Belajar Bersabar dari Tanaman


                Menjadi mahasiswa pertanian di negeri agraris yang sudah hampir tak layak disebut agraris itu tak mudah. Betapa banyak artikel di beberapa media selalu mempertanyakan, ‘’Mahasiswa pertanian dimana?’’ saat begitu banyak masalah menyangkut petani mulai memanas. Belum lagi jika setelah lulus beberapa dari mereka justru bekerja di bidang lainnya, ini akan dijadikan sebagai salah satu kambing hitam mengapa jumlah petani semakin menurun.
                Jujur saja, permasalahan peliknya nasib petani di sela-sela perkuliahan sering kami dengar. Mulai dari permainan harga tengkulak nakal, cuaca tak menentu, lahan yang tak jelas kepemilikannya, subsidi pupuk yang tak merata, maraknya produk impor dan beberapa masalah lainnya. Kami juga sering turun ke lapang, tapi hanya untuk memenuhi tugas laporan praktikum. Selebihnya, kami hanya tahu dari slide-slide dosen saat di perkuliahan. Jangankan tentang nasib petani terkini, berita yang lagi populer kadang baru kita tahu sekitar satu minggu lagi. ya, kami terlalu disibukkan oleh padatnya perkuliahan, praktikum dan revisi laporan-laporan. Akhirnya rasa empati berkurang, dan tujuan selanjutnya hanyalah lulus secepatnya. Setelah lulus, tak banyak yang bisa memprioritaskan di bidang ini apalagi untuk bergelut dengan petani. Yang penting kerja, dan segera berpenghasilan sebanyak-banyaknya.
                Kadang saya memilih keluar dari kotak ini. Bertanya lagi mau jadi apa setelah ini. Tapi saya mulai lelah berpikir sesuatu yang bisa jadi belum pasti ke depannya. Lebih baik fokus pada apa yang harus dikerjakan dalam waktu dekat sambil merancang pelan-pelan rencana ke depan. Lari ke kegiatan yang menjadi hobi saya menjadi salah satu solusi atas kebingungan akhir-akhir ini.
                Pagi ini, kelas literasi Kampoeng Batja pertama setelah liburan panjang idul fitri dan hari kemerdekaan diadakan. Temanya adalah kelas menanam. Sejak kecil kami jarang diajarkan lebih dekat dengan tanaman. Paling sering materi tentang tanaman di terima saat pelajaran IPA dan PLH tiba. Untuk itulah, sesekali kelas literasi tak hanya bergelut dengan buku dan pensil. Mendekatkan mereka pada tanaman, tujuan kami pagi ini.
                Setelah pembukaan, kita menunjukkan bentuk benih pada para peserta kelas literasi. Benihnya sudah sedikit pecah, karena saya rendam semalaman untuk mempercepat perkecambahan. Kangkung sengaja saya pilih agar bisa langsung ditanam tanpa disemai terlebih dahulu. Selanjutnya adik-adik diberi pemaparan proses pembuatan pot dari botol air mineral bekas yang dibelah menjadi dua. Tak lupa alasnya diberi lubang untuk jalan merembesnya air. Tahap selanjutnya adalah pemasukan media tanam yang merupakan campuran antara tanah, sekam dan pupuk dengan volume sepertiga wadah tadi. Benih diletakkan di tengah dengan sedikit ditekan lalu ditutup sengan tanah sehingga tak nampak di permukaan.
                Selanjutnya memasuki tahap pelabelan. Setiap benih yang ditanam oleh peserta akan diberi nama. Benih ini akan menjadi teman yang harus dirawat dengan baik agar tumbuh dengan sehat dan optimal. Lalu doa bersama memohon keselamatan dan kesuburan pada temannya ini. Terakhir penyiraman, sebelum akhirnya mereka bawa pulang.
                Tanaman merupakan guru terpenting untuk belajar kesabaran. Berawal dari benih, seseorang harus telaten menyiraminya setiap hari, pagi dan sore. Jika pemiliknya tak sabar, dia tak akan tumbuh. Menumbuhkan bibitnya harus menunggu satu minggu. Jika nutrisinya kurang, sang tuan kudu siap menyuplai pupuk yang diperlukan. Gulma sering datang tiba-tiba, mencuri nutrisi bagi tumbuhan utama. Itu artinya tanaman perlu penyiangan, biar tumbuhnya tidak mengalami hambatan. Ditambah lagi hama, kurang peka sedikit saja, tanaman bisa habis dirusak olehnya. Terus begitu, sampai panen tiba.
Bisa jadi, profesi petani dan siapapun yang bergelut dengan tanaman selama ini adalah orang-orang sabar yang dalam hidupnya tak banyak mengeluh. Hama menyerang, diupayakan penangkalnya sampai hilang. Harga di pasar terlalu murah, disyukuri berapapun penghasilannya dengan mengucap ‘’Alhamdulillah”. Jikapun panennya gagal, menangisnya pelan sekali. Lalu di musim tanam berikutnya masih siap menanam lagi.
Semoga adik-adik di kelas literasi ini bisa lebih dekat dengan tanaman agar bisa belajar untuk lebih bersabar. Tak perlu nunggu jadi petani agar bisa menanam. Syukur-syukur mereka bisa lebih berempati dengan nasib petani. Tak sekedar menyalahkan mahasiswa pertanian yang kelihatannya diam saja tak bisa berbuat apa-apa, tapi juga berperan membantu memperingan tugas mereka #eh.
Kami juga masih berupaya pelan-pelan, diawali dengan tulisan. Bagaimana target berikutnya masih jadi rahasia. Semoga kita lebih bersabar lagi dan mau belajar pada tanaman dan bapak ibu petani.    


Komentar