Hari ini Julia
Peres meninggal karena kanker serviks. Ini mengingatkan saya pada guru biologi waktu
duduk di bangku SMA sekaligus pembina organisasi majalah yang saya ikuti. Anak-anaknya
sudah dewasa dan sukses, sementara prestasinya sebagai guru dan menyusun karya
ilmiah sedang gemilang-gemilangnya. Tiba-tiba penyakit itu datang. Segala upaya
dilakukan. Berbagai pengomatan diusahakan. Dari obat tradisional hingga
kemoterapi dilakoni. Namun kematian tak bisa ditunda lagi. Sempat kami lega
mendengar kabar beliau sudah hampir sembuh. Namun virus dalam tubuh tak mau
kalah begitu saja. Beliau meninggal, dan kami semua turut berduka.
Beberapa bulan lalu, ada sebuah keluarga yang sedang
berbahagia. Seorang bayi perempuan lahir pagi itu sebagai anak bungsu dari 6
bersaudara. Tiga kakaknya sedang berberes rumah. Merapikan baju-baju di lemari.
Mencuci piring-piring kotor, dan menyapu ruangan yang berdebu. Dua lainnya
asyik bermain turut ceria menyambut
adiknya yang akan dibawa pulang dari rumah sakit. Rumah mereka akan tambah
ramai sebentar lagi. Tangisannya yang lucu sudah terbayang mewarnai hari-hari.
Namun nasib berkata lain. Senyum berubah menjadi air mata. Tangisan mereka
pecah saat mendengar kabar bahwa sang ibu telah tiada.
Anak-anak sekecil itu harus berani berdiri menghabiskan
hari demi hari tanpa seorang ibu. Pada kematian yang tidak bisa kita salahkan,
kita selalu berusaha mencari beberapa alasan. kemungkinan bahwa hal menyakitkan
itu tak harus terjadi. Andai saja sang ibu lebih cepat memeriksakan
kandungannya. Andai saja sang ibu mempersiapkan diri sejauh mungkin di
persalinan sesarnya yang ketiga. Andai saja ia bersedia jujur dengan
keluhan-keluhan yang dirasakannya. Dan beberapa pengandaian lain yang bisa jadi
terus terngiang di kepala. Tapi satu hal pengandaian yang muncul di benak saya:
andai saja ibu itu mendapat pengetahuan tentang ‘tetek bengek’ kehamilan dengan
baik. Literasi kehamilan, bukan seminar persiapan pernikahan.
Pengalaman
mengandung anak sesering apapun tidak menjadi jaminan apakah seorang perempuan
memahami kiat-kiat menjaga kesehatan bahkan keselamatan bayi dan dirinya saat
hamil hingga melahirkan. Literasi kehamilah yang memadai bagi para ibu dan
calon ibu belum maksimal digalakkan. Masih kalah dengan seminar pra nikah yang
biasa dihadiri ratusan peserta. Kiat-kiat menjaga hubungan dalam rumah tangga
memang penting dipersiapkan, tapi bukankah kondisi wawasan tentang kehamilan
harusnya juga dipersiapkan dengan baik?
###
Dilansir dari www.kumparan.com (10/06/17), kanker serviks
dianggap sebagai penyakit penyebab kematian perempuan nomer satu di Indonesia.
Hal ini didukung oleh pernyataan Ketua Yayasan
Kanker Indonesia (YKI) Prof.DR.dr. Aru Wicaksono di Acara CFD Sudirman,
bahwa setiap tahun krang lebih sekitar 15.000 kasus kanker serviks terjadi di
Indonesia. Bahkan menurut Aru pengidap penyakit ini pada tahun 2016 ada 17,8
juta jiwa dan tahun 2017 menjadi 21,7 juta jiwa.
Yang membuat penyakit ini semakin
mengerikan adalah karena bisa muncul tanpa gejala khusus sebelumnya dan secara
tiba-tiba. Semua wanita segala usia bahkan punya resiko yang sama. Sedihnya lagi
kanker ini bisa saja muncul bukan hanya karena aktivitas seksual tapi juga
karena gaya hidup. Ketika gejala ini bisa dideteksi lebih dini tentu
keberhasilan pengobatan bisa lebih tinggi. Diperlukan pengetahuan yang cukup
agar bisa mencegahnya sehingga sel pra kanker bisa segera ditangkap. Namun ironisnya,
perempuan jarang sekali berkesempatan mendapatkan wawasan yang cukup tentang
segala hal yang berhubungan dengan kesehatan reproduksinya.
