‘’Apa yang kamu miliki saat ini, tidak
akan ada artinya jika untuk dirimu sendiri. Kamu harus berbagi. Perubahan tidak
bisa berjalan sendirian!’’ kata Kartono pada adiknya, Kartini.
Menjadi Kartini seperti yang
ditayangkan dalam film yang saya tonton semalam memang tak mudah. Pada eranya,
dia harus dipingit menanti lamaran dari lelaki yang bisa jadi telah beristri. Belajar
tentang segala tata cara mengabdi pada suami. Dunianya hanya seluas ruangan
yang mengurungnya. Hingga kakak laki-lakinya yang cerdas dan pengertian
berhasil mengubah dunia dan pandangannya menjadi luas lewat membaca. Buku-buku
yang berhasil mengajaknya berpetualang keliling dunia itu telah mengubah
pemikiran-pemikirannya.
Tersebutlah seorang puteri bupati
Rembang yang jenuh dengan hari-harinya untuk digembleng menjadi seorang Raden
Ayu. Dia tak boleh keluar dan harus mengikuti semua peraturan keraton. Tertawa
bebas menjadi hal yang haram baginya. Tapi, Kartini tak menyerah begitu saja
menanti masa menjadi raden ayu tiba. Ia banyak membaca buku milik kakaknya. Prinsipnya,
‘’Tubuh boleh terpasung. Tapi jiwa dan
pikiran harus terbang sebebas-bebasnya’’.
Sepanjang hari, ia bisa bercakap
dengan kawan imajinasinya lewat buku yang ia baca. Belajar budaya, sastra, dan
majunya peradaban yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan kesetaraan antara
hak dan kedudukan bagi laki-laki dan perempuan. Hingga kedua adiknya, Kardinah
dan Rukmini bergabung serta belajar bersama Kartini. Mereka membaca, berkarya
dan membantu rakyat pengukir kayu hingga karyanya mendunia dan meningkat
kesejahteraannya. Bertukar pikiran dengan masyarakat Belanda dan mulai rajin
belajar menulis. Tulisannya banyak dimuat di media Belanda. Kartini juga rajin
berbalas surat dengan Stella, perempuan Belanda yang menjadi sahabat penanya.
Menjelang tercapainya cita-cita
Kartini untuk sekolah di Belanda, lamaran dari seorang bupati yang telah
beristri datang. Ia tak dapat begitu saja melawan. Ibunya dulu juga dimadu
dengan terpaksa hingga mendapat posisi sebagai pembantu. Kakaknya juga telah
dilamar bupati namun akhirnya menyesal karena tak kuat setelah suaminya menikah
lagi dengan perempuan muda. Kardinah, baru saja dijadikan istri ke-4 oleh
seorang bupati yang memang sebelumnya telah dijodohkan oleh orangtua
masing-masing. Ya, Kartini juga tidak tinggal begitu saja. Ia mensyaratkan
kepada suaminya agar Kartini diberi kebebasan untuk bertingkah laku setara
manusia biasa tanpa aturan kerajaan. Kartini juga mensyaratkan agar suami
bersedia mendukung dirinya untuk mendirikan sekolah perempuan.
Kartini yang saya lihat di film ini
memang tak semulus hidupnya seperti yang ada dalam buku-buku sejarah. Betapa
tingginya perbedaan hak kaum laki-laki dan perempuan pada saat itu benar-benar
membelenggu. Kartini juga tak bisa lepas begitu saja menentang tradisi, tapi
perlahan ia menyisipkan nilai. Yang bisa jadi telah tertanam begitu kuat di
benak perempuan-peempuan Indonesia hingga sekarang. Ya, dia juga bukan
satu-satunya perempuan paling berjasa. Ada Cut Nyak Dien, Dewi Sartika , Cut
Meutia dan beberapa pahlawan perempuan lainnya yang bisa jadi tak banyak
disebutkan namanya. Kita juga perlu mengenang mereka, berkat keberaniannya
untuk terjun menorehkan sejarah.
Saya tertarik dengan kalimat Yu
Ngasirah, ibu kandung kartini menjelang pernikahan Kartini. ‘’Kamu tahu ilmu
apa yang tidak dimiliki orang Belanda yang hanya dimiliki bangsa kita? Bakti’’.
Ya Bakti seorang ibu bagi anak-anak dan suaminya. Bakti yang bisa jadi
merupakan bukti rasa cinta yang tiada habisnya. Bakti yang terkadang lupa
dimaknai. Namun kebebasan yang dijunjung tinggi dari negara barat juga perlu
kita pelajari. Bebas untuk menyampaikan pikiran-pikiran kita, bebas untuk
meraih cita-cita yang telah lama kita impikan, bebas untuk mengembangkan
potensi dan menentukan pilihan-pilihannya. Kartini selalu mengajari kita untuk
tidak berpasrah pada keadaan.
Benar adanya jika Simone de Beauvoir
menyatakan bahwa perempuan merupakan hasil dari elaborasi peradaban. Dibentuk sedemikian
rupa di lingkungan yang telah mendoktrinnya bahwa possisi laki-laki jauh lebih
tinggi. Tapi bukankah laki-laki juga hasil elaborasi? Yang bisa jadi menanggung
beban berat karena citra yang sudah berkembang di masyarakat. Hanya saja,
konstruksi sosial itu lebih sering memojokkan beberapa kaum perempuan. Masih
banyak diskriminasi pada perempuan hingga hari ini, baik di lingkungan kerja,
sekolah hingga keluarga. Kekerasan seksual masih menunjukkan angka yang tinggi.
Tapi berteriak menyalahkan laki-laki juga bukan hal yang bisa dibenarkan begitu
saja. Bukankah laki-laki juga dibentuk karena konstruksi yang telah ada?
Kita dibesarkan dari tangan seorang
ibu yang bisa jadi menjunjung tinggi bakti seperti kata Yu Ngasirah tadi. Kita tumbuh
dan belajar lebih kuat berkat kasih sayang dan pengabdiannya. Tapi kita juga
bebas untuk berpikiran maju. Sudah tak ada pingit memingit sekarang, pun
perempuan juga lebih diberikan ruang. Jika hingga hari ini kita masih berpikir,
‘’Ah, kita kan perempuan!’’, mungkin kita sendirilah yang merendahkan perempuan
dan diri kita sendiri.
ajarin bikin blog dong bak :-)
BalasHapusyuk belajar bareng, datang di kelas literasi aja dek kalau ga sabtu ya minggu nanti belajar bareng, tak kabarin ya kalau fix harinya :)
Hapus