Minggu
bagi kami, adalah hari yang penuh cinta. Tentang pagi beraroma puisi, dan
semangat baru untuk berbagi melalui buku-buku. Tikar sederhana yang digelar,
lalu pengunjung siap membaca dengan hati berdebar. Di bawah pepohonan yang
meniupkan kesejukan. Anak-anak sibuk mengamati buku dongeng dengan segala
gambarnya, lalu ibunya mengamati sembari menjelaskan apa-apa yang belum
dimengerti. Beberapa anak yang datang sendiri kami dekati dari hati ke hati,
lalu jika bosan kami ajak mereka untuk bernyanyi. Sungguh, sederhana sekali
kebahagiaan yang kami tawarkan setiap minggu pagi di alun-alun ini.
Hidup menjadi mahasiswa di Kota
Tembakau yang akhir tahun 2015 lalu dinobatkan menjadi kota dengan angka buta
aksara tertinggi di negeri ini tidaklah mudah. Kami malu, belum bisa membantu
masyarakat melalui ilmu. Kami tak punya banyak waktu untuk menyalahkan
pemerintah. Rasanya posisi kita sebagai mahasiswa juga punya kewajiban untuk
membawa perubahan dan berbuat sesuatu tanpa banyak tingkah. Bersuara melalui
kegiatan sederhana, berbagi melalui kegiatan bermanfaat bagi masyarakat di
sekitarnya.
Mengajak masyarakat untuk gemar
membaca dan peduli pada lingkungan dan sesama bukanlah hal yang mudah.
Teknologi semakin maju dan perkembangan dunia senantiasa menjadikan manusia tak
begitu peduli pada sekitarnya. Ingin mengetahui sesuatu, tinggal ketik kata
kuncinya di layar hpmu. Semuanya semakin bergerak dengan cepat. Manusia tak
punya waktu untuk membaca buku. Manusia juga semakin lupa untuk membuang sampah
pada tempatnya. Berawal dari itulah, komunitas kami dulu berdiri. Sebut saja “Relawan
Kampoeng Batja”, anak-anak muda yang ingin membawa perubahan melalui cara-cara
yang sederhana.
Dulunya, dua teman yang mengawali
langkah sederhana ini harus merasakan hal pahit berkali-kali. Dari diusir
SATPOL PP, hingga harus berkemas secara tiba-tiba karena hujan turun tanpa
disangka-sangka. Lapak baca sederhana ini memang bukan ajang nongkrong yang
mewah seperti tempat-tempat lainnya. Tapi disana kita akan memandang harapan
besar untuk negeri kita di masa depan. Negeri dimana masyarakatnya lebih gemar
membaca daripada sibuk terpaku dengan sosial media. Negeri dimana masyarakatnya
berwawasan, peduli terhadap kelestarian lingkungan, dan paham akan pentingnya
dunia pendidikan. Lapak baca kami tak berbayar, cukup dengan senyum dan
semangat membaca yang senantiasa berkobar. Itu saja sudah cukup menyenangkan
bagi kami.
Setiap Minggu pula kami selalu
berusaha pandai-pandai mengonsep acara. Jika hari ini ada kegiatan menyanyi di
sela-sela baca buku, maka minggu depannya lagi harus ada sesuatu yang baru.
Mulai dari menggambar, hingga bermain puzzle senantiasa mewarnai acara kami.
Lalu hadiah sederhana kami berikan untuk mereka. Sekalipun tak mahal, tapi kemauan
mereka untuk berkarya dan berani menampilkan diri adalah apresiasi tertinggi.
Kami tak punya banyak uang untuk dibagikan, namun buku-buku di lapak baca itu
adalah kekayaan yang langka untuk didapatkan.
Selain membaca, komunitas kami ingin
mengajak masyarakat untuk lebih mencintai lingkungannya. Seusai aktivitas
membaca di lapak baca, pasukan ‘Sapu Jagad’ yang terdiri dari anak-anak dan
didampingi para relawan menyebar ke area alun-alun. Plastik ukuran besar
dibentangkan, dan sampah-sampah dikumpulkan. Beberapa mata memandang dengan
penuh rasa malu. Beberapa lagi nampak tak peduli dan tak mau tahu. Anak-anak
dan para relawan berlarian memburu sampah di sekitar. Semangat anak-anak memacu
mereka berkompetisi untuk mengumpulkan sampah terbanyak. Ada kebahagiaan
tersendiri yang tak bisa kami lukiskan setiap sampah-sampah ini terkumpul. Ada
kenikmatan tersendiri setiap area alun-alun ini nampak bersih dengan
pengunjungnya yang nyaman melanjutkan aktivitasnya.
