“Seluruh bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan
ruang angkasa dan merupakan kekayaan nasional.”
Kalimat di atas merupakan definisi
dari agraria yang terdapat dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Konsep agraria sangat erat
kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam baik yang berada di dalam maupun
di permukaan bumi. Kekayaan alam tersebut merupakan aset penting untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan menentukan kedaulatan suatu bangsa. Namun dalam
pemanfaatannya hingga kini masih menimbulkan beberapa konflik yang sulit untuk
diselesaikan.
Pada tahun 2015, tercatat 252 konflik agraria di Indonesia (127 kasus
perkebunan, 70 kasus insfrastuktur, kehutanan 24 kasus, pertambangan 14 kasus,
pertanian dan pesisir 4 kasus dan lain-lain 9 kasus). Dari berbagai konflik
tersebut tercatat 5 orang tewas, 39 orang tertembak, 124 orang teraniaya
dan 278 orang ditahan (Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)). Para petani seperti
terusir di tanahnya sendiri. Pertikaian hingga pertumpahan darah seringkali
menyisakan beberapa pertanyaan hingga kini. Kemiskinan sudah cukup menyiksa
nurani, masih ditambah lagi dengan konflik antara saudara sendiri.
Tak bisa dipungkiri bahwa permasalahan agraria ini
merupakan masalah yang cukup rumit di negeri ini. Bahkan dulunya penyusunan draft UUPA (Undang-undang Pokok
Agraria) yang digagas sejak tahun 1948 saja baru rampung dan diajukan ke
parlemen pada tahun 1958. Presiden Soekarno waktu itu juga sangat serius
memperhatikan permasalahan agraria. Panitia Agraria dibentuk dan diberi tugas
untuk memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang hukum tanah, merancang
dasar hukum tanah, merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan lama
dari sudut legislatif dan praktek, hingga menyelidiki soal yang berhubungan
dengan hukum tanah. Banyak ahli yang dilibatkan dalam tugas ini. Negara pada
saat itu pada situasi yang cukup rumit, sehingga beberapa gagasan yang
dikemukakan belum mampu diimplementasikan. Agenda besar pasca lahirnya UUPA
adalah landreform. Namun program ini
lenyap pada masa orde baru. Kementerian agraria dibubarkan dan dilebur di bawah
Kementerian Dalam Negeri. Kemudian pada tahun 1988 wewenang kelembagaannya
ditingkatkan setara dengan kementerian menjadi Badan Pertanahan Nasional.
Bila
dilihat angka konflik agraria berdasarkan data KPA diatas, pihak yang memegang
andil besar dalam memicu konflik adalah pihak perkebunan atau sebesar 127
kasus. Di Kabupaten Jember sendiri juga tak luput dari
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan agraria. Ada beberapa wilayah
yang terlibat konflik di Jember seperti di Ketajek, Mandigu, Curahnongko,
Curahtakir, Nogosari, Karangbaru, Sukorejo, Sumberbaru dan beberapa daerah
lainnya. Salah satu contoh kasus yang masih mencoba diselesaikan di kabupaten
ini adalah sengketa tanah antara pihak PTPN XII dengan warga di beberapa desa
yang ada di Kecamatan Tempurejo salah satunya Desa Curahnongko.
Warga
mengaku bahwa tanah seluas 332 hektar tersebut merupakan tanah babatan (hasil
eksplorasi) rakyat sejak jaman penjajahan Jepang dan menjadi hak mereka sejak tahun 1942. Namun
pada tahun 1966 dengan pergolakan politik kala itu rakyat diusir dan wewenang
untuk mengelola tanah akhirnya dipegang oleh pihak PTPN XII. Pada tahun 1998,
usulan untuk pengembalian lahan tersebut baru bisa diajukan. Namun hingga kini
belum bisa direalisasikan. Bahkan pada tahun 2014 mereka juga sudah mengusulkan
pembentukan Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Pengadaan dan Pemanfaatan
Tanah (IP4T) kepada Pemerintah Kabupaten Jember namun belum terrealisasi hingga
kini.
Sengketa
ini cukup berdampak serius bagi perekonomian masyarakat setempat. Beberapa dari
mereka merambah hutan untuk menambah lahan pertanian, bahkan hingga ada yang
memilih untuk menjadi TKI demi mencukupi kebutuhan keluarga. Berbagai upaya
dari para petani yang tergabung dalam WARTANI (Wadah Aspirasi Petani) dilakukan
untuk memperjuangkan hak mereka kembali. Tidak hanya WARTANI, ada lagi beberapa
kelompok lain yang terbentuk sehingga suasana desa sedikit tegang. Selain aksi
unjuk rasa mereka juga menuntut pihak PEMKAB Jember agar berupaya membebaskan
lahan mereka dan menjalankan isi dari UUPA No 5 tahun 1960. Namun aksi mereka
kurang mendapat tanggapan kala itu. Hingga pada tahun 2013, warga melakukan
tindakan anarkis dengan merusak tanaman karet dan sorgum di lahan yang dikelola
oleh PTPN sebagai pelampiasan atas kekesalan mereka. Pihak keamanan dikerahkan
untuk mengendalikan kasus ini, namun tindakan ini cukup sulit untuk diatasi.
