Kopyah untuk Ayah


            “Mereka bilang bulan ramadhan adalah bulan yang paling indah
            Mungkin mereka salah
            Buktinya di bulan ini, nasib keluarga kami semakin susah....”
            Ucapku dalam sebuah status di Facebook malam ini. Mungkin besok aku tak bisa update status lagi, karena harus kurelakan Hp ini pergi. Layaknya remaja lain, aku merupakan salah satu penggila dunia maya yang sehari-harinya hanya memandang layar kaca. Waktu belajar selalu ada liburnya, waktu online ada saja jatahnya. Baik itu di tempat umum sampai di WC sekalipun, pasti kusempatkan untuk menyapa makhluk aneh lainnya di Facebook. Senang rasanya jika status tersebut mendapatkan banyak jempol dari mereka. Apalagi jika mendapatkan komentar, rasanya kita menjadi sosok yang menjadi pusat perhatian, layaknya Emphasis dalam ilmu seni rupa. Tapi sepertinya penyakitku yang satu ini akan diobati secara paksa oleh keadaan. Hp harus di jual, demi kelanjutan sekolahku.
            Tumpukan pakaian lusuh menyeruak di sudut kamar. Di sebelahnya terpampang rak berisi buku berantakan protes minta dirapikan. Tak kalah parahnya, tempat tidur berseprai merah jambu dengan puluhan benda di atasnya berebut posisi menempatkan diri. Lantai dengan pensil berceceran di atasnya turut meramaikan suasana ruangan. Tubuhku tergolek lemas di sebuah tikar kumal dekat lemari sambil meratapi Hp pemberian paman ini. Semua ini gara-gara: IBU!
            Sudah tiga bulan ibu pergi. Ia menghilang begitu saja tanpa pamit kepada kami. Mungkinkah ini karena ayah sudah tak bisa berjualan krupuk lagi? Tapi itu semua bukan seratus persen akibat ulah ayah. Siapapun tak ada yang ingin alat jualnya terbakar tanpa sebab yang pasti. Hanya saja beberapa hari sebelum ibu pergi, aku sering melihat mereka berdua bertengkar dan saling mendiamkan. Sekarang ayah lagi sibuk-sibuknya menjadi kuli di rumah Haji Sobri.
Atau mungkin ibu sudah bosan merawat Bang Jalu, abangku yang keterbelakangan mental itu. Tapi selama ini Bang Jalu sudah mulai mampu mengurus keperluannya sendiri. Dia jelas-jelas tak salah, siapa yang mau dilahirkan dengan kondisi cacat semacam itu. Mungkin juga ibu sudah tidak kuat menghadapi watakku. Tak jarang aku meminta ini itu padanya, tanpa melihat kondisi yang ada. Namun aku juga tak memaksakan itu semua, wajarlah aku juga remaja biasa. Bagiku tetaplah ibu yang jadi permasalahannya.
            Sengsaranya kehilangan sosok ibu sangat terasa jelas saat ramadhan telah tiba. Jika pada ramadhan-ramadhan sebelumnya selalu ada yang membantu meringankan pekerjaan saat letih menerpa, kini aku harus menyelesaikan semuanya sendiri. Jika dulu selalu ada yang membangunkan kami untuk menyantap hidangan sahur, kini kami harus bangun sendiri bahkan terkadang tertidur sampai pagi. Jika dulu selalu saja ada menu istimewa saat berpuka puasa kini kami bertiga harus kesana kemari mencari masjid yang memberikan buka puasa gratis dengan begitu rendah hati. Ah,,,, jika dulu begini begitu, semua ini karena kepergianmu IBU!
@@@
            Hidup kami benar-benar berubah, terutama aku. Sifat manjaku mau tak mau harus kulawan dengan sebuah keyakinan dan sedikit rasa keterpaksaan. Sejak kecil aku selalu bergantung pada ibu. Kini aku belajar untuk melakukan semuanya sendiri. Namun kenapa harus di bulan suci Ibu? Kenapa justeru di saat aku tumbuh remaja seperti sekarang ini? Kini aku adalah satu-satunya perempuan di rumah. Namun sepertinya sama saja dengan tidak adanya diriku. Ayah dan Bang Jalu yang berusaha mengganti pekerjaan ibu.
