PR KITA DI MASA DEPAN : ‘’LITERASI KEBERAGAMAN’’


           
pict: guetau.com
Jika Gajah Mada hidup hingga hari ini, mungkin ia akan marah. Upayanya selama 21 tahun dalam menyatukan nusantara ternodai oleh orang-orang yang memicu terjadinya konflik dan perpecahan atas nama suku dan agama. Seperti kemarahannya saat para petinggi kerajaan menertawakan Gajah Mada ketika mengumandangkan ‘’Sumpah Palapa’’.
            Kemajemukan Indonesia yang memiliki keragaman suku, agama, budaya, bahasa maupun adat istiadat memang rentan terhadap konflik maupun gesekan-gesekan antar kelompok. Sejarah kemerdekaan nusantara juga melampaui rentetan kisah yang panjang. Majapahit sebagai kerajaan Hindu dimana Gajah Mada berperan sebagai Mahapatih paling berjaya pada masanya memang begitu berjasa, tapi di rentang selanjutnya agama lain seperti Budha, Islam, Kristen, dan kelompok agama lainnya, juga turut andil dalam upaya memerdekakan Indonesia. Tak perlu merasa paling berjasa, atau menganggap salah satu golongan paling ideal untuk dijadikan pedoman. Jika perasaan ‘’paling’’ ini terus dipupuk, kesatuan negara kita terancam. Pancasila yang disusun dengan penuh perjuangan itu tak dimaknai sepenuh hati jika ini terus terjadi. Menyeragamkan sesuatu yang jelas memiliki warna berbeda merupakan suatu kebodohan, apalagi menyangkut urusan keyakinan. Seperti yang dikatakan Voltaire, ‘’Sungguh merupakan puncak ketololan jika seseorang beranggapan dapat menyeragamkan pendirian seseorang mengenai metafisika,’’ dalam bukunya yang berjudul Traktat Toleransi.
            Konflik Ambon (1999), Konflik Poso (1998) , hingga Konflik Tolikora (2015) menjadi contoh kasus pertikaian antar dua golongan agama yang menewaskan beberapa orang dan membumihanguskan beberapa rumah. Tak hanya konflik agama, kasus Perang Sampit, konflik suku aceh dan suku jawa pendatang, hingga konflik antar suku di Papua, menjadi bukti bahwa bukan agama saja yang menjadi pemicunya. Beberapa terselesaikan melalui upaya rekonsiliasi dan perundingan, namun ada juga yang masih menyimpan dendam hingga hari ini. Rupanya, menyikapi perbedaan memang bukan pekerjaan yang mudah.
            Sayangnya, seringkali kelompok minoritas di negeri ini mendapat diskriminasi dari kelompok-kelompok intoleran. Berdasarkan laporan Human Rights Watch, sepanjang 120 halaman, berjudul “Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia,” merekam kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang lakukan intimidasi dan serang rumah-rumah ibadah serta anggota-anggota minoritas agama. Mereka makin hari makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen maupun Muslim Syiah. Satu lembaga pemantau kekerasan mencatat 264 kasus kekerasan tahun lalu (dikutip dari www.hrw.org, pada 25/02/2013). Cerita hari ini, bukan lagi perang antara dua agama. Lebih sering gesekan ini terjadi antar orang-orang beragama sama namun pada naungan kelompok berbeda. Belum lagi berbagai bentuk diskriminasi dialami oleh agama-agama minoritas yang belum diakui negara hingga hari ini  seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Marapu, Kaharingan, dan penghayat kepercayaan lainnya.
