“Saya
sebenarnya juga cacat. Meskipun fisik saya normal, tapi dalam hal pendidikan
saya masih kalah jauh dari mereka...”, kata ...., suami Rini (...th).
Kalimat diatas diucapkan oleh ...., suami Rini (salah
satu anggota Komunitas PERPENCA) yang bekerja sebagai kuli bangunan saat
diwawancarai dikediamannya. Selama empat tahun pasangan suami istri ini
menjalani hidup selayaknya pasangan lainnya. Meski sang istri dalam kondisi
keterbatasan fisik, namun sang suami menerima kekurangan tersebut dengan
kekagumannya. Ia mengaku lebih terbatas jika dibandingkan dari istri dan
teman-temannya yang menyandang cacat atau saat ini dikenal dengan sebutan
diffabel.
Berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya yang terdiri
dari: a) penyandang cacat fisik, b) penyandang cacat mental, c) penyandang
cacat fisik dan mental.Difabel sendiri merupakan istilah yang tengah
diperjuangkan untuk mengganti istilah sebelumnya seperti disable (tidak mampu)
maupun ‘penyandang cacat’ yang dianggap mengandung stereotip negatif dan bersifat
disempowering.Difabel (Different
Ability) adalah sekelompok orang yang memiliki kemampuan berbeda.
Menurut
Mansour Faikh, ada beberapa orang yang sama sekali tidak mau tahu dengan adanya
difabel, ada pula yang merasa perlu melakukan sesuatu terhadap difabel. Dari
kelompok yang terakhir inilah terdapat tiga jenis kelompok yang memiliki
kesadaran yang berbeda. Kelompok yang pertama menganggap kaum difabel merupakan
orang-orang yang patut untuk dikasihani. Mereka ada karena takdir Tuhan dan
siapapun tidak ada yang bisa merubahnya. Berbagai doa dan santunan diberikan
guna memberikan perhatian pada para difabel. Kelompok pertama ini dianggap
sebagai kelompok orang yang memiliki kesadaran magis.
Kelompok kedua adalah kelompok yang
menganggap bahwa kaum difabel itu memiliki kemampuan yang sama dengan manusia
lainnya. Mereka yakin bahwa jika difabel diberi pelatihan dan pendidikan yang
layak mereka pasti bisa bersaing dengan yang lain. Perlakuan terhadap mereka
disamakan dengan manusia non difabel lain tanpa memperhatikan kemampuan
individu. Padahal jika perlakuan terhadap mereka disamakan kemampuan difabel
pada kenyataannya berbeda dengan manusia non difabel. Mereka akan kalah dalam
persaingan hidup yang pada akhirnya menjadi kaum yang tertindas. Kelompok ini
dianggap sebagai kelompok yang memiliki kesadaran naif.
Kelompok yang ketiga menganggap
bahwa orang cacat itu tidak ada, yang ada adalah orang yang dicacatkan dan
tidak diberi kesempatan untuk memiliki kemampuan. Kelompok ini menyadari bahwa
ada perbedaan kemampuan tiap individu sehingga memiliki kebutuhan yang berbeda.
Mereka yakin jika para difabel difasilitasi sesuai dengan kebutuhannya
seoptimal mungkin, mereka pasti dapat berkembang. Kelompok ini dianggap sebagai
kelompok yang memiliki kesadaran kritis. Mereka berpikiran bahwa kesempatan
untuk memperoleh hak dan kebutuhan sesuai dengan kemampuan difabel adalah hal
yang harus direbut dan diperjuangkan.
Dilihat dari ketiga kelompok
tersebut, masih banyak yang memiliki pemikiran magis ataupun menganggap bahwa
kaum diffabel merupakan kaum yang patut dikasihani. Hal ini terutama dirasakan
bagi kaum perempuan diffabel yang secara stereotif sering dianggap lebih lemah
jika dibandingkan dengan kaum pria. Kesetaraan
gender serta kaum marginal hingga saat ini cukup menyita perhatian khusus dari
para penentu kebijakan, para akademisi hingga aktivis-aktivis pembela kaum
marginal dan perempuan. Perhatian tersebut bisa diberikan dalam bentuk ruang
bagi kaum marginal dan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, sumber
daya keluarga maupun masyarakat; beban kerja serta keterlibatan kaum marginal
dan perempuan dalam kegiatan lainnya. Kaum marginal yang posisinya bila dilihat
dari stereotip yang ada di masyarakat mirip seperti kaum perempuan adalah para
Diffabel. Keduanya sama-sama dibentuk maupun dikontruksi oleh masyarakat.
M. Fine dan A. Asch menyatakan bahwa
“Menjadi seorang laki-laki dalam masyarakat kita adalah menjadi kuat, asertif,
dan mandiri; sedangkan menjadi perempuan berarti lemah, pasif, dan tergantung
kepada orang lain”. Pandangan yang diberikan oleh masyarakat kepada perempuan
ini sama dengan pandangan yang sering diterima kaum Diffabel. Kedua pihak ini
sering kali dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat ‘pasif dan lemah’. Perempuan
diffabel yang ada di masyarakat juga sering dipandang lebih tergantung dan
kurang mandiri jika dibandingkan dengan laki-laki diffabel. Kondisi ini juga
diperparah dengan pandangan yang menganggapnya lemah dari dua posisi sekaligus
baik sebagai perempuan maupun diffabel.