            Ayah adalah seorang laki-laki yang kuat. Dengan memandang wajahnya saja orang tak akan sanggup jika tak melemparkan senyum padanya. Ia sangat ramah kepada siapa saja. Dahulu waktu ayah masih berjualan kerupuk, sering sekali memberikan bonus bagi pelanggan setianya. Ayah juga pandai mengaji, mungkin itu sebabnya jika guru mengaji kami sakit ayahlah yang menggantikannya. Pekerjaan apapun ayahlah yang menanganinya sejak ibu pergi, kecuali memasak. Ayahtak pernah berhasil membuat masakan yang enak. Aku sering protes jika harus berbuka puasa dengan makanan buatannya. Berbeda dengan Bang Jalu, ia akan memberikan jempol pada ayah setiap kali menyantap masakan buatannya. Entah itu enak ataupun tidak, bagi Bang Jalu masakan ayah itu keren. Sementara aku, hanya mau menyantap beberapa sendok lantas memilih masuk ke dalam kamar mengutuki nasib. Mungkin perasaan ayah hancur tiap aku berperilaku seperti itu, tapi ia tak bisa berbuat banyak. Ayah tak punya cukup uang untuk membeli makanan yang enak. Satu-satunya cara agar aku mau makan di bulan puasa ini adalah mencari masjid yang menyediakan buka puasa gratis.
            Meskipun aku tumbuh normal, namun watakku jauh lebih buruk ketimbang Bang Jalu yang berkelainan itu. Ia selalu rajin membantu bapak menyelesaikan pekerjaan rumah. Dari menyapu hingga mencuci baju, abangku mulai terampil mengerjakan semuanya sendiri. Dia memang berbeda dengan anak yang menderita kelainan yang sama dengannya. Ia jarang sekali merepotkan kami. Hanya saja ketika mood-nya sedang buruk, ia akan bersembunyi di dekat masjid dan tak mau pulang selama beberapa hari. Akhir-akhir ini ia nampak begitu aneh dari biasanya. Setiap pagi abang pergi tak tahu entah kemana dan pulang ketika sore telah tiba. Ayah tidak mengetahui hal ini karena sibuk bekerja sebagai kuli. Aku tak mau ambil pusing dengan perilakunya. Mungkin saja ia pergi untuk menghibur diri, entahlah!
@@@
            Hari ini adalah hari yang paling menyebalkan dalam hidupku. Kelasku mengadakan buka bersama di rumah salah seorang teman. Kami diminta untuk membawa makanan sendiri dari rumah agar tidak mengeluarkan banyak biaya. Awalnya aku berencana untuk tidak hadir dalam acara ini. Namun ayah tak mengizinkan, karena memenuhi undangan itu adalah sebuah kewajiban. Aku menuruti kkemauannya dengan sedikit terpaksa. Namun akhirnya aku menyesal telah hadirdi acara itu. Semuanya berawal pada saat kita mulai membuka bekal dan memutuskan untuk saling mencicipi satu sama lain. Namun saat melihat makananku, mereka sedikit kaget dan tak berniat untuk mencicipi. Lantas si Ulfa, anak juragan ayam membuka suara:
            “El, masak ibu kamu tega puasa-puasa gini cuma masakin mie instan sama telur sih?”, katanya tanpa basa-basi.
            “Kamu nggak tahu ya, kalau ibunya Elya itu kabur dari rumah beberapa bulan lalu?”, ucap Serli si tukang gosip.
            Semuanya diam tak berani meneruskan. Hanya beberapa teman memelototi Serli karena tak bisa menjaga mulutnya. Aku tak bisa berbuat banyak. Selera makanku telang hilang di sela-sela mie instan. Lalu kulahap telurnya tanpa basa-basi sebagai pelampiasan. Entahlah, mulutku bungkam hingga akhir acara. Aku benar-benar marah pada ayah. Meskipun mie instan dan telur sudah sangat mewah jika di makan di dalam rumah, namun bukan berarti harus jadi bekal puasaku kali ini.
            Sesampainya di rumah aku tak membuka mulut sama sekali. Mukaku kusut seperti pakaian yang sudah lama menumpuk tak disetrika. Bang Jalu dan ayah bingung melihat tingkahku, ayah hafal dengan watak bungsunya ini. Rumah kami hening hingga malam tiba. Aku tetap menangis tersedu-sedu dalam kamar. Ayah dan Bang Jalu telah beberapa kali mencoba mengetuk pintu. Namun tak pernah kubuka pintu ini secelah pun. Ini benar-benar ramadhan yang menyebalkan. Dulu biasanya kalau sedang marah begini hanya ibu yang dapat menghibur. Ia akan membuatkan bubur kesukaanku dan menyuapkannya. Ah... ibu, kejam sekali kau padaku? Aku masih tetap tersedu-sedu.