            Upaya penanaman toleransi didengungkan, namun seringkali hanya diterapkan secara setengah-setengah. Misal mau bertoleransi hanya pada sesama sukunya saja, atau misal hanya mau toleransi pada pemeluk agama yang diakui negara saja. Toleransi menjadi hal yang bisa ditawar posisinya. Sentimen agama menjadi salah satu faktor yang paling sering memicu beberapa orang menjadi intoleran. Mulai dari memilih pemimpin, memberikan ucapan selamat di hari besar agama hingga upaya menolong sesama namun beda agama seringkali menjadi perdebatan. Perkembangan media sosial juga memicu penyebaran berita-berita hoax yang semakin memperkeruh suasana. Beberapa media bahkan tak bisa menyajikan berita yang berimbang sehingga kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi justru semakin dipojokkan dengan stigma yang dibentuknya. Wawasan tentang toleransi keberagaman saat ini perlu menjadi benteng penting yang berangkat dari sisi pemahaman masyarakat sendiri.  
            Sebenarnya sejak duduk di bangku sekolah dasar, setiap dari kita sudah ditanamkan nilai-nilai toleransi di mata pelajaran kewarganegaraan. Namun seiring bertambahnya usia, toleransi yang telah dipupuk sebelumnya itu mulai memudar. Hingga banyak yang mulai beranggapan bahwa penurunan toleransi ini berbanding lurus dengan tingkat literasi masyarakat kita yang rendah. Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara dengan minat baca paling rendah menurut Penelitian The World's Most Literate Nation yang dilakukan oleh The Central Connecticut State University pada 2016. Para pegiat literasi memahami bahwa angka ini bukan perkara kemalasan semata, tapi juga dikarenakan fasilitas maupun akses untuk membaca masih sangat terbatas. Akhirnya beberapa bantuan buku  dan program-program literasi digalakkan. Ongkir gratis di kantor pos setiap tanggal 17 untuk pengiriman buku-buku donasi mulai dicanangkan. Beberapa TBM (Taman Baca Masyarakat) maupun komunitas literasi mulai bertambah jumlahnya dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan. Buku-buku mulai menjangkau ke daerah-daerah terpencil dan pelosok desa.
            Proses penanaman kebiasaan dan pemahaman baru dalam masyarakat tak bisa dengan mudah dicapai dalam jangka waktu yang singkat. Sasaran yang biasanya paling terkena dampaknya seringkali masih terbatas pada anak-anak hingga remaja. Pernah suatu ketika saya menghadiri salah satu rangkaian FBM (Festival Bonorowo Menulis) yang diagendakan oleh Pena Ananda di Tulungagung (Jawa Timur) pada bulan Oktober 2017 lalu. Kegiatan ini memang berupaya untuk lebih melibatkan masyarakat lokal agar semangat berpartisipasi di dalamnya. Pada acara tersebut diadakan workshop yang mengundang beberapa kepala desa dan perangkat desa di Kabupaten Tulungagung. Pemahaman para petinggi desa tentang pentingnya literasi ini masih minim, antusias dan respon mereka juga sangat kurang. Hingga saya menyadari, bahwa upaya menanamkan literasi tidak bisa hanya kita tanamkan sekali dua kali pada agenda tertentu saja. Pegiat literasi perlu memutar otak agar gerakan-gerakan mereka bisa lebih membumi di masyarakat yang ditujunya.
Istilah literasi semakin populer hingga banyak kategori-kategori yang mucul seperti Literasi Sekolah, Literasi Media, Literasi Agama, Literasi Keuangan maupun Literasi Seks. Literasi sekolah misalnya merupakan gerakan Tiga puluh menit sebelum kegiatan belajar, siswa diberi kesempatan  membaca buku.  Atau literasi agama berdasarkan penuturan Diane L. More dalam artikel "Overcoming Religious Illiteracy: A Cultural Studies Approach" menyatakan literasi agama adalah kemampuan untuk melihat dan menganalisis titik temu antara agama dan kehidupan sosial, politik, dan budaya dari beragam sudut pandang. Bila dicermati lagi, literasi bukan hanya berkenaan dengan budaya baca tulis. Seperti definisi yang diungkap Education Development Center (EDC) bahwa literasi bukan sekadar kemampuan baca-tulis, melainkan kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Literasi juga berkenaan dengan kemampuan membaca kata, alam, dan membaca dunia di sekelilingnya.  