Perhatian khusus masih belum
maksimal diberikan pada kaum difabel. Di Jember sendiri, dinas yang sering
dikaitkan ketika berbicara tentang difabel hanyalah Dinas Sosial. Padahal
dinas-dinas lainnya seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, dan dinas
lain juga sangat dibutuhkan guna membangun suatu daerah yang ramah terhadap
difabel. Hingga saat ini, Dinas Sosial belum memastikan berapa jumlah kaum
difabel yang ada di Jember. Meskipun demikian, beberapa perempuan diffabel yang
ada di Jember yang aktif ikut berorganisasi dan menjalani kehidupan tanpa rasa
minder yang berlebihan akibat keterbatasannya. Mereka tergabung di Komunitas
PERPENCA (Persatuan Penyandang Cacat) yang mewadahi masyarakat diffabel. Di
komunitas tersebut mereka belajar banyak hal dan saling berbagi pengalaman,
sehingga rasa senasib yang mereka rasakan justru semakin menguatkan.
Perempuan-perempuan di komunitas ini memiliki semangat dalam mendapatkan
pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Ada yang kuliah dan menjadi
mahasiswi berprestasi, ada juga yang menjadi penjahit profesional akibat
kegigihannya dalam belajar. Namun disamping itu ada juga beberapa perempuan di
sudut lain yang ada di Jember kurang mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini
bisa disebabkan karena akses di desanya yang belum memadai, bisa juga
disebabkan oleh anggota keluarganya yang merasa kasihan dan malu untuk
membiarkan anaknya keluar rumah.
Seringkali
kaum difabel mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena keterbatasan
fisiknya. Ketidakadilan itu bisa saja datang dari keluarga, masyarakat hingga
pemerintah akibat adanya bentuk diskriminasi. Bentuk diskriminasi itu juga
bermacam-macam. Bisa berupa kebijakan pemerintah, keyakinan atau tafsiran
keagamaan, keyakinan tradisi atau kebiasaan, atau bahkan asumsi ilmu sosial.
Diskriminasi yang datang dari keluarga misalnya ada yang menyembunyikan mereka
akibat rasa malu, hingga pembatasan terhadap kebutuhan akan pendidikan.
Masyarakat juga seringkali menganggap bahwa kaum difabel merupakan golongan
yang patut dikasihani dan diberi sedekah. Tidak adanya akses yang ramah
terhadap difabel juga merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang dilakukan
oleh pemerintah terhadap kaum difabel. Belum lagi jika kekerasan fisik seperti
penganiayaan, pemukulan, penyembunyian hingga pemerkosaan seringkali membuat
posisi kaum difabel semakin memprihatinkan.
Jember
sendiri belum termasuk daerah yang ramah terhadap difabel. Tidak adanya akses
di tempat umum yang khusus bagi para difabel. Ada salah satu rumah sakit yang
mulai menyediakan akses khusus bagi difabel di Jember yaitu Rumah Sakit Bina
Sehat. Namun kesadaran tersebut tidak diikuti oleh pihak lain utamanya
pemerintah. Kondisi tidak adil inilah yang sedang diperjuangkan untuk ditumpas
oleh Komunitas Perpenca (Persatuan Penyandang Cacat) di Jember. Mereka sering
terlibat aksi demo di berbagai tempat namun jarang sekali suara mereka
didengar. Dinas Sosial yang sering dikaitkan guna menangani difabel kini lebih
fokus menangani gelandangan dan pengamen jalanan. Pelatihan yang diberikan juga
masih setengah hati karena hanya diadakan selama 10 hari. Pada ujungnya
kemampuan mereka belum optimal, dan pelatihan sudah dibubarkan.
Pendidikan merupakan salah satu
kebutuhan penting yang juga harus dirasakan oleh kaum difabel baik laki-laki
maupun perempuan. Meskipun demikian masih banyak yang tidak bersekolah baik itu
karena kemauannya sendiri atau bahkan tidak diijinkan oleh orangtuanya.
Komunitas Perpenca sendiri juga seringkali berusaha membantu para anak difabel
yang letaknya masih jauh di daerah terpencil untuk mengikuti pelatihan
keterampilan. Namun tidak semua dari mereka dapat ikut keterampilan tersebut
karena larangan dari keluarga, khususnya bagi diffabel perempuan. Sebagian dari
mereka berpendapat bahwa perempuan (diffabel) cukup membantu kegiatan ibunya di
rumah saja. Hal ini dikarenakan pada akhirnya nanti mereka memang diwajibkan
untuk mengurus suami dan rumah tangganya. Padahal perempuan diffabel juga
memerlukan aktualisasi diri yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Namun hal tersebut tidak dirasakan
oleh Rini, yang memiliki suami dan keluarga yang selalu mendukung kegiatannya.
Hingga saat ini ia sudah mampu mencukupi kebutuhan keluarga dengan menjadi
seorang penjahit yang terkadang kewalahan menerima orderan. Ia diberikan
kebebasan untuk belajar dan terus berkembang. Bersama komunitas PERPENCA ia
berharap hak-hak kaum diffabel bisa dipenuhi dan suara-suara kaum diffabel
lebih didengar lagi. Semangat belajar dan berkembang kaum Perpenca inilah yang
membuat suami rini merasa lebih terbatas, meskipun terbilang normal secara
fisik [].
Komentar
Posting Komentar