Letkol Moch. Sroedji: Sang Patriot dari Kawasan Besuki


Oleh: Nurfitriani
            Pahlawan adalah ia yang rela berkorban demi orang lain. Disaat yang lain memilih untuk mundur, ia tetap maju meski hancur. Disaat yang lain memilih untuk pergi, ia tetap bertahan dengan ketabahan hati. Disaat yang lain telah lelah, ia tetap teguh dan pantang menyerah.
            Indonesia cukup terkenal karena kegigihan para pahlawannya dalam mengusir penjajah. Sederetan nama dari Sabang sampai Merauke tertera dalam buku-buku sejarah.Hingga tahun 2014 ini tercatat151 pria dan 12 wanita yang dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional (Tribunnews) dan namanya sering kita temukan dalam buku-buku sejarah.  Diantara sederet nama yang ada di buku-buku sejarah ituada satu nama yang sering kucari disana, namun nyatanya nama itu tak pernah tertera. Nama yang sering diagungkan oleh masyarakat Jember, hingga dijadikan menjadi nama sebuah jalan, nama Universitas Swasta, dan dikenang sosoknya melalui patung tegap yang bisa dijumpai didepan Kantor Pemkab Jember. Ia adalah Letkol Moch. Sroedji, pahlawan yang terkenal di tingkat lokal dan pantas mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional. Mengapa ia pantas mendapat gelar tersebut? Beberapa kisah menarik akan memaparkan alasannya.
            Bila ditinjau dari segi pendidikan, Sroedji merupakan salah satu anak yang cerdas pada masa itu. Disamping kondisi keluarganya yang terkategori kurang mampu ia berhasil mengenyam pendidikan dasar di HIS (Holland Indische School) dan melanjutkan ke tingkat Ambacts Leergang (sekolah kejuruan pada masa Belanda). Ia sempat bekerja menjadi mantri malaria di RS Kreongan Jember. Kecintaannya pada dunia militer semakin diasah saat Jepang membuka perekrutan PETA untuk pertama kalinya di koran Djawa Baroe. Berkat didikan yang keras selama berlatih menjadi seorang perwira, Sroedji muda akhirnya menjadi Komandan Batalyon Brigade Damarwulan.
            Jiwa kepemimpinannya telah terlihat sejak kecil. Ia selalu ditunjuk oleh teman-temannya untuk menjadi pemimpin saat bermain perang. Tak heran setelah lulus dari PETA, Sroedji selalu dipercaya menjadi komandan dalam memimpin pasukannya. Dia pernah menjadi Komandan Kompi Karesidenan Besuki dan Komandan Batalyon 1 Resimen IV Divisi VII TKR di Kencong-Jember, Komandan Resimen Minak Koncar dan Komandan Divisi VII Surapati yang berkedudukan di Lumajang, Komandan SGAP (Staf Gabungan Angkatan Perang) yang menumpas pemberontakan PKI di Blitar, hingga berkat kemampuannya ia dipercaya menjadi Komandan Brigade III Damarwulan TNI di Jawa Timur. Pada saat menjabat menjadi Komandan Brigade III Damarwulan itulah puncak dari perjuangannya bagi rakyat Indonesia terutama di karesidenan Besuki. Agresi Militer II sebagai saksi kekejaman Belanda akibat salah satu isi dari perjanjian Renville yang bagian pertama berbunyi demikian: “Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia”.
            Para pejuang maupun rakyat pada saat itu sepakat untuk mengikuti isi perjanjian Renville tersebut. Meskipun banyak Rakyat Indonesia yang menentangnya. Tanah yang telah sekian lama mereka miliki dan tempati, warisan dari nenek moyang yang dijaga sekian lamanya tiba-tiba diambil orang asing begitu saja. Namun keserakahan Belanda telah membungkam apapun yang rakyat rasakan pada saat itu. Para pejuang dan rakyat Jember akhirnya behijrah ke area yang telah disepakati dari perjanjian Renville dengan menempuh jarak ratusan Km. Letkol Moch. Sroedji memimpin barisan rakyat yang semakin membengkak. Mereka bertemu di daerah Blitar dan mengungsi selama lebih dari 3 bulan. Dengan keterbatasan persediaan konsumsi dan akomodasi anggota resimen yang semakin banyak, dialah yang akhirnya menanggung semua itu.Hingga mereka memilih untuk melakukan wingate action selama 51 hari menempuh 500 Km. Banyak sekali pertempuran yang beliau hadapi selama perjalanan hingga akhirnya Letkol M. Sroedji tewas dalam pertempuran di daerah Karang Kedawung, Jember.
            Sosok Letkol M. Sroedji memang tak banyak yang mengenal namanya, apalagi bagi masyarakat dari luar Jember. Bila ditelusuri dari perjuangannya, ia layak jika dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Menurut  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009, Pahlawan Nasional adalah gelar penghargaan tingkat tertinggi di Indonesia. Gelar anumerta ini diberikan oleh Pemerintahan Indonesia atas tindakan yang dianggap heroik – didefinisikan sebagai "perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya." – atau "berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara." Kementerian Sosial Indonesia memberikan tujuh kriteria yang harus dimiliki oleh seorang individu, yakni:
1.      Warga Negara Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya:
a)Telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik/perjuangan dalam bidang lain mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. b)Telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara. c)Telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia
Kriteria yang pertama ini ada pada diri Letkol M. Sroedji. Ia telah wafat dalam sebuah medan pertempuran demi melindungi rakyat, mempertahankan dan merebut kembali tanah airnya dari jajahan Belanda. Tercatat selama perjalanan hidupnya ia telah menelan asam pahit menjadi seorang Komandan, ia pernah menjadi: Komandan Kompi Karesidenan Besuki, Komandan Batalyon 1 Resimen IV Divisi VII TKR di Kencong-Jember, Komandan Resimen Minak Koncar (Lumajang), Komandan Divisi VII Surapati  (Lumajang), Komandan SGAP (Staf Gabungan Angkatan Perang) yang menumpas pemberontakan PKI di Blitar, danKomandan Brigade III Damarwulan TNI di Jawa Timur.
