Mbah Rusmini, Gaplek dan Perempuan Trenggalek

Akhir-akhir ini saya ingin berbicara tentang perempuan. Duduk sebentar menghirup udara segar lalu mengamati keheningan di sekitar. Saya masih bersyukur bisa bernapas lega disini. Sekalipun sesak rasanya membaca berita kasus pemerkosaan bergilir dan pembunuhan siswi SMP di Bengkulu tempo hari. Darah saya beberapa detik sempat meninggi. Jerit hati saya meraung-raung mencaci maki. Anak sekecil itu, dan apa-apa yang tak sempat diwujudkan bersama sang waktu.
Perempuan dari dulu hingga sekarang memang belum menemukan titiknya. Bahkan bertemu tanda koma saja belum sempat. Ia masih tersendat-sendat menemukan kata yang tepat. Susah sekali sepertinya menyelesaikan satu kalimat, apalagi berharap menyusunnya menjadi suatu paragraf yang akurat. Meskipun terkadang perempuan itu seperti sajak-sajak dalam puisi. Singkat tapi kuat, indah meski kadang membuat gundah.
Siang ini aku memandangi seorang perempuan dengan sedikit uban di kepala. Ia sedang menjemur gaplek (singkong kering, red) di halaman rumah. Bersamanya saya seperti menyelami Trenggalek begitu dekat. Perempuan perkasa yang sederhana dengan semangat juangnya untuk menjalani kehidupan.
Namanya Rusmini. Dia adalah ibu dari ibuku yang masih sehat meski usianya telah senja. Ia sangat dikenal di kampungnya. Orangnya ramah, rajin beribadah dan jarang terlihat susah. Nenekku senang sekali berbagi, meski uang di dompet tinggal sebiji. Hingga suatu malam aku mendengarkan kisahnya, dan ia mulai menitikkan air mata.
Kepahitan hidupnya dimulai saat kedua orangtuanya telah tiada. Ia hidup dengan paman yang juga memiliki anak banyak saat itu. Makan seadanya, ejekan orang bertubi-tubi menimpa. Nenek juga pekerja keras. Sudah terbiasa bekerja sejak masih remaja. Hingga sekarang ia tak bosan-bosan ikut jadi buruh jika tetangga memerlukan jasanya.
Nenekku ini adalah salah satu simbol perempuan perkasa di Kota Tempe Kripik ini. Terlepas dari Susi Puji Astuti hingga Merry Riana, setiap perempuan mempunyai sisi kuat untuk ditunjukkan. Meski terkadang ia masih malu-malu. Nenek sudah tahu betul bagaimana hidup berdiri dengan kaki sendiri untuk memenuhi kebutuhannya disaat perempuan lain berteriak emansipasi. Ia tak ingin terlalu membebani anak-anaknya. Aku tak bisa membayangkan jika dulu semasa muda nenek hanya mengandalkan sang suami.
Perempuan-perempuan di kampung nenekku berada, di Desa Wonocoyo, salah satu desa kecil di Pogalan, Trenggalek,  adalah muslimah yang masih kental dengan rutinitas keagamaannya. Mereka sangat sederhana, tak peduli jika di luar sana dunia sudah berubah dengan begitu cepatnya. Ratusan bibit-bibit sengon menemani hari-hari, kehidupan yang rukun dengan tetangga senantiasa dilalui. Pendidikan agama begitu dijunjung tinggi disini, namun jarang yang berminat menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Ibuku jadi saksi waktu itu, harus menangis setiap melihat anak berseragam biru putih berangkat sekolah mengayuh sepedanya. Ibu harus memilih pendidikan di pesantren.