            Hingga keesokan harinya aku tetap tak mau bersekolah. Ayah takut terjadi apa-apa dan berusaha mendobrak pintu kamar. Didapatinya tubuhku demam tinggi dan pucat pasi. Ayah segera menggendong dan membawaku ke bidan terdekat. Bang Jalu tergopoh-gopoh mengikuti kami dengan wajah ketakutan seperti ayam yang hendak dipotong lehernya. Ia tetap seperti itu hingga sang bidan memeriksa keadaanku. Menurutnya, aku hanya menderita demam biasa dan magh ringan karena jarang makan. Ia memberikan beberapa obat pada kami dan menunjukkan dosis pemakaiannya. Syukurlah penyakitku tidak terlalu parah dan tidak perlu mengeluarkan biaya yang banyak. Aku sedikit merasa bersalah sejak saat itu. Gara-gara ulahku, mereka jadi semakin menderita begini. Namun rasa gengsi menghalangiku untuk sekedar minta maaf pada mereka. Aku mulai benci dengan diriku sendiri.
            Ayah dan Bang Jalu tidak pergi kemana-mana sejak aku sakit. Yang mengherankan lagi, Bang Jalu selalu membawakan makanan enak setiap aku bangun tidur. Mereka akan bergantian menyuapi dan merawatku. Meski terkadang suapan abangku ini terlalu penuh menyesaki mulut, namun aku tak marah padanya. Aku justru malu karena mereka sama sekali tak marah dan terbebani dengan kondisiku saat ini. Bahkan, airmataku menetes saat mengintip mereka yang hanya berbuka puasa dengan krupuk, terkadang hanya sambal terasi. Bang Jalu tetap makan dengan lahapnya, meski mulutnya tampak merah kepedasan. Bila pagi tiba mereka akan antri ke WC akibat sambal tersebut.  Mereka makan hidangan semacam itu namun tetap bisa tersenyum sementaraaku? Aku tak pernah bersyukur dengan apa yang Allah beri.
            Sejak saat itu sikapku mulai berubah kepada abang dan ayah. Bagiku mereka berdua adalah harta paling berharga yang kumiliki. Biarlah mereka mau bicaara apa, yang penting kami akan tetap bersama. Aku belajar memahami hidup ini sedikit demi sedikit, setahap demi setahap. Kami mengerjakan semuanya bersama-sama. Bahkan kini sudah jarang mencari buka puasa gratis, masakan ayah mulai laris kami makan habis. Mungkin ia telah berusaha keras untuk mengubah makanannya menjadi enak. Segala sesuatu yang istimewa memang membutuhkan perjuangan, pengorbanan dan latihan sebaik mungkin. Namun yang tidak boleh dilupakan adalah adanya cinta di balik itu semua. Ah, ayah... betapa engkau begitu mencintai kami.
            Setelah sembuh, ayah dan abang mulai kembali pergi setiap pagi dan pulang sore hari. Bila malam kami akan shalat tarawih di mushola terdekat bersama-sama. Namun aku penasaran dengan apa yang abang kerjakan selama ini. Sebelum-sebelumnya ia tak pernah keluar selama dan serutin itu. Bila kutanya ia hanya meringis menunjukan giginya yang kuning keropos sambil menunjuk suatu tempat yang tidak begitu jelas, kemudian tertawa-tertawa sendiri dan meninggalkanku yang bingung tak menentu ini. Sebenarnya dia mau kemana, mengapa tak pernah mau bercerita? Sementara ayah juga semakin bekerja keras mengingat lebaran akan segera tiba. Sungguh aku tak memiliki pikiran untuk membeli pakaian baru, yang paling kubutuhkan saat ini hanyalah ibu. Meski hatiku masih sedikit sakit mengingat kepergiannya, namun biar bagaimanapun dia adalah ibuku satu-satunya.
@@@
            Sore ini abang tak memunculkan batang hidungnya juga. Ayah sudah bilang bahwa ia akan telat pulang karena ada tugas lembur untuknya. Namun kemana perginya abangku ini? Aku tetap menunggunya hingga buka puasa tiba sambil memegang dua piring mie instan di balai-balai depan rumah. Kupandangi setapak jalan kecil yang biasanya abang lalui sewaktu pulang. Namun tawa khasnya tak datang juga. Hingga mie instan di tanganku dingin, layu, sudah bosan menunggu kami menyantapnya. Aku takut penyakitku kambuh lagi, dan dengan terpaksa menyantap makanan ini meski sedikit tak enak hati. Aku tetap menunggunya hingga waktu shalat magrib hampir habis. Akhirnya aku masuk rumah untuk mengambil wudhu dan shalat magrib. Tak kutemukan kekusyukan pada shalatku kali ini, abang benar-benar menguasai pikiranku. Sehabis shalat kuputuskan untuk mencarinya ke dekat masjid, ke semua tempat yang biasanya disinggahi Bang Jalu, namun wajahnya tak juga kutemukan. Aku putuskan untuk pulang, siapa tahu ayah sudah tiba dan kita akan cari sama-sama.
            Aku tercengang saat melihat abang tidur telentang dengan wajah sedikit kotor dan tubuh bermandikan keringat di balai-balai tempatku menantinya tadi. Memangnya habis melakukan apa abangku ini? Mengapa ia tampak begitu lelah sekali? Tak sampai hati aku membangunkan tidurnya, namun malam semakin dingin pasti justru akan menyakitkan baginya. Kubangunkan Bang Jalu perlahan dan kuminta dia masuk ke dalam. Ia hanya meringis saja menuruti perintahku. Lalu kuberikan mie instan yang dingin tadi padanya, segera saja ia lahap habis tak tersisa. Ia bagaikan sudah seminggu tidak makan. Kuberikan segelas air putih padanya dan kutanyakanapa yang telah dikerjakannya seharian tadi. Ia hanya berbicara tak jelas tentang mahalnya harga-harga jajanan lebaran saat ini, terutama permen tape kesukaan abang tak lupa ia sebutkan. Kuminta ia mandi saja dan mengganti pakaiannya yang kotor. Kuminta ia untuk tidur melihat kondisinya yang nampak lelah, namun ia menolak. Ia ngotot untuk ikut pergi taraweh bersamaku. Sudahlah, kuturuti saja kemauannya. Jika tidak dia akan merengek-rengek seperti anak kecil yang minta dibelikan permen.
            Hingga malam tiba pikiranku masih dipenuhi rasa penasaran terhadap tingkah abang. Aku mulai berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Biar bagaimanapun Bang Jalu punya keterbelakangan mental yang membuatnya terkadang bertingkah tidak normal. Masih nampak jelas di ingatanku saat masih kecil dulu. Beberapa kali ayah mendapat teguran dari beberapa tetangga karena Bang Jalu sering mengambil jemuran mereka terutama celana dalam. Terkadang juga Bang Jalu rajin membersihkan masjid setiap malam jumat tiba. Serta masih banyak keanehan lain yang sering ditunjukkan oleh Bang Jalu. Jangan sampai kejadian-kejadian di masalalu itu terulang lagi. Bayanganku mulai merambah kemana-mana hingga aku tertidur karena kelelahan.
@@@
            Sekolah sudah mulai libur mendekati lebaran. Ada banyak hal yang ingin kukerjakan beberapa hari di penghujung ramadhan. Sudah kupersiapkan semuanya sejak pagi. Mungkin akan dimulai dengan membersihkan langit-langit rumah dulu, dan akan disusul dengan kaca-kaca di jendela rumah. Saat aku hendak bersiap membuat sapu panjang yang menyambungnya dengan galah, kuurungkan niatku begitu melihat abang mulai bersiap untuk pergi seperti biasanya. Tiba-tiba saja rasa penasaranku bangkit lagi. Aku pura-pura tidak melihat kepergiannya yang nampak secara diam-diam itu. Pintu rumah kukunci rapat-rapat dan kaki ini sengaja tak mengenakan sandal agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan Bang Jalu. Aku tetap mengendap-endap dengan jarak beberapa meter darinya. Sambil sesekali sembunyi di balik pohon saat ia berhenti. Perjalanan kami cukup jauh dan kaki ini mulai pegal-pegal membuntutinya. Jalan setapak yang dilaluinya benar-benar penuh dengan bebatuan membuat kakiku serasa sedang diterapi secara paksa. Ia tetap berjalan dan belok ke kanan di sebuah tikungan. Kini kami mulai memasuki area jalan raya yang ramai dengan kendaraan. Aku mulai merasa tak asing lagi dengan daerah ini. Beberapa meter dari tikungan tadi abang berhenti di sebuah toko tepat di tempat yang dulu ayah kunjungi setiap hari: pasar!
