Berawal
dari keponakan yang mencintai film Frozen, saya mulai tertarik mengikuti
jalan ceritanya. Meski bukan pecinta film animasi, tapi saya merupakan salah
satu penikmatnya yang dulu ketika masih kecil sering menonton di hari Minggu. Tokohnya
masih seputar puteri dalam kerajaan. Hanya saja tak ada ibu tiri lagi disana. Cinta
sejati yang dihadirkan juga bukan berasal dari seorang pangeran. Tapi justeru
dari saudara perempuannya sendiri.
Tersebutlah
Elza, putri sulung di Kerajaan Arendelle. Ia dilahirkan berbeda, memiliki
kekuatan sihir yang dapat membekukan apapun yang disentuhnya. Elza memiliki
adik kecil bernama Anna dan mereka saling menyayangi. Namun suatu ketika Anna
jatuh tak sadarkan diri tersentuh sihir Elza saat bermain bersama. Elza beserta
ayah dan ibunya mendapat pesan agar tidak menunjukkan kemampuannya kepada
siapapun dan menghapus ingatan Anna tentang itu. Mereka dewasa, dan Elza sudah
waktunya menggantikan sang Ayah untuk memimpin kerajaan. Namun tanpa sengaja
rakyat kerajaan mengetahui kekuatannya. Rakyat mengecamnya, Elza pergi
melarikan diri dan mendirikan istana dari es yang megah. Cerita terus bergulir
hingga akhirnya Elza berhasil menyelamatkan Anna karena cinta darinya. Ya,
selalu berakhir dengan cinta yang menyelamatkan nasib tokoh utamanya. Tapi bukan
lagi datang dari seorang pangeran berkuda putih.
Rupanya
Disney mencoba berkembang mengikuti perkembangan bagaimana dunia memandang
perempuan. Jauh sebelumnya, animasi masa kecil saya bukan tentang Anna dan
Elza. Rata-rata berkisah tentang seorang puteri kerajaan yang disiksa ibu dan
saudara tiri dan akhirnya menemukan kebahagiaannya berkat cinta seorang
pangeran. Sosok putri dalam film ini juga selalu digambarkan cantik, sabar dan
baik hati. Satu yang paling saya ingat berjudul Cinderella. Pada tahun 1981, Colette Dowling pertama kali mengemukakan istilah Cinderella
Complex melalui bukunya yang berjudul The
Cinderella Complex : Woman Hidden Fear of Independen. Gejala ini merebak pada perempuan usia 20 an ke atas, dimana dalam
bayangannya ia mengharapkan kedatangan seseorang yang bisa membahagiakan hidupnya.
Dalam istilah lugasnya, ‘’perempuan-perempuan manja yang mulai ngebet nikah’’.
Perempuan
yang terserang gejala ini rata-rata diakibatkan oleh pola didik sejak kecil
yang terlalu memanjakannya. Saat mulai beranjak dewasa pula, lingkungan mulai
menuntut mereka terutama yang berumur 20 ke atas untuk segera menikah. Suami yang
mereka harapkan juga merupakan sosok laki-laki yang bisa mencukupi kebutuhannya
secara materi. Karena mereka enggan untuk mandiri. Cinderella yang cantik bisa
dipersunting pangeran yang kaya raya, begitulah persepsi yang muncul. Ia harus
mempercantik dirinya agar kelak datang seorang laki-laki yang melamar. Tak perlu
kerja keras dan belajar di sekolah tinggi-tinggi toh nanti ada suami yang bisa
mencukupi.
Mari sejenak
kita hapus bayangan tentang tokoh Cinderella yang memimpikan pangerannya. Tempo
hari saya menonton Beauty and The Beast
dalam versi Live Action yang baru ditayangkan bulan Maret lalu dengan Emma
Watson sebagai tokoh utama. Saya menyukai kisah dalam cerita ini. Setidaknya,
tokoh utama di dalamnya bukan berasal dari putri kerajaan. Tapi anak seorang
penemu yang hidupnya sangat sederhana dan dianggap aneh karena suka membaca,
yang bernama Belle. Belle tidak tergiur dengan Gaston yang tak bosan-bosan
untuk merebut hatinya dengan segala cara. Sekalipun tampan dan memiliki
segalanya, hati Belle tetap tak bisa ditakhlukkan. Disana juga dikisahkan,
Gaston mencoba merayu dengan menceritakan bahwa ketika ayah Belle nanti pergi
ia akan menderita ketika tak punya sosok laki-laki lain untuk mengayomi
hidupnya seperti janda yang mengemis di seberang jalan. Belle tidak tergiur,
Gaston bukan pilihan hatinya. Dia masih percaya, kemandirian bisa diraihnya
dengan bekerja keras dan usahanya sendiri. Bukan berasal dari pemberian,
ataupun takdir yang digariskan begitu saja.
Kita dibesarkan
dalam buaian dongeng yang terkadang memanjakan penikmatnya dengan mimpi-mimpi. Kita
pun mengamini, kebanyakan dari dongeng-dongeng princess ini berakhir dengan kebahagiaan. Realitasnya, hidup bukan
sekedar tentang kebahagiaan saja. Pangeran-pangeran yang dikisahkan di dalamnya
juga tak ada dalam dunia nyata. Kebahagiaan yang akan datang esok hari juga
akan selalu diselingi dengan kisah pahit yang silih berganti tanpa henti. Kereta
kencana dan sepatu kaca sudah tak menggoda lagi sekarang karena sihir ibu peri
sudah selesai hingga hari ini. Sudah waktunya Cinderella bergabung dengan Belle
yang rajin ke perpustakaan, Moana yang berani belajar berlayar demi mencari Maoui untuk menyelamatkan kaumnya, Mulan yang
tak gentar belajar ikut militer untuk ikut berperang, ataupun Merida yang
mengajari kita tentang pentingnya kesetaraan gender pada zamannya. Selebihnya tergantung kita, bagaimana nanti menuliskan dongeng kita sendiri. Dengan tak hanya berdiam diri memimpikan pangeran yang tak kunjung datang.
Komentar
Posting Komentar