Untukmu, Laki-laki yang sering Kupanggil Bapak

                Bagaimana kabarmu Bapak?
                Masihkah kau menyukai kopi pahit seperti dulu?
                Sudah sembuhkah batuk yang dulu sering menyerangmu?

                Aku berharap engkau selalu berada di bawah lindunganNya. Di tengah kesibukanku sebagai mahasiswa dan aktivis kampus yang bejibun kegiatannya, tiba-tiba saja pagi ini aku merindukan sosokmu yang sederhana. Sudah lama kita tidak bertatap muka dan berbagi cerita, kusempatkan menuliskan kisah kita untuk bernostalgia. Meski mungkin matamu yang mulai menua tak sanggup lagi untuk membaca, biarlah secarik surat ini jadi penawarnya.

Demi Masa depan, engkau relakan anak perempuanmu mengenyam pendidikan di perantauan

                Pagi itu adalah pertama kalinya aku membawa tas besar dan keperluan hidup yang begitu banyaknya untuk tinggal di tempat yang jauh. Ibu yang sangat mengkhawatirkanku tak tega jika kebutuhanku tak terpenuhi di perantauan nanti. Sesekali ibu menitikkan air matanya untukku, akupun tak kuasa untuk melakukan hal yang sama. Bapak hanya bisa diam dan menepuk bahuku perlahan. Ia bawakan barang-barang bawaanku tanpa banyak bicara. Tatapannya meneduhkan, seolah berkata penuh makna: “Ini saatnya kau berjuang demi masa depan Anakku! Jangan sampai menyerah karena keadaan!”. Kubalas tatapannya yang bermakna: “Doakan anakmu bapak, semoga aku bisa berjuang tanpa mengenal lelah!”. Hingga bus kota yang aromanya tak begitu kusuka membawaku pergi dari mereka, sosoknya hilang di pelupuk mata.

Meskipun dirimu bukanlah hartawan, namun kau masih percaya akan indahnya masadepan 

                Ingatanku tiba-tiba saja melayang pada perempuan kecil yang senang menggambar dan keras wataknya. Layaknya anak kecil pada umumnya ia merengek pada sang bapak agar dibelikan pensil warna. Sang bapak pada waktu itu hanyalah pedagang kacang goreng yang penghasilannya tidaklah seberapa. Namun bapak tetap berjuang untuk membelikan pensil warna itu untuk anaknya, meskipun hanya mampu beli dua warna saja dalam satu batangnya. Aku terharu mengingat pengorbanannya. Bapak memang bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, namun ia selalu berharap agar aku bisa jadi sarjana suatu hari nanti. Ia rela jadi kuli, agar anaknya kelak bisa lebih dari ini.

Mengingat perjuanganmu, akupun malu jika usahaku hanya sebatas itu

                Sejak kecil kau selalu berjuang demi kami. Dari menjadi buruh tani hingga menjadi kuli, kau selalu bekerja dengan sepenuh hati. Mengingat keringatmu, aku malu jika hanya jadi orang yang biasa-biasa saja. Sