Membaca Hari Ini dan Toleransi yang Hampir Pergi





                Buku, hari ini adalah harimu. Sulit sepertinya menerima bahwa hari ini tak banyak yang mengingatmu. Sekalipun kau tak ingin diingat, kau tak ingin namamu selalu tersemat. Tapi toh kiprahmu dalam hidup manusia yang serius memaknaimu tak bisa kita lupakan sepenuhnya. Begitu banyak, berdesakan dan berjejalan di setiap mereka bergerak. Kau tak perlu mengelak. Cukup tenang dengan cara yang bersahaja. Tanpa banyak cakap, tanpa banyak bicara.
                Buku, hari ini aku juga ingin minta maaf padamu mewakili beberapa kawanku di luar sana. Maafkan jika beberapa dari kami hanya membukamu saat ada tugas perkuliahan. Membukamu hanya demi mengetahui referensi apa yang tepat untuk laporan dan tugas akhir kami. Tak setiap hari bahkan kadang hanya sebulan sekali lalu pergi lagi. Kami membiarkanmu berdebu, di lemari dan lorong-lorong ruang tunggu. Bersilaturrahmi padamu layaknya hanya saat idul fitri tiba. Lalu lupa di bulan-bulan berikutnya.
                Buku, orang lebih suka sibuk dengan gadgetnya sekarang. Membaca status teman di lini media masa, menebarkan berita yang tak jelas kebenarannya dan berkomentar sana-sini tanpa mengerti dimana duduk permasalahannya. Membacamu? Ah, sepertinya kami tak ada waktu. Kami lebih memilih membeli baju dan sepatu baru. Uang kami tak banyak, sama seperti waktu yang kami miliki untuk sejenak membacamu. Maafkan kami yang pelit untuk sesekali bermesra denganmu.
                Buku, terkadang hargamu yang mahal hanya kami jadikan alasan. Di perpustakaan yang gratispun kami jarang datang. Mengunjungimu bagi kami hanya kebiasaan yang tak begitu menyenangkan. Sesekali kami datang berselfie ria lalu mengunggahnya ke media sosial jauh lebih menyenangkan. Yang penting fotonya, membaca bukunya bisa kapan-kapan saja. Maafkan atas kesombongan kami ini!
                Buku, kapan hari saya bertemu toleransi dengan mukanya yang semakin kusut dan keriput. Orang-orang sudah tidak memaknai keberadaannya dan ingin membuangnya ke laut. Toleransi menangis sejadi-jadinya. Betapa warna yang berbeda itu harus dipaksa menjadi satu jenis saja. Satu ingin berwarna hitam, satunya lagi ingin berwarna putih. Lalu dimana warna merah dan warna-warna lainnya mendapatkan tempatnya? Ah, toleransi membayangkan bagaimana jadinya jika pelangi hanya memiliki satu warna. Dan ia bertutur, betapa keterasingannya di negeri ini bisa jadi karena orang mulai malas membacamu Buku. Memaknai sesuatu hanya dari satu sisi, karna kurangnya referensi. ‘’Ah, kita seperti terusir di tanah kita sendiri!’’ ungkap Toleransi pada Buku sore itu.

                Buku, toleransi pagi ini masih berdiam diri di sudut waktu. Ia menunggu orang-orang membuka hatinya lagi. Terbuka cakrawala pikirnya dengan membacamu sekhidmat-khidmatnya. Ia percaya, ketika orang-orang itu mau berlapang hati membacamu pikirannya takkan sesempit itu. Ia menunggu dan hampir ingin pergi dari sana. Dari peraduannya, dari tempat dimana seharusnya itu menjadi rumahnya. Buku, tolong cegah dia pergi dari sini. Kami tak ingin pelangi itu berubah warna lagi.

Komentar