Jangan Bungkam Kami...


pict: JatengPos


Beberapa pekan terakhir, Via Vallen baru saja memposting screenshoot DM dari pesepakbola Indonesia yang isinya dianggap bernada melecehkan melalui instastory miliknya. Beritanya langsung merebak di tanah air. Beberapa memuji, namun ada juga yang menganggap tindakan Via Vallen tersebut berlebihan.
Sebagai perempuan, saya sepakat mendukung apa yang dilakukan oleh Via. Saya pernah mengalami hal yang serupa, mendapat pesan tak senonoh bahkan dari teman lama yang sudah saya kenal. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saya pikir hal semacam ini bukanlah topik yang tepat untuk dijadikan bahan candaan. Tengah malam tiba-tiba ada nomor tak dikenal mengirim sebuah pesan pada saya. Rupanya teman SMP yang dulu sempat satu Ekskul dengan saya. Di awal-awal percakapan saya biasa saja, menanggapinya karena sebagai teman kita wajar menyambung silaturrahmi. Dulu kita berteman baik, terakhir bertemu dia menggandeng seorang pacar. Namun beberapa tahun terakhir dia dikabarkan putus dengan perempuan itu. Dan saya tak tahu apakah saking depresinya dia sampai mengirim pesan tak pantas (terkait hal berbau porno) dan beberapa kali menelfon dengan bahasan yang tak menyenangkan juga pada saya. Saya kesal, dan memblock nomornya. Saya tak sepopuler Via Vallen. Kekesalan ini hanya bisa saya rasakan sendiri.
Saya tiba-tiba ingin menuliskan ini. Betapa banyak perempuan yang hingga hari ini masih sulit untuk menyelamatkan dirinya. Apa yang saya dan Via alami ini tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kisah tetangga yang tak bisa disebutkan namanya. Bukan lagi pelecehan secara verbal, tapi sudah mencapai kekerasan fisik. Parahnya lagi pelaku merupakan suami sendiri.
Dia adalah pedagang sayur yang sangat tekun dan sudah memiliki dua anak. Suaminya sedikit tak beres, suka marah-marah, mengamuk dan menyiksanya. Mulai dari jambakan, tendangan hingga pukulan. Ini berlangsung bertahun-tahun, dan kisah nyata yang sangat menyedihkan untuk dibaca.
Terkadang kita memang tak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Begitu pula dengan tetangga saya ini. Dia bertemu dengan seorang pria yang perlahan-lahan telah mampu meluluhkan hati. Mereka memutuskan untuk menikah. Tak disangka, rupanya sang suami sangat temperamental. Emosi yang begitu labil dan menyeramkan sekali tiap ada yang menyulut amarahnya. Yang paling sering menjadi korban tentu saja sang istri.
Tahun berganti, sampai akhirnya mereka memiliki dua anak. Tak ada yang berubah dari sang suami, justru semakin menjadi. Tak mau bekerja, dan seringkali menganiaya jika tak dituruti maunya. Hampir semua tetangga pernah bermasalah dengannya. Jika kegilaan ada angkanya, saya tak bisa mendefinisikan kegilaannya ini di tingkat berapa. Karena semua yang dilakukannya selalu di luar prasangka. Dia masih mengenal uang, masih mengenal siapa saja keluarga. Sering saya berpikir jika dia pura-pura gila. Tapi entahlah. Yang jelas psikologisnya pasti terganggu.
Jika kamu pikir mengapa dia tak meminta cerai saja? Apakah saking cintanya si perempuan ini sampai tak bisa lepas dari belenggu? Jawabannya: tak semudah yang kita bayangkan. Cinta dalam hatinya sudah habis (berdasarkan pengakuannya). Meski saya tak bisa memastikan apakah benar-benar tak ada cinta yang tersisa di hatinya. Terkadang perempuan terlalu rapi menyimpan apa yang dirasakan.
Setiap akan berpisah, lelaki ini selalu berupaya untuk kembali. Tak ada yang berani mengusik hidupnya. Sang istri hanya berpikir bahwa ini harus tetap ia jalani demi kedua anak. Dosa masa lalu yang harus ditanggungnya karena telah salah memilih. Semangat hanya demi anak, tak lebih. Jika sepasang suami istri harusnya saling menguatkan, tapi tidak dengan ini. Yang satu menjatuhkan yang lain, dan yang lainnya itu tak henti-hentinya untuk berusaha agar tetap berdiri di atas kaki sendiri.