Ketika literasi mampu menjadi jantung aktifitas peradaban baik di kota maupun di desa-desa maka kemampuan masyarakatnya untuk lebih berpikiran terbuka akan mudah dijangkau. Seperti yang dituliskan oleh Yusran Darmawan dalam esainya yang berjudul Literasi Hebat untuk Desa yang dimuat di locita.id (5/09/17), dia membayangkan betapa dahsyatnya jika perpustakaan menjadi community center (pusat komunitas), meeting point (tempat bertemu), juga menjadi tempat memulai dan menjalankan aktivitas. Dimana ibu-ibu bisa datang dengan anaknya untuk mendengarkan dongeng bersama. Atau para petani bisa diskusi untuk membahas bagaimana meningkatkan hasil panennya di musim berikutnya. Anak-anak juga bisa belajar sejarah desa dan budaya lokal dari para tetua kampung pada hari tertentu.
Namun menanamkan literasi saja untuk menangkal intoleransi tidaklah cukup. Masyarakat Indonesia yang begitu majemuk ini perlu pendalaman yang lebih dalam memahami keberagaman dan toleransi dalam bermasyarakat. Sebagaimana literasi agama, literasi keberagaman ini berupaya untuk memberikan wawasan luas akan macam-macam suku, bahasa, adat serta golongan agama yang berbeda serta upaya merawat persatuan, dengan menyikapi perbedaan-perbedaan itu. Akan selalu ada titik temu ketika kajian kebergaman ini diulas dari berbagai sudut pandang. Di kalangan jurnalistik, SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) sudah melakukan start lebih awal untuk lebih fokus memperjuangkan ini. Sehingga berita-berita yang ditulis mencakup semua yang terlibat, bahkan memberikan porsi yang besar pada pihak yang minoritas dan terdiskriminasi. Banyaknya tulisan berita yang justru memanaskan suasana menjadi salah satu alasan pentingnya wawasan keberagaman di kalangan wartawan ini ditanamkan. Demikian halnya di bidang literasi, kajian keberagaman ini penting untuk memupuk kemanusiaan masyarakat kita agar lebih toleransi pada sesamanya. Karena tak bisa dipungkiri, kita hidup di negara yang begitu heterogen.
Bagaimana literasi keberagaman ini bisa diterapkan? Tentu ini masih menjadi PR kita di masa depan. Proses mengenalkan masyarakat dengan literasi saja memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi dengan tambahan embel-embel ‘’keberagaman’’ di dalamnya? Tapi bukan berarti tak mungkin, karena arah kita untuk kesana sudah terbuka jalannya pelan-pelan. Semakin banyak orang-orang yang terketuk menjadi pegiat literasi dan membuka perpustakaan untuk masyarakat. Kita hanya perlu menyiapkan resepnya, agar setiap kegiatan-kegiatan yang digalakkan tak hanya melibatkan satu golongan saja. Wawasan tentang menyikapi perbedaan dan bagaimana memahami keanekaragaman budaya, agama, bahasa, serta adat istiadat di Indonesia menjadi kajian penting yang bisa diselipkan di setiap acaranya baik lokal ataupun agenda rutinan khusus. Sasarannya tak melulu anak-anak dan remaja, tapi juga masyarakat dewasa. Bacaan-bacaan penting tentang keragaman budaya perlu ditambah dan jadi rekomendasi khusus untuk dibaca masyarakat. Literasi keberagaman ini juga tak hanya menyentuh pegiat literasi saja tapi juga seluruh pemimpin, aparat negara maupun kalangan pemuka agama karena biar bagaimanapun mereka berpotensi besar dalam memengaruhi dan mengajak masyarakat untuk memahaminya. Generasi milenial yang kreatif dalam menciptakan karya mulai dari video hingga film pendek menarik untuk memaksimalkan manfaat media sosial sebagai salah satu fasilitas dalam menebarkan pesan damai di masyarakat juga harus dilibatkan.

Semoga PR kita ini bisa kita kerjakan dengan baik di masa depan. Semoga agen-agen penebar kedamaian bertajuk ‘’Literasi Keberagaman’’ semakin bertaburan. 

Komentar