Tentang Juni dan Pancasila yang Dinistai



Selamat pagi, Pancasila yang hingga kini melekat di hati...

Maaf jika dulu kami hanya melafalkan kalimatmu demi formalisasi. Saban senin, saat upacara bendera yang diadakan sekolah secara rutin. Tak begitu tahu maknanya, tak begitu paham pengamalannya. Hanya sila demi sila, lalu menguap di udara tanpa banyak bertanya.

Kelahiranmu tak mudah. Dulunya, harus digodok berhari-hari hingga bunyinya sudah seperti saat ini. Perlu panitia sederhana dan rapat hingga berkali-kali. Tentu banyak perdebatan disana. Kamu lahir dari tokoh-tokoh ternama, dan berjasa demi merdekanya negeri ini. Kaum yang setiap hari bergelut dengan perjuangan melawan ketakutan disana-sini. Kaum yang setiap hari dibingungkan oleh bagaimana agar negara ini punya pondasi yang kuat, yang tak mudah runtuh jika angin kencang tiba-tiba saja lewat. 

Melafalkanmu dengan keras-keras setiap hari senin tiba nyatanya tak membuat kami memaknaimu seutuhnya. Butir-butirmu yang banyak itu masih sering kami lewati tanpa permisi. Hari terus berganti. Bapak ibu guru mulai mengenalkan kami denganmu melalui pelajaran PPKN. Mengupas butir demi butirnya dan mengajak kami untuk tak bosan-bosan mereguknya di kehidupan yang nyata. Tapi pelajaran ini bagi kami membosankan. Kami malas menambah hafalan tentang undang-undang. Kami malas memaknai butir-butirmu yang banyaknya bukan kepalang. 

Lalu hari berganti. Hingga tak ada upacara bendera lagi. Lambat laun ingatan tentangmu mulai berkurang. Pemaknaan terhadapmu dari sila demi sila mulai menghilang. Hidup sudah semakin membingungkan, tak ada waktu untuk mengingat sesuatu yang dulunya hanya kalimat yang wajib diucapkan saat upacara sekolah.Semuanya mulai luntur. Dan hidup kami mulai ngelantur. 

Suatu ketika orang-orang di negeri ini riuh menodai butir-butirmu. Atas nama agama, mereka mulai mengusik kebebasan sesamanya untuk mengamalkan silamu yang pertama. Demi kebenaran yang mereka agungkan, tanpa toleransi dengan mereka yang beda keyakinan. Memakan hak-hak orang lain demi menimbun kekayaannya sendiri lewat korupsi. Menindas yang lemah dan membungkam mereka yang banyak tingkah. Bahkan mirisnya lagii ada yang ingin mengusirmu dari sini, tanpa permisi, tanpa berpikir lebih jauh lagi. Perdamaian mulai terancam, toleransi mulai ditinggal pergi dan persatuan mulai luntur tersiram hujan setiap hari. Mereka menistakanmu, menodai butir-butirmu. 

Jika mencintaimu sesederhana Hujan Bulan Juni karya Om Sapardi, harusnya tak sesulit ini. Tanpa banyak bicara, bisa jadi tindakan nyata kami akan senantiasa berarti untuk kebahagiaanmu hidup sebagai dasar negara. Belajar hari demi hari agar yang berbeda bisa saling toleransi dan tak memaksakan kehendaknya sendiri. Ini Juni, dan kami masih belum bisa mencintaimu sepenuhnya. Ranting-ranting mulai patah, angin mulai menggugurkan daunnya tanpa rasa bungah. Perih menyaksikan pancasila yang tak dicintai warga negaranya. 
Hujan Bulan Juni masih tabah. Setabah Pancasila yang masih berharap anak-anaknya mau membuka hati. Tanpa berharap apa-apa, tanpa meminta apa-apa. Sudah terlalu sering kita menyakitinya, tidakkah ada keinginan untuk mulai belajar mencintainya dengan segala ketabahannya?

Komentar