Konflik Agraria dan Usaha Memanusiakan Manusia


            Berbicara mengenai pertanian di negeri ini seperti berkisah tentang bapak yang dilupakan anak sendiri. Ada beberapa hal yang belum tersembuhkan, dan banyak sekali yang perlu dituntaskan. Dari bencana gagal panen karena iklim yang semakin tak menentu, rendahnya harga produk di tingkat petani, sempitnya lahan-lahan petani gurem, kurangnya angka penyuluh di desa-desa, produk lokal yang kalah saing dengan produk luar negeri, ketersediaan pupuk yang kadang ada kadang langka, kualitas tanah yang semakin menurun hingga konflik berkepanjangan perihal tanah atau yang sering dikenal dengan konflik agraria. Para petani semakin merana, bukan karena hama dan gulma tapi karena negara yang kadang kurang berpihak padanya.
            Pada tahun 2015, tercatat 252 konflik agraria di Indonesia (127 kasus perkebunan, 70 kasus insfrstuktur, kehutanan 24 kasus, pertambangan 14 kasus, pertanian dan pesisir 4 kasus dan lain-lain 9 kasus). Dari berbagai konflik tersebut tercatat 5 orang tewas, 39 orang tertembak, 124 orang teraniaya dan 278 orang ditahan (Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)). Para petani seperti terusir di tanahnya sendiri. Pertikaian hingga pertumpahan darah seringkali menyisakan beberapa pertanyaan hingga kini. Kemiskinan sudah cukup menyiksa nurani, masih ditambah lagi dengan konflik antara saudara sendiri. Dimana komitmen negara untuk mensejahterakan rakyatnya sesuai UUD pasal 33?
            Berbicara tentang agraria, memang sedikit menguras pikiran. Agraria sendiri merupakan segala sesuatu yang ada di permukaan maupun di dalam bumi. Baik air, tanah, pertambangan, kehutanan hingga udara yang dimiliki. Namun berbagai sumber daya alam tersebut seringkali menimbulkan beberapa perselisihan dalam pemanfaatannya yang hingga kini masih belum merata.
Dulunya penyusunan draft UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yang digagas sejak tahun 1948 saja baru rampung dan diajukan ke parlemen pada tahun 1958. Presiden Soekarno waktu itu juga sangat serius memperhatikan permasalahan agraria. Panitia Agraria dibentuk dan diberi tugas untuk memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang hukum tanah, merancang dasar hukum tanah, merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan lama dari sudut legislatif dan praktek, menyelidiki soal yang berhubungan dengan hukum tanah. Banyak ahli yang dilibatkan dalam tugas ini. Negara pada saat itu pada situasi yang cukup rumit, sehingga beberapa gagasan yang dikemukakan belum mampu diimplementasikan. Agenda besar pasca lahirnya UUPA adalah landreform. Namun program ini lenyap pada masa orde baru. Kementerian agraria dibubarkan dan dilebur dibawah Kementerian Dalam Negeri. Kemudian pada tahun 1988 wewenang kelembagaannya ditingkatkan setara dengan kementerian menjadi Badan Pertanahan Nasional.
            Beberapa isi dari UUPA yang masih mengandung dualisme dalam pengimplementasiannya selalu menimbulkan kebimbangan. Antara hukum adat dan hukum barat yang sering memicu konflik antara kedua belah pihak baik masyarakat setempat dengan suatu badan usaha milik negara maupun swasta. Semuanya merasa berhak dan mengklaim bahwa sumber daya alam tersebut adalah miliknya. Seringkali rakyat-rakyat kecil seperti petani menjadi pihak yang tersingkir dan tak bisa mendapatkan kembali hak-haknya. Negara juga tak bisa berbuat banyak. Bahkan seringkali mereka justru mendukung wewenang pihak yang memiliki modal tersebut untuk melanjutkan usahanya. Dengan dalih untuk membuka lapangan pekerjaan dan membantu meningkatkan perekonomian di masyarakat, tak peduli jika usaha tersebut bisa merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan warga setempat.
