Duka untuk Tuti

pict: koransn.com


Dua hari lalu Tuti dihukum mati.

Sudah lama hujan tak mau turun. Langit sepi, kupu-kupu malas beranjak pergi. Tak ada tanda-tanda, mendung bosan menangis. Lagi-lagi, kabar TKI dieksekusi.

Tahun 2009, Tuti berangkat ke Arab Saudi. Meninggalkan keluarga demi perbaikan ekonomi. Belajar bahasa baru, bertemu orang-orang dan kemungkinan-kemungkinan baru. Selang beberapa bulan bekerja di negeri yang asing itu, tepatnya 11 Mei 2010, Tuti didakwa membunuh majikannya.

Lansia yang dirawat Tuti sering melakukan pelecehan seksual padanya. Hingga titik di mana Tuti dipaksa berhubungan badan. Kesal atas perbuatan yang telah lama diterima, Tuti memukul majikannya dengan sebilah kayu. Berita lain menyebutkan Tuti mendorong kursi rodanya. Majikannya terkapar, jatuh dari kursi roda. Tuti panik dan kabur menuju Mekkah membawa beberapa perhiasan dan uang milik majikan. Tuti baru bekerja selama 8 bulan, dengan sisa gaji tak dibayar 6 bulan.

Di perjalanan, Tuti bertemu 9 pemuda Arab yang mengaku akan membantunya menuju Mekkah. Nahas, Tuti diperkosa dan diambil uang serta perhiasan yang dibawanya. Sudah jatuh, tertimpuk tangga. Pada 12 Mei 2010, Tuti ditangkap polisi. Proses hukum berjalan, Juni 2011, ia divonis hukuman mati.

Tujuh tahun setelah melewati proses pendampingan hukum dan upaya agar dibebaskan telah dilakukan. Ada sedikit angin segar bahwa beberapa bulan sebelumnya, permohonan peninjauan kembali dikabulkan. Pertengahan Oktober 2018 bahkan Tuti dapat berkomunikasi dengan ibunya melalui videocall, dan memberitahukan bahwa kondisinya saat itu sedang sehat dan baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa sebentar lagi dirinya akan dieksekusi. Pada tanggal 29 Oktober, Tuti dieksekusi tanpa ada notifikasi pada pemerintah RI.

Sebelum Tuti, sudah ada Karni, Siti, Zaini, Yanti dan Ruyati, TKI yang mengalami nasib serupa. Berjuang demi keluarga ke negeri Saudi dan berakhir dengan hukuman mati. Memutuskan untuk meninggalkan rumah bukan hal yang mudah. Terlebih bagi perempuan seperti Tuti, di negeri yang tak ramah padanya. Iming-iming akan hari esok yang lebih menjanjikan membuyarkan ketakutan-ketakutan itu.

Sakit membayangkan, saat dia lelah bekerja di negeri orang dan jengkel setiap hari bertemu sosok yang dirawat melecehkannya. Lalu terengah-engah mencoba menyelamatkan diri dan diperkosa 9 pria. Saya tak bisa mendefinisikan, kesedihan dan kekesalan macam apa yang saat itu Tuti rasakan. Sesak. Tak henti sampai disitu, Tuti harus menelan pil pahit lagi, divonis hukuman mati. Genap sudah.

Negara sudah seperti Tuhan, merasa paling tahu tingkat dosa seseorang. Merancang hukuman ke berbagai tingkatan. Mulai dari yang ringan hingga yang tak bisa dimaafkan. Lalu bagaimana jika sebenarnya Tuti ataupun Tuti-Tuti yang lain tak bersalah? Siapa yang bisa mengembalikan nyawanya?

Jika untuk memberikan efek jera, kasus serupa terus berulang. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa hukuman ini bisa memberikan efek jera bagi siapa saja.

Seperti Tuti yang hanya ingin membela diri tapi dituduh melakukan pembunuhan berencana pada Lansia yang hendak memperkosanya.

Saya sepakat dengan Camus, negara tidak punya hak untuk merebut hidup orang lain. Hukuman mati tidak merubah apapun, justru menambah kematian yang baru.

Hujan tak turun juga. Tapi kesedihan telah membasahi keluarganya berkali-kali. Dan kesedihan keluarga lain dari deretan nama yang menunggu gilirannnya tiba.  

Tiba-tiba saya ingat ibu yang menjadi TKW dan kakak perempuan saya yang akan segera menyusulnya. Semoga aman di manapun kalian berada.



Komentar