tak pernah
memberikan nafkah dan kasih sayang padanya. Beruntung ibu masih memiliki sawah
yang bisa digarap.
Mereka
belum berani mengakui orientasi seksualnya yang sering dianggap menyimpang di
lingkungan rumah. Berpura-pura layaknya laki-laki pada umumnya. Bahkan Onci
berharap suatu saat bisa sembuh, ia kadang menangis saat sembahyang dan
berharap kelak bisa mendapat keturunan. Meski diapun tak tahu akan mulai
meninggalkan semua ini kapan. Dia juga tak begitu tahu jawabannya saat ditanya
cara apa yang akan digunakan selain berdoa untuk bisa berhenti? Onci masih
beranggapan bahwa ini semacam penyakit yang suatu saat akan sembuh.
Berada
di lingkungan atau berteman dengan lelaki LGBT, seperti yang dituturkan Dede Oetomo
dalam bukunya ‘’Memberi Suara pada Yang Bisu’’ memberikan rasa aman bagi
beberapa perempuan. Saya juga tak merasa canggung berada di antara mereka. Saat
tangan kami tak sengaja bersentuhan pada waktu bekerja misal seolah biasa saja
sama seperti yang saya rasakan dengan teman perempuan. Saya bingung ketika
mereka memberondong saya dengan pertanyaan mana yang lebih cantik dari mereka
berdua. Lalu saya jawab sambil bercanda, ‘’Ya masih cantikan saya!’’ Lalu Dori
tidak terima dan menjawab ‘’Ah itukan karena mbaknya punya p***k (sebutan jenis
kelamin perempuan)’’. Kami tertawa. Iseng saya melontarkan apakah keduanya
pernah cinta lokasi mengingat sama-sama LGBT. Mereka langsung dengan suara
lantang menjawab tidak. Karena sisi feminimnya mereka sama-sama lebih dominan,
sehingga lebih tertarik dengan seorang gay yang dominan sisi maskulinnya.
Onci
menasehati saya agar hati-hati dengan lelaki tampan agar tak tertipu kalau
mereka misal mereka LGBT. Dia juga penasaran dan menanyakan mengapa saya belum
berpasangan. Jika jadi saya dia pasti sudah mencari lelaki kaya dan menikah. Saya
hanya tersenyum melihat gerak-gerik dan suaranya yang lucu. Bahkan jika
dibandingkan saya, Onci dan Dori lebih feminim. Mulai dari gerakan berjogetnya
hingga kelihainnya main Tik-tok saat pekerjaan kami sedang senggang.
Senang
berteman dengan mereka yang apa adanya. Tak malu jujur tentang dirinya dan tak
bosan menghidupi diri sendiri. Terlepas dengan orientasi seksual dan apapun
yang menjadi pilihannya, saya berdoa semoga mereka tetap menjalani hari dengan
bahagia dan mendapatkan hak seperti warga Indonesia lainnya.
Komentar
Posting Komentar