Semasa MTs, saya bergabung dengan
klub HIV Aids dan Kesehatan Reproduksi remaja. Banyak sekali hal penting yang
saya dapat dari sana. Terutama tentang wawasan tentang pentingnya menjaga
kesehatan reproduksi dan pergaulan secara sehat yang harus dijaga saat remaja. Namun
waktu berjalan, saat duduk di bangku SMA, saya sudah jarang menerima materi
khusus tentang hal ini. Pelajaran reproduksi juga telah dibabat habis saat SD
dan SMP. Selebihnya saya hanya bisa mencari informasi melalui internet. Tentu berbeda
cerita kan dengan perempuan-perempuan di luar sana yang belum punya kemudahan
dalam mengakses informasi seperti saya?
Untuk itulah literasi tentang
kesehatan reproduksi baik pra dan pasca kehamilan itu sangat penting. Bagaimana
agar macam-macam penyakit bisa dicegah lebih dini. Bagaimana agar fase-fase kehamilan
bisa dilalui dengan baik disamping berkonsultasi dengan bidan tentunya. Tak hanya
perempuan, laki-laki juga penting untuk mempelajari hal ini. Karena saat
menikah nanti, semuanya sama-sama bertanggungjawab terhadap kesehatan pasangan
dan buah hatinya, baik yang sudah terlahir maupun yang masih di dalam
kandungan.
Menjadi perempuan yang hidup di masyarakat patriarki
memang tidak mudah. Tidak banyak laki-laki yang paham betul tentang kesetaraan
jender yang saat ini sedang berusaha ikut dimasukkan dalam program-program
pembangunan. Pada kenyataannya perempuan masih memiliki porsi yang lebih besar
dalam mengurus anak dan urusan domestik seperti bersih-bersih dan memasak.
Ditambah lagi karena tuntutan ekonomi perempuan juga berupaya membantu suami
mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Perempuan masih dilema oleh
beban ganda. Perlu persiapan yang matang untuk menjadi seorang ibu.
Namun sayangnya literasi tentang kehamilan, kesehatan
reproduksi dan kesetaraan gender belum maksimal. Pengetahuan seadanya dan
sedikitnya referensi seringkali membuat para ibu hamil hanya mengandalkan
nasehat dari perempuan yang berpengalaman hamil terdekatnya, sebut saja ibu dan
ibu mertua. Tidak jarang mitos-mitos tentang kehamilan kuno bertentangan dengan
yang ada di dunia medis yang sudah modern. Akhirnya para ibu muda yang masih
belajar menyesuaikan diri bertambah stress karena tekanan dari sekitarnya. Tugas
pekerjaan rumah juga masih dibebankan padanya. Suami dinilai hanya bertanggung
jawab mencari nafkah bagi keluarga.
Perlu kita tekankan lagi, berbagai kasus kekerasan dalam
rumah tangga dan perceraian terjadi karena kurang baiknya komitmen antara
keduanya. Misal karena si istri terlalu sibuk bekerja akhirnya sang suami tak
terima. Atau karena sang suami pengahsilannya masih begitu pas-pasan dan
dinilai kurang sang istri meminta cerai. Ini dikarenakan apa yang tertanam di
benak mereka tentang peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruk dalam
masyarakat. Bahwa laki-laki selalu identik dengan mencari nafkah, sedangkan
perempuan kewajiban utamanya adalah mengurus segala pekerjaan rumah termasuk
mengurus anak. Padahal keduanya punya hak dan kewajiban yang sama. Perempuan
boleh bekerja dan mengembangkan potensi dirinya. Urusan mengurus anak dan
pekerjaan rumah bisa dikerjakan bersama-sama, bukan?
Berjalan beriringan lebih baik dari pada harus ada yang
di depan ataupun yang di belakang. Dua-duanya punya hak yang sama sampai
kapanpun juga. Bahkan pemimpin yang dinilai baik pun juga karena menganggap
anak buahnya partner, bukan bawahan. Ketika semuanya bahagia karena haknya
terpenuhi maka hubungan akan lebih harmonis. Masing-masing individu bisa meraih
puncak produktifitas dan prestasinya. Sementara anak yang lahir dari sana bisa
maksimal perkembangannya karena tumbuh dalam suasana berwawasan luas dan
pemahaman jender yang baik.
Komentar
Posting Komentar