            Aku tetap mengawasi Bang Jalu dari kejauhan dengan sikap waspada agar ia tak mengetahui keberadaanku. Kubaca nama toko di papan usang yang hurufnya mulai pudar namun masih bisa dibaca; Toko Ah Cong, lalu dibawahnya ditambahi kalimat yang nampaknya baru dituliskan “Sedia Jajanan untuk Lebaran”. Kudengar kabar dari teman sekelasku bahwa pemilik toko bermata sipit ini sangat ulet dalam bekerja namun pelit terhadap karyawannya. Apa yang dilakukan Bang Jalu di toko orang Tionghoa ini? Mataku berusaha mencari jawaban.
            Sesampai disana nampak Bang Jalu ditegur oleh pemilik toko yang hanya memakai kaos dalam oblong putih yang warnanya sudah sedikit berubah menjadi krem. Lalu ia segera menyodorkan sapu pada abang tanpa sikap sopan. Bang Jalu hanya menunduk tanpa bisa melawan. Ia segera menyapu tempat itu dan membantubeberapa pelanggan yang membeli banyak jajanan untuk diangkut di mobil pick-up yang parkir di samping tokonya. Sesekali kulihat Bang Jalu terjatuh dan menyebabkan jajanannya berantakan di lantai. Pemilik berkaos dalam tadi segera saja memarahi abangku dan menyabetkan sapu ke pantatnya. Bang Jalu hanya meringis kesakitan diperlakukan semacam itu. Hampir saja aku berlari ingin menyelamatkan abang. Namun bila hal ini kulakukan mungkin penyamaranku akan ketahuan dan Bang Jalu akan marah karena aku telah menghancurkan rencana dan pekerjaan barunya. Aku hanya menangis terisak dari kejauhan. Aku memukuli jidatku sendiri karena merasa tidak berhasil menjaga abangku ini. Aku pulang ke rumah dengan pipi basah berteteskan air mata. Ternyata ini yang ia kerjakan selama ini. Kemiskinan benar-benar telah membuat abangku lebih bersikap dewasa dari sebelumnya. Aku terharu melihat perjuangan Bang Jalu.
            Hari ini adalah hari terakhir kami di bulan ramadhan. Ayah dan Bang Jalu sudah libur dari pekerjaannya. Kami membersihkan rumah ini bersama-sama. Bang Jalu bagian menyapu dan mengelap kaca di rumah, ayah memotong rumput dan membersihkan halamannya dan aku mencuci toples-toples serta membersihkan kamar-kamar yang ada di rumah agar lebih bersih lagi. Semua tetangga juga nampak begitu senang layaknya kami. Meskipun dalam hati kecilku masih berharap agar ibu bisa pulang berkumpul dengan kami. Setiap mengingatnya rasanya air mata ini ingin menetes saja. Mungkin lebaran tahun ini akan terasa berbeda tanpa kehadirannya. Melihat ayah dan abang semangat dengan pekerjaannya akupun membuyarkan lamunanku. Kami mengerjakan tugas ini sebaik mungkin. Hingga waktu buka puasa tiba, ya buka puasa terakhir di bulan penuh berkah ini. Kami bersorak bahagia dengan kemenangan yang telah kita raih. Pada malam ini juga kami saling bermaaf-maafan atas kesalahan satu sama lain. Kalau lebaran sebelum-sebelumnyaayah dan ibu akan menunjukkan baju baru kami yang telah mereka beli sendiri. Entahlah, apakah tahun ini masih sama atau tidak? Aku tidak mau berharap banyak. Baju lama kami masih layak pakai, setidaknya ada banyak pelajaran yang bisa kudapatkan pada ramadhan tahun ini.