            Beberapa usaha dan gerakan untuk melawan mulai digencarkan. Pertumpahan darah itu seringkali tak bisa dielakkan. Rakyat kecil tak bisa berbuat banyak. Mereka terasing di negaranya sendiri. Bersuara tapi tak didengar, berpendapat tapi diancam oleh aparat. Ini semacam pengabaian terhadap konstitusi. Entah lupa atau tak mau peduli dengan Undang-undang. Mengeluh dengan semakin menurunnya jumlah petani tapi lupa untuk menuntaskan permasalahan tanah yang merupakan modal penting untuk mereka dalam melakukan usaha.
            Petani gurem semakin banyak, dan angka gagal panen semakin membludak. Panennya setahun tiga kali, tapi penjualan hasil panennya tak setimpal dengan pengeluaran untuk membeli pupuk, pestisida dan segala keperluannya untuk berusahatani. Belum lagi jika produk hasil panen mereka kalah saing dengan produk impor yang merebak kemana-mana. Yang diatas berteriak keras untuk mewujudkan swasembada tapi petani sendiri bingung untuk memperjuangkan tanahnya. Ah, ironi sekali menjadi petani di negeri yang konon disebut agraris ini.
            Beberapa konflik yang terjadi seringkali berakhir dengan kekerasan. Mengirimkan TNI AD untuk meredam konflik menjadi pilihan mereka. Beberapa lagi justru memilih menggunakan preman untuk memberangus para kaum tani yang berani bersuara menentang tindakan mereka. Masih teringat kasus Salim Kancil dan Tosan di Lumajang tahun 2015 lalu. Eksploitasi yang digagas oleh kepala desa mereka sendiri harus diwarnai dengan penghilangan nyawa seorang aktivis tani. Adalagi kasus pabrik semen di Rembang yang ditandai dengan aksi protes 9 perempuan tani yang menyemen kakinya. Serta beberapa kasus lagi yang bisa jadi belum diketahui karena kasusnya tidak terekspose oleh media.
            Perikemanusiaan yang tertera di pembukaan UUD 45 bisa jadi hanya pajangan tak bermakna. Manusia sudah semakin rakus lagi saat ini. Memakan hak saudaranya sendiri, menindas manusia lain dengan modal yang dimiliki. Terlebih lagi yang dikuasai adalah kaum tani yang nasinya kita makan setiap hari. Sudah terlalu lama kita menutup mata dan telinga. Kementerian agraria sudah dibentuk tahun 2014 lalu dan kinerjanya kita nanti-nanti hingga kini. Namun tak cukup mereka saja tanggung jawab besar ini kita bebankan. Ini adalah tanggung jawab kita bersama. Revisi dan perbincangkan lagi isi UUPA yang masih sering menimbulkan pro dan kontra. Lalu pertegas lagi agar semua pihak secara sadar untuk mematuhi isi demi isinya.
            Upaya memanusiakan manusia diteriakkan dimana-mana, namun konflik agraria masih terus merajalela tak tahu dimana ujungnya. Petani kita berhak merengkuh kesejahteraan. Upayanya dalam mensejahterakan bangsa dari tahun ke tahun jarang kita hargai. Mereka masih kesulitan mendapatkan akses untuk memanfaatkan aset penting berupa sumber daya alam untuk menuju kesejahteraannya. Apapun kedudukannya kita semua harus menghargai aspirasi dan pendapat mereka. Memenuhi haknya tanpa harus melukai hati hingga mengancam keberlangsungan hidup mereka. Namun bertahun-tahun perampasan itu berlangsung dan konflik itu semakin tak berujung. Berbagai investasi asing ditanamkan, lalu kekayaan alamnya lambat laun mengalami penyusutan. Dimana saja kita selama ini?
Mari lebih membuka mata mulai hari ini. Kita juga perlu meningkatkan intensitas diskusi. Berbicara dari hati ke hati. Duduk bersama membuka mata dan telinga untuk membantu nasib para petani. Tak hanya petani, tapi juga demi kesejahteraan negeri. Solusi dan kerja keras dari pemerintah juga kita nanti-nanti, sambil sesekali minum kopi. Semoga kita semua tak hanya memikirkan isi perut kita sendiri.
#LombaEsaiKemanusiaan




Komentar