Pemerintah
kabupaten mulai cukup serius memperhatikan kasus ini dengan menggandeng BPN
Jawa Timur. Mereka juga mendesak menteri agraria agar secepatnya menyelesaikan
sengketa lahan tersebut. Bulan april lalu pada acara bertajuk Sarasehan
Redistribusi Tanah Curahnongko untuk kesehjahteraan rakyat di desa Curahnongko,
diungkapkan bahwa 2.000 kepala keluarga (KK) di Desa Curahnongko dan Desa
Andongrejo, Kecamatan Tempurejo, menuntut hak tanahnya yang terakhir kali
dikelola PTPN XII (detiknews.com).
Mereka mengundang Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Ferry Mursyidan
Baldan, Bupati Jember Faida dan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi. Namun
Bupati Jember dan Kepala BPN tersebut berhalangan hadir dan hanya Seknas Jokowi
yang berkesempatan hadir. Beliau juga memberikan pendapatnya atas kasus ini.
"HGU
(Hak Guna Usaha) tanah ini kan sudah habis pada 2011 lalu, jadi peluang untuk
terjadi redistribusi kepada rakyat lebih besar. Kami akan mendampingi ini
sampai ke pusat, karena ini merupakan salah satu visi Presiden Jokowi dalam
Nawacitanya, yakni meningkatkan kesehjahteraan rakyat," kata Nazarudin
Ibrahim selaku ketua BPN RI.
Ada
sedikit angin segar saat mendengar pernyataan ini. Permasalahan selama
bertahun-tahun akan segera berakhir dengan bantuan dari pihak pemerintah pusat.
Namun hingga bulan Juli belum ada tanda-tanda akan terrealisasikan. Realisasi
tetap mereka nanti-nanti, bukan sekedar janji-janji. Ini hanyalah contoh kasus
yang terjadi terkait dengan konflik agraria, masih banyak lagi kasus diluar
sana yang belum menemukan titik ujungnya. Melihat kondisi ini kita patut
berdiskusi sembari minum kopi. Sudah lama konstitusi diabaikan, dan perampasan
dibiarkan. Apakah ada yang salah dengan UUPA No 5 tahun 1960? Atau mungkin kita
yang selama ini alpha untuk menghayati isi demi isinya? Mari sama-sama kita
cari solusinya.
Selain
untuk dipatuhi, undang-undang dibuat untuk memudahkan manusia untuk hidup dalam
masyarakat. Namun untuk permasalahan agraria ini undang-undang sudah tidak ada
artinya lagi atau semacam pengabaian terhadap konstitusi. Salah satu cara untuk
memecahkannya adalah dengan kembali bersama-sama mematuhi isi-isi yang ada di
dalamnya. Peninjauan isi dari UUPA juga harus dilakukan sembari memantau
perkembangan pemecahan konflik-konflik yang terkait dengan agraria. Selain itu kelembagaan
yang menangani keagrariaan ini perlu dikuatkan dan dibentuk secara serius. Diperlukan
banyak ahli agraria yang harus dilibatkan disini. Tak cukup hanya sekedar
diskusi, permasalahan ini harus segera diseriusi. Ini bukan hanya tanggungjawab
dari pemerintah, BPN ataupun instansi-instansi terkait saja, tapi semua pihak
juga sangat diperlukan kerjasamanya.
Melihat
dari sejarah berdirinya dulu kita perlu sedikit belajar lagi. Pada masa itu
kepanitiaan agraria dibentuk dengan cukup serius dan melibatkan orang-orang
yang begitu kompeten di dalamnya. Pendidikan tentang agraria juga perlu
dimaksimalkan lagi bagi semua kalangan, bukan hanya konsumsi bagi pihak
tertentu. Pemerintah juga harus memiliki kemauan politik yang kuat dalam
menjalankan misi ini. Semua pihak juga harus sering berkomunikasi dan tidak
hanya memikirkan isi perutnya sendiri.
Tanah
adalah hal yang sangat mendasar bagi kesejahteraan petani kita. Sudah cukup
banyak masalah yang dihadapi oleh mereka, tapi kadang kita lupa untuk sama-sama
membantu memecahkannya. Reforma agraria perlu dikobarkan geraknya lagi,
suara-suara petani harus lebih sering didengarkan lagi. Demi nasib petani, demi
kesejahteraan mereka yang berjuang untuk ketahanan pangan di negeri ini.
Komentar
Posting Komentar