Sambel Pecel Mak Sri



                Sore ini Mak Sri lari-lari dengan wajah panik. Tak setenang biasanya. Suaranya gemetar, seperti ada tangisan yang tertahan. Saya lari kecil mengikuti Mak Sri. Langkahnya mulai pelan, merambat ke pagar salah satu rumah milik tetangganya. Beberapa orang ikut panik menghampiri. Saya rengkuh tubuhnya pelan membimbingnya agar duduk sejenak. Mak Sri duduk perlahan sambil menggenggam erat tangan saya. Tubuhnya lemas. Penduduk gang setempat mulai menghampiri bingung dengan apa yang terjadi.
                ‘’Faishol....’’, kata Mak Sri dengan mata berkaca-kaca.
                Percakapan berikutnya berbahasa Madura. Sekalipun tak banyak yang saya tahu artinya, rupanya Mak Sri baru saja melihat anak tetangganya kecelakaan disertai dengan lumuran darah. Mak Sri tak tahu pasti kronologi bagaimana kecelakaan ini terjadi, tapi yang jelas dia shock dengan apa yang barusaja dilihatnya. Korban sudah tergeletak dengan darah mengucur di kepala. Beberapa warga yang mendengar obrolan Mak Sri mencoba menenangkan. Ada juga yang ikut berlari menuju ke lokasi korban yang sudah dilarikan ke puskesmas terdekat. Setelah beberapa orang bubar, Mak Sri berkata lagi,’’Kasian Nduk, bapaknya baru meninggal beberapa bulan kemarin...’’
                Mak Sri lalu kembali menuju warung pecelnya.
                Mak Sri adalah seorang perempuan paruh baya yang biasa berjualan di warung pecel depan Toko Rindang samping masjid Sunan Kalijaga di Jember. Warungnya buka mulai pagi sampai tengah malam. Beberapa hari terakhir warung ini jadi pangkalan ojek online Grab. Gorengan dan kopi, menu favorit mas-mas dan bapak-bapak yang melepas lelah mampir kemari. Terlebih nasi pecelnya, menu wajib yang perlu dicoba setidaknya sekali selama kamu berada di Jember. Enak, dan porsinya pas.
                Warung Mak Sri berjalan seadanya. Kadang saya iseng bertanya mengapa tak menambah menu saja. ‘’Ini saja tak mesti habis.” Takut jika lebih banyak yang tersisa lagi jika menunya bertambah. Jika garam sedang mahal, kadang gorengannya kurang terasa asin. ‘’Kok kurang asin Mak?’’, tanya seorang pembeli suatu ketika. ‘’Iya kemarin lupa ngasi garamnya terlalu sedikit...’’ jawab Mak Sri. Mak Sri tak lupa, hanya tak kuat jika terlalu banyak memakai garam yang harganya melambung. Pecelnya kadang hanya memakai kecambah, gorengan, tanpa memakai banyak sayur karena sudah bosan memasak sayur karena sepi pembeli berhari-hari.
                Meski harga ayam dan telur  naik turun, Mak Sri akan tetap berjualan. Sekalipun hanya kopi dan gorengan yang bisa disajikan. Baginya, uang harus selalu berada di arus perputaran. Kadang Mak Sri berkisah tentang tetangganya yang suka nilep uang rakyat susah. Mak Sri tak mau begitu, ‘’Biar sedikit asal barokah!’’ kata Mak Sri. Meski usianya sudah menua, Mak Sri tetap semangat bekerja. Mak Sri tak sendiri, ada suami dan anak laki-laki yang membantu dan menemani selama berjualan. Sembari naik becak, sembari berjualan bensin. Mak Sri dan suami mencoba tetap bertahan di usia yang mungkin bagi beberapa orang sudah saatnya menikmati fase istirahat dari bekerja.  Celotehan-celotehan saya agar menunya lebih bervariasi dan usulan memasang tulisan ‘’Warung  Pecel Mak Sri’’ di warungnya tentu tak begitu menarik bagi mereka. Memangnya bisa meningkatkan pendapatan? Lalu modalnya didapat dari mana? Ya... apalah saya yang minim pengalaman terkait jual menjual ini.
                Di tengah maraknya bisnis kuliner baru di Jember dengan segala upaya promosinya, mulai dari dunia persayapan ayam sampai es kepal-kepal-an, bisnis kecil semacam warung Mak Sri ini masih bertahan. Mak Sri selalu terlihat ceria dan hangat pada siapa saja. Warung ini sempat tutup karena Mak Sri sakit. Namun tak pernah lama, karena pelanggan setia sudah menunggu kopi dan gorengan buatannya.
                Mak Sri sudah seperti ibu sendiri. Sering Mak Sri menggoda saya dengan bahasa Madura. Mengajari beberapa rahasia memasak yang terkadang unik bagi saya. Seperti mencelupkan sendok logam saat merebus santan agar tidak pecah. Sesekali Mak Sri menambah lauk di bungkusan nasi yang saya beli. Memberi buah saat berlebih jika saya lewat warungnya. Menanyakan perihal apakah saya sudah punya pacar. Dan beberapa percakapan lain yang selalu membuat saya ingat ibu jika bersamanya. Menjelang masa-masa terakhir selama di Jember Mak Sri sering menanyakan kapan saya diwisuda. Mak Sri selalu berpesan agar saya tak melupakannya jika nanti meninggalkan kota ini.  
                Sehat selalu Mak Sri, darimu aku selalu merasa, bahwa tangan ibu ada dimana-mana.
                Oh iya, kalau beli pecel di sana, saya titip salam agar Mak Sri selalu menjaga kesehatannya yaaa...

Komentar

Posting Komentar