Terkadang kita lupa bahwa hiburan
yang paling menyenangkan itu sangat dekat sekali jaraknya. Sebut saja buku.
Kami menganggapnya benda ajaib penebar cinta bagi siapapun yang mau membacanya.
Sejak kita pertama kali dikenalkan dengannya, huruf-huruf yang ada di setiap
lembarnya sudah menebarkan aroma yang harumnya luar biasa. Mereka bersatu
hingga kata-kata itu tersusun sedemikian indahnya. Di setiap bertemu dengan
tanda titik, kita berhenti selama beberapa detik. Sembari mencermati isinya
memastikan apakah sang neuron sudah menangkap sinyal-sinyalnya dengan baik.
Lalu sesekali kita mengantuk, atau tiba-tiba merasa sibuk dan bukupun kita
tutup. Diletakkan di meja, dibuka lagi beberapa hari berikutnya. Ternyata dia
berteriak, menjerit karena ingin sekali kita buka cepat-cepat. Sehari saja ia
butuh bernafas, merasakan pancaran mata kita saat menelusuri huruf demi
hurufnya. Tapi manusia seringkali merasa terlalu sibuk untuk itu (termasuk
saya).
Kami, para relawan yang semangatnya
terkadang naik turun seperti ombak di samudra selatan, masih belajar untuk mencintainya.
Betapa selama ini dekat dengan buku mengajarkan kita banyak hal. Bahwa hidup
bukan hanya perkara apa yang hari ini kita makan, atau semester ini berapa IPK
yang didapatkan. Hidup itu adalah serangkaian peristiwa yang harus kita
takhlukan. Untuk menakhlukannya kita harus banyak membaca, agar sudut pandang
kita tak sempit dalam memandang peristiwa. Namun tak banyak masyarakat kita
yang memahami betapa membaca itu memiliki khasiat yang luar biasa.
Lewat anak-anak yang duduk di tikar
yang kita gelar setiap Minggu pagi, kami ingin menularkan rasa cinta pada buku.
Mata mereka yang masih terang sekali binarnya senantiasa mengobarkan semangat
kami untuk berbuat lebih dan lebih lagi. Betapa negeri kita masih punya
harapan. Di sela kondisi dunia yang sudah semakin minim kepeduliannya, kami
berusaha membuka mata sejenak untuk menyisihkan beberapa waktu, pikiran dan
tenaga untuk bergerak membantu mereka.
Dibalik kisah buku-buku pada Hari
Minggu, sampah pada plastik-plastik itu juga tak kalah romantisnya. Mereka
menyebar dimana saja karena manusia semakin malas meletakkan pada tempatnya.
Tak banyak yang bisa mereka perbuat selain diam saja berpasrah lalu menimbulkan
bau menyengat dan sang bakteri menguraikannya menjadi partikel-partikel kecil.
Beberapa sampah tak bisa terurai. Ia bebal, tersangkut di sudut-sudut enggan
untuk meleburkan diri dengan tanah. Sebenarnya mereka juga tak suka diacuhkan
semacam itu. Lalu di tangan orang-orang kreatif mereka kembali menemukan
senyumnya. Mereka dipercantik, lalu dipajang sebagai hiasan di ruang tamu. Ya,
semuanya karena pola pikir dan kesadaran setiap manusia itu berbeda-beda.
Sesuatu yang tak bernilai bisa menjadi lebih berharga jika kita mau sedikit
saja berpikir bagaimana untuk memanfaatkannya. Jangankan untuk memanfaatkan,
membuang pada tempatnya saja terkadang kita enggan.
Minggu pagi adalah hari yang
menggairahkan bagi kami. Setidaknya buku-buku dan sampah-sampah itu selalu
mengajarkan kita untuk berbagi dengan cara yang sederhana. Agar manusia tak
lupa pada kebutuhan otaknya. Agar manusia tak lupa pada kebersihan
lingkungannya. Membaca adalah kebutuhan pokok bagi masyarakat kita. Kemiskinan
dan kebodohan sudah kita koarkan untuk kita perangi beberapa tahun lamanya,
tapi semangat untuk membaca masih belum tertanam sedemikian kuatnya. Masyarakat
kita sudah terlalu lama terbuai dengan janji-janji, terbohongi oleh
tayangan-tayangan yang pelan-pelan membodohi. Membaca status-status di media
sosial lalu nyinyir kesana kemari tanpa
terkendali. Kita perlu berhenti sejenak untuk merefleksikan diri. Merenungkan
apa-apa yang selama ini luput dari pandangan dan pemikiran. Mari kita ke
perpustakaan atau ke toko buku, semoga kalian dipertemukan dengan kebahagiaan
dan wawasan menuju masa depan yang mensejahterakan.
SALAM LITERASI!!!
Komentar
Posting Komentar