  1. Pengabdian dan Perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya.
Letkol M. Sroedji mengabdikan dirinya untuk negara hingga akhir usianya. Ia rela tinggalkan istri dan keluarga tercinta demi tugas suci ini. kemenangan rakyat adalah segalanya. Seringkali ia ditunjuk menjadi komandan dibagian berbeda pada saat yang bersamaan misalnya saja saat ia dipercaya menjadi komandan Resimen Minak Koncar sekaligus Komandan Divisi VII Surapati di daerah Lumajang. Namun itu semua ia kerjakan dengan penuh tanggung jawab. Bahkan ia juga menanggung beban konsumsi dan akomodasi yang semakin membengkak pada saat anggota resimen dan rakyatnya mengungsi di Blitar selama berbulan-bulan.
  1. Perjuangan yang dilakukan mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Ia bukan saja telah berjasa bagi rakyat Jember dari kejahatan Belanda, namun perjuangannya juga turut dirasakan bagi rakyat sekaresidenan Besuki (Jember, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan Banyuwangi). Letkol Moch. Sroedji mempelopori berdirinya TKR yang ada di karesidenan Besuki. Tak hanya itu, ia juga komandan yang telah berhasil memimpin pasukannya untuk menumpas pemberontakan PKI yang ada di Blitar pada tahun 1948.
  1. Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/nasionalisme yang tinggi.
Letkol Moch. Sroedji sangat konsisten untuk mengabdikan dirinya pada negara. Meski sebagai manusia biasa, ia juga punya keinginan untuk damai berkumpul bersama keluarga tercinta. Namun dengan dedikasinya yang tinggi ia tak mengenal lelah untuk melaksanakan tugasnya sebaik mungkin. Semangatnya yang terus berkobar tak pernah surut demi melihat anak-anaknya kelak agar tak menjadi jongos di negaranya sendiri.
  1. Memiliki akhlak dan moral yang tinggi.
Kriteria yang kelima ini juga ada di diri Letkol M. Sroedji, sebagaimana ia pernah mengatakan ini pada prajuritnya, “perang terbesar bukanlah melawan musuh, Mur. Perang paling besar adalah perang melawan diri kita sendiri. Kita harus punya satu tekad baja. Kita harus kalahkan dulu diri kita, baru bisa mengalahkan musuh” (Novel Sang Patriot, halaman 57). Ia selalu berusaha mengajak prajuritnya untuk mengalahkan ego, sebelum mencoba mengalahkan musuhnya. Kemuliaan akhlak dan budi pekertinya yang baik lebih jelas telah digambarkan secara nyata dalam Novel Sang Patriot yang ditulis oleh cucunya sendiri, Irma Devita.
  1. Tidak menyerah pada lawan/musuh dalam perjuangannya.
Jika Letkol M. Sroedji termasuk orang yang pantang menyerah, maka sudah bisa dipastikan ia tak sampai pada titik dimana ia harus tewas saat pertempuran di Karang Kedawung Jember. Selama berbulan-bulan lamanya ia bertahan dari gempuran Belanda. Bahkan istrinya kerap kali menerima teror saat suaminya sedang bertugas. Hingga Belanda mewartakan bagi siapa saja yang berhasil menangkap sang Letkol baik dalam hidup maupun mati akan diberinya 10.000 Gulden. Namun itu semua tidak menyurutkan semangat Letkol M. Sroedji demi pasukan yang dipimpinnya.
  1. Dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.
Letkol Moch. Sroedji merupakan sosok yang bisa menjadi suami, ayah, anak, pemimpin maupun sahabat yang baik bagi siapapun yang dekat dengannya. Ketulusannya untuk berjuang dan berkorban tak memberikan kesempatan untuknya berbuat hal yang tercela. Mungkin sebagai manusia biasa pasti pernah berbuat dosa, namun kesalahan yang dilakukan bukanlah kejahatan besar yang dapat menjatuhkan citranya yang tulus dan mengayomi.
Jika ke-7 kriteria diatas telah terpenuhi masih ada beberapa hal lagi yang harus diperjuangkan dengan mengajukan proposal melalui empat tingkatan diantaranya: Sebuah proposal dibuat oleh masyarakat di kota atau kabupaten kepada walikota atau bupati, yang kemudian harus membuat permohonan kepada gubernur di provinsi tersebut. Gubernur kemudian membuat rekomendasi kepada Kementerian Sosial, yang kemudian diteruskan kepada Presiden, yang diwakili oleh Dewan Gelar; dewan tersebut terdiri dari dua akademisi, dua orang dari latar belakang militer, dan tiga orang yang sebelumnya telah menerima sebuah penghargaan atau gelar. Pada langkah terakhir, pemilihan dilakukan oleh Presiden, yang diwakili oleh Dewan, yang menganugerahi gelar tersebut pada sebuah upacara di ibukota Indonesia Jakarta. Sejak 2000, upacara diselenggarakan setiapHari Pahlawan pada tanggal 10 November.
            Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Bahkan Sang Proklamator kita, Ir. Soekarno selalu berpesan untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah. Mereka yang pantas mendapatkan harus dapat penghargaan yang setimpal. Agar generasi mendatang mengingatnya, bahwa Sang Patriot sejati itu juga ada di tanah kami, area timur Pulau Jawa yang jarang tersentuh namanya.

Komentar