Meskipun
kuliah di Fakultas Pertanian, saya tak pandai jika ditanya perihal tanaman. Selain
karena jurusan saya agribisnis, dimana materi tentang tanaman tak diberikan
secara mendalam, dunia saya selama kuliah lebih banyak berhubungan dengan
jurnalistik. Meskipun begitu saya suka pada dunia pertanian ini dengan
memandang sisi humanioranya. Banyak pelajaran berharga dari beberapa filosofi
tanaman, kehidupan petani, sawah, serta sisi edukasi lain yang selalu bisa jadi
inspirasi saya dalam membuat tulisan. Namun tak jarang, sisi kesedihan lebih
sering muncul karena nasib banyak petani yang masih jauh dari kata sejahtera. Ditambah
lagi permasalahan kompleks lain, entah dari sisi kebijakan, hingga alam yang
sudah rentan akibat eksploitasi berlebihan maupun bencana alam. Sekalipun bukan
mahasiswa pertanian yang pandai menanam, banyak hal-hal berharga yang tertanam
dalam jiwa saya selama kuliah di bidang ini.
Alhasil, topik penelitian saya juga
tak sama seperti topik mahasiswa agribisnis kebanyakan yang biasanya mengulik
pendapatan, produktifitas, ataupun topik kuantitatif lain yang berhubungan
dengan sisi ekonomi petani. Saya memilih topik gender, yang mengkaji peran
perempuan yang bekerja di pembibitan sengon. Lokasi penelitian ada di salah
satu desa di Trenggalek. Saya merupakan pendatang di sini. Namun saya juga tak
asing dengan masyarakatnya karena nenek saya merupakan warga penduduk setempat,
dimana setiap bulan sering saya kunjungi. Sembari beradaptasi dengan lingkungan
rumah kami yang baru, saya memilih desa ini sebagai lokasi penelitian.
Mengapa
memilih topik peran perempuan?
Ya,
selain karena saya lebih suka penelitian kualitatif, saya memang menyukai
topik-topik gender. Dulu saya sangat beruntung dapat berkesempatan mendapat
mata kuliah ‘’Gender dan Pembangunan’’, dari sana saya jadi lebih memahami
bagaimana pembagian peran laki-laki dan perempuan sebagai peserta pembangunan
nasional. Tak heran sewaktu menyusun majalah di UKM Jurnalistik kampus, topik
yang saya tulis juga berkenaan dengan perempuan. Ya, sebagai perempuan saya
tertarik untuk mempelajari bagaimana sebaiknya saya dan kaum saya memandang dan
memposisikan diri. Bukan karena ingin melampaui atau melawan lelaki, sama
sekali bukan. Tapi lebih pada belajar bagaimana kita memandang dan
memperlakukan orang lain selayaknya manusia dengan segala kemampuannya. Bukan karena
dia laki-laki ataupun perempuan.
Mengapa
memilih pembibitan sengon?
Di lokasi penelitian saya hampir
setiap rumah yang ada di pinggir jalan memiliki bibit-bibit sengon di depan
rumahnya. Meski baru beberapa tahun, banyak keluarga yang kehidupannya berubah
karena jasa dari usaha pembibitan ini. Berkat sengon, hampir tak ada perempuan
menganggur di sini. Setiap hari ada saja pengusaha pembibitan sengon yang
memperkerjakan tetangganya, entah untuk mengganti polybag, menggeser tanaman,
mengisi polybag dengan tanah, hingga menanam benih sengon. Bibit sengon telah
membantu warga sini dalam mencapai kesejahteraannya. Dengan petakan bibitnya
yang berdekatan dengan rumah, para ibu-ibu tetap bisa mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. (selengkapnya
ada di skripsi saya kalau sudah kelar nanti yak, :D )
Tadi siang saat hendak melanjutkan
wawancara tambahan ke salah satu informan, saya menemukan tulisan : Menanam
adalah Menabung , di belakang bak pick up
salah satu rumah warga. Saya tertarik dengan kutipan ini sambil kembali
mencermati makna yang berada di baliknya. Tiba-tiba saya teringat salah satu
dongeng yang menceritkan kisah seorang Raja Persia dengan seorang Petani tua. Raja
tersebut pernah menegur petani tua yang sedang menanam pohon zaitun, ‘‘Untuk
apa Kau menanam pohon yang berbuahnya lama, Kau sudah tua dan tak akan dapat
menikmatinya?’’ Petani tua itu menjawab,’’ Wahai Raja, bukankah kita telah menikmati buah dari pohon
yang ditanam oleh orang – orang sebelum kita? Mereka juga menanam tanpa dapat
menikmati hasilnya, mereka menanamnya untuk dinikmati oleh generasi setelahnya
yaitu kita. Dan kini saatnya, kita menanam pohon zaitun ini untuk dapat
dinikmati oleh orang – orang setelah kita.”
Ya,
menanam adalah investasi terbaik yang manfaatnya tak hanya dirasakan oleh
penanamnya saja, tapi juga generasi setelahnya. Bibit-bibit sengon yang sudah
terjual dan tersebar ke berbagai pelosok itu kelak akan memberi hasil bagi
orang lain, entah dijadikan sebagai bahan produksi mebel, ataupun untuk menjaga
alam agar tetap terjaga keseimbangannya. Mungkin si penanam mendapatkan
keuntungan sekian ribu rupiah per bibitnya, tapi manfaat jangka panjang akan
didapat berlipat-lipat bagi pembelinya.
Saatnya
kembali memperhatikan alam. Saatnya kembali menabung untuk anak cucu di masa
depan. Jangan gusur lagi, jangan persulit lagi jalan hidup kaum tani. Selamat menabung!
Komentar
Posting Komentar