Pukul dua pagi ia telah mengayuh sepedanya ke pasar untuk ‘’kulak’’ sayur yang akan dijajakan pukul 6 pagi. Dia berkeliling dengan sepeda itu sampai pukul 09.00-nan. Setiap hari tanpa henti. Tubuhnya mungil, tapi semangatnya selalu membara. Syukurlah, rejekinya lancar. Dagangannya selalu laris diborong pembeli karena selalu datang lebih awal dari tukang sayur lainnya. Di balik itu, dia menahan air mata yang siap ditumpahkan tiap sedang duduk sendirian.
Beberapa kali suami berhubungan dengan polisi, namun selalu berhasil kembali tanpa akhir mendekam di jeruji besi. Entahlah, apa yang telah menjadikannya sekebal ini. Para tetangga sudah tak mau lagi berurusan. Lagi-lagi, tak ada yang bisa membantu tetangga saya itu agar lepas dari jeratan suaminya yang tak waras. Pernah suatu ketika saudara laki-laki perempuan ini mencoba membantu, tapi malah dimusuhi sampai sekarang dan beberapa kali berkelahi.
Saya tak tahu, apakah di pelosok lain masih terjadi hal serupa. Seorang istri bertahan dengan suami yang terus menerus menganiayanya. Bersuara bukan hal yang mudah bagi beberapa perempuan. Terlebih jika kondisinya sudah semakin jauh, melewati masa berumahtangga bersama selama bertahun-tahun dan anak sudah cukup dewasa. Saya sedih, tak bisa berbuat banyak untuk membantu. Saya sedih sering bercakap tentang perempuan tapi tak bisa membantu mengurangi beberapa kesulitan yang mengganggu hidupnya setelah sekian lama.
   Tak hanya tetangga saya ini, beberapa bulan yang lalu kenalan nenek saya meninggal karena penyakit komplikasi yang diderita. Baru setelah beberapa minggu sepeninggalannya, sang anak menemukan sebuah catatan harian milik ibu. Dalam catatan tersebut tertera tanggal beserta kejadian saat ia disiksa oleh suami (yang baru dinikahinya selama beberapa tahun ini). Setiap kali disiksa ibu ini selalu mencatatnya. Sayang sekali, kekerasan ini baru diketahui setelah ia meninggal.
Seolah tak ingin terus hidup membujang, belum lama setelah istrinya meninggal suami teman nenek saya tersebut ingin mengajak nenek saya menikah. Tapi nenek saya tak bersedia. Ini adalah tawaran menikah kesekian kalinya yang ditolak oleh nenek. Nenek lebih bahagia hidup sendiri. Nenek sadar pernikahan di hari tua hanya menuntutnya untuk mengurus dan mengabdi pada suami baru yang tak betah hidup sendiri. Nenek memilih berbahagia dengan fokus kepada anak cucu, bekerja, merawat diri dan menikmati hidup di hari tua.
Nenek saya dan mungkin beberapa perempuan di sudut lain yang bernasib sama sudah bosan hanya dijadikan perawat pribadi laki-laki yang malas mengurus dirinya sendiri. Hidup sudah keras, tak perlu ditambah lagi.
Ya, tak semua perempuan bisa bersuara hingga hari ini. Semoga kita lebih belajar untuk berani bersuara lagi.

Komentar