            Namun ternyata di luar dugaan. Ayah tetap membelikan aku dan Bang Jalu baju baru. Bang Jalu mendapat baju kemeja warna biru, warna kesukaan abangku. Ia nampak tampan dengan pakaian itu, meskipun sedikit kebesaran. Sedangkan untukku, ayah membelikan sebuah pakaian muslim dengan warna merah jambu dengan jilbab ungu. Ayah bilang, aku nampak cantik memakainya seperti ibu. Kamipun saling berpandangan dengan mata sedikit berkaca-kaca. Tak kuasa menahan itu semua kami bertiga berpelukan penuh haru. Benar-benar ramadhan tahun ini mengajarkan banyak hal pada kami. Bahwa kebahagiaan yang sejati tidak terletak pada berapa kekayaan yang kita punya, namun rasa syukur dalam kehidupan yang sederhanaadalah kuncinya. Saat kami sedang larut dalam sebuah tangis penuh haru, tiba-tiba saja terdengar suara pintu diketuk perlahan. Ayah segera bergegas ke depan untuk membukakan pintu. Aku dan Bang Jalu segera menghapus air mata kami. Namun lama sekali ayah tidak masuk kembali. Aku memanggil-manggilnya namun tetap tak ada suara. Rasa penasaran tiba-tiba memaksa kami untuk keluar dan melihat siapa yang datang,
            Ayah tampak mematung tak berdaya tanpa suara. Di depan pintu terlihat seorang perempuan berkerudung membawa sebuah tas jinjing besar dengan sebuah karung yang tak tahu berisi apa. Ia menangis lirih tanpa suara, namun tampak kerudungnya basah penuh dengan peluh dan air mata. Seperti ayah, aku dan Bang Jalu ikut mematung tak tahu harus berbuat apa. Perempuan itu tambah duduk bersimpuh dan suara tangisnya mulai terdengar jelas seolah aku dan Bang Jalu hendak menyiksanya. Melihatnya seperti itu, kami bertiga tak kuasa untuk tetap berdiam diri membiarkannya. Kami berlari memeluknya dengan tangis tak kalah hebohnya. Lengkap sudah kebahagiaanku di Idul Fitri tahun ini. Ibuku pulang, setelah tiga bulan meninggalkan kami.
            Kami ajak ibu masuk rumah dan memintanya untuk bercerita. Aku yang dasarnya manja langsung saja merebahkan kepalaku di pangkuannya. Dengan tangannya yang lembut ia mengusap rambutku yang bau ini. Ibu mulai bercerita tentang kepergiannya selama ini. Ia meminta maaf atas perbuatannya ini pada kami, terutama ayah. Ternyata ibu bekerja jadi Baby Sitter di luar kota. Ibu tak berani minta izin pada ayah karena ia tahu ayah tak akan mengijinkannya. Ibu tak punya nomor Hp kami untuk sekedar memberi kabar. Majikan ibu juga belum mengizinkannya pulang karena kesibukan mereka di masa-masa pemilu ini. Maklumlah majikan ibu adalah seorang DPR yang kewajibannya memang harus sering menghadiri rapat di gedung DPR dan jarang bisa merawat anaknya. Akhirnya setelah memohon dengan penuh ibanya malam ini ibu boleh pulang. Kami semua memaafkannya. Namun kemana perginya Bang Jalu sekarang? Ia menghilang lagi. Aku masih tetap bermanja-manja dengan ibu.
            Tiba-tiba saja Bang Jalu muncul dengan sesuatu dalam sebuah plastik. Ia mendekati ayah dengan malu-malu. Lalu memberikan bungkusan itu padanya.
            “Apa ini Lu?”,tanya ayah bingung.
            Bang Jalu hanya diam saja senyum-senyum sendiri seperti perawan yang sedang kasmaran. Ayah segera membukanya. Sebuah kopyah hitam nampak masih baru dibeli dari toko keluar dari plastik tadi. Ayah berkaca-kaca dan memeluk Bang Jalu. Bang Jalu segera meminta ayah untuk mencobanya, dan ternyata ukuran kopyah tersebut sesuai dengan kepala ayah. Senang rasanya melihat ayah bahagia seperti itu. Selama ini yang ayah pikirkan hanyalah kami. Ia tak pernah memperhatikan dirinya sendiri. Kini, Bang Jalu ingin mengapresiasi ketulusannya.
            Ternyata ini alasan Bang Jalu rela bekerja dan dipukuli selama berhari-hari. Mulai dari pagi hingga sore hari, ia relakan waktunya untuk sebuah kopyah. Pantas saja ia sering sekali memandang kopyah ayah yang sudah kusam, jahitannya rusak disana-sini tak layak pakai. Sejak kecil aku tak pernah melihatnya berganti kopyah. Mungkin kesempatan ini sangat ia nanti-nanti sebelumnya. Betapa Bang Jalu sangat menyayangi ayahku. Kini aku mengidolakannya, abangku yang hatinya mulya itu. Ramadhan ini rasanya beda, bahagia tak terkira. Saat idhul fitri tiba kami memetik nikmatnya hasil kesabaran kami. Kami tumbuh lagi menjadi pribadi yang suci.



Komentar

Posting Komentar