Trenggalek dengan perempuan-perempuan perkasa di dalamnya. Hidup sudah banyak berubah. Teknologi sudah berkembang sedemikian cepat. Sejak Kartini memekikkan emansipasi, hingga Syahrini dengan gaya khasnya yang bervariasi, dunia perempuan masih menjadi sorotan. Namun nenekku dan perempuan-perempuan di kampungnya masih tetap mempertahankan diri. Tak ada pertengkaran ataupun gejolak yang berarti. Tetap sederhana dengan nilai-nilai agama. Pendidikan tinggi hanya untuk beberapa perempuan saja, selebihnya dinikahkan dan ikut membantu suami.
Dari nenek saya mulai mengenal gaplek. Gaplek yang sederhana itu bisa menghasilkan ‘sego thiwul’  dengan cita rasa khasnya. Hidangan ini akan semakin menggugah selera jika ditambah sayur ikan laut, rebusan daun singkong dan rempeyeknya. Bisa juga dengan ditambahkan parutan kelapa dengan gula atau garam sesuai selera. Selain diolah menjadi nasi tiwul, gaplek di Trenggalek juga diolah menjadi jajanan Gatot. Jika lebih kreatif lagi gaplek bisa diolah selezat mungkin. Tuntutan pasar sudah semakin memojokkan manusia untuk berinovasi. Apa yang belum ada dijadikan ada. Apa yang sudah ada dikembangkan lagi hingga mencapai bentuk yang berbeda.
Sekalipun sederhana, seperti hidup nenekku yang bersahaja, gaplek memiliki kandungan gizi tinggi berupa kalsium, zat besi, vitamin A, C, lemak dan bisa diolah untuk mencegah penyakit maag. Gaplek juga rendah kalori, sehingga cocok jika dijadikan olahan untuk mereka yang berupaya menurunkan berat badan.  Jika masyarakat Madura dengan nasi jagungnya, maka Trenggalek sudah kental dengan nasi tiwulnya yang berbahan baku gaplek. Namun beberapa dari masyarakatnya masih malu dengan istilah itu. Gaplek dianggap identik dengan olahan kampung yang kuno dan jauh dari peradaban. Mereka lupa, jika produk lokal adalah sesuatu keunggulan yang harusnya kita maksimalkan. Ditambah lagi dengan manfaatnya, mengapa masih malu untuk mengakuinya sebagai ikon kota kita?
Nenek dan Gaplek
Dua hal yang mengenalkan saya pada Trenggalek. Keduanya cantik, ibarat gadis desa yang kuat dan tangguh menjalani kehidupannya. Jauh dari kota mampu membuatnya dapat mempertahankan kealamiannya tanpa kemajuan kosmetik yang semakin merebak dimana-mana. Namun ada kalanya gadis desa ini harus belajar mengenali dunia luar. Untuk beberapa hal memang harus ada yang tetap dipertahankan. Di tengah dunia yang semakin sulit untuk diajak berkompromi, nilai-nilai lokal sangat dibutuhkan untuk mempertahankan prinsip yang diyakini. Namun adakalanya dia butuh berbenah, tanpa harus berbalik arah. Dia perlu berpikir maju, demi keberlanjutan anak cucu. Demi kesejahteraan yang sejak dulu diidam-idamkan, tanpa harus melupakan nilai-nilai yang bisa dipertahankan.
Tak perlu beli banyak komestik kan untuk membuatnya terlihat lebih cantik? Terkadang hanya perlu membaca buku di sela-sela saat dia istirahat dari bekerja. Sembari melanjutkan acara yasinan, dia bisa mulai mendirikan kelompok kecil untuk pelatihan mingguan. Sesekali berbagi informasi, bercerita tentang kemajuan teknologi masa kini.
Layaknya gadis tadi, kaum nenek (perempuan) dan gaplek memang perlu mempercantik diri. Namun perlu kerjasama, tidak serta merta bergerak dan berdaya. Kita harus bekerjasama agar potensinya bisa dikembangkan lagi. Mungkin untuk di beberapa tempat sudah ada yang mampu seperti itu, namun di sisi lain masih ada yang memerlukan pendampingan untuk memaksimalkan potensinya.
Mari berbenah untuk Trenggalek yang lebih cerah. []

Komentar