Dongeng: Kisah Usang yang Dinanti-nantikan

                                                                                                     *Nurfitriani


       
Sore yang dingin. Ditemani rintik hujan dan sebungkus tahu petis yang asin. Mendung masih menebal. Perut terisi lalu layar kosong mulai memanggil nurani minta ditulisi.  
Hari ini adalah hari dongeng sedunia. Sejak kecil hidup kita tak bisa terlepas dari dongeng. Bapakku yang pendiam waktu itu pandai sekali berkisah tentang si Kancil. Sesekali dibumbui dengan tokoh-tokoh baru. Aku yang waktu itu sangat suka mendengarkan ceritanya teradiksi setiap hari. Kancil yang cerdik dengan segala ide jeniusnya. Lain hari kucari cerita lain di perpustakaan sekolah. Masih teringat bagaimana si Pahit Lidah yang sakti itu berhasil mengubah rasa buah sekebun hanya dengan menggigit satu diantaranya. Juga tentang penjahit yang mampu menjadi pahlawan satu kampung karena berhasil menampung air hujan dengan kain yang dibentangkan dan dijahitnya di atas langit. Tak masuk akal, tapi begitu manis dikenang.
Tak hanya dulu, sekarangpun dongeng masih banyak digemari oleh anak-anak. Meskipun keberadaannya seringkali kalah dengan maraknya sinetron yang tidak mendidik di masyarakat. Selain orang-orang dewasa, anak-anak menjadi konsumen yang mau tidak mau harus dicekoki ini setiap hari. Dari kaos yang berlukiskan wajah pemain utama, hingga lagu soundtracknya yang hafal luar kepala.  Berbeda halnya dengan sinetron, dongeng sudah semakin terkikis keberadaannya. Budaya membacakan dongeng kepada anak sebelum tidur sudah semakin langka. Buku-buku dongeng dalam negeri kebanyakan masih berupa cerita lama. Keahlian mendongeng dengan beberapa media juga semakin jarang diminati. Dongeng semakin jarang memunculkan diri.
Sekalipun tenggelam, kehadirannya masih saja dinanti-nantikan. Pengalaman ini kurasakan saat sedang tinggal di salah satu desa kecil yang ada di Jember untuk mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata). Sengaja kubawakan boneka tangan untuk berjaga-jaga jikalau dibutuhkan saat kunjungan ke sekolah-sekolah. Namun belum sempat saya bwa ke sekolah-sekolah, anak-anak di sekitar posko datang berduyun-duyun untuk mendengarkan dongeng yang akan kubawakan. Sekalipun tak pandai membawakan ceritanya, namun mereka tampak senang dan ketagihan dengan cerita berikutnya.
Tak hanya sekali. Dimanapun tempatnya, anak-anak pasti akan tertarik saat kita hendak membacakan dongeng untuknya. Semacam rindu yang menyatu akan kisah-kisah usang di masa lalu. Dengan beberapa nilai yang sarat makna. Bukan hanya tentang putri yang bertemu dengan pangerannya, tapi juga kisah si Kelinci nakal yang kena batunya. Sesuka apapun mereka dengan sinetron, kisah Si Kancil dan Malin Kundang masih saja mereka nanti-nantikan.
  Wawasan tentang cerita, menuliskannya hingga kemampuan membawakan dongeng perlu disebarluaskan di masyarakat. Terutama dalam mendidik anak baik di keluarga mapun di sekolah. Menanamkan nilai-nilai kehidupan melalui dongeng merupakan hal yang masih diperlukan hingga sekarang. Kita hidup di era digital, dimana bermain game online masih nampak menarik daripada membaca cerita dongeng. Tak usah kagetlah kita jika budaya literasi di negeri ini menduduki peringkat 60 dari 61 negara.

Membumikan dongeng kepada anak-anak kita semacam mengembalikan mereka pada dunia asalnya.  Cerita yang dikemas secara apik dan pesan yang disampaikan dengan menarik dalam dongeng dapat menjadi media lisan efektif untuk anak-anak. Seperti yang dikatakan Pram, “Dongeng adalah medium terindah dalam tradisi lisan nusantara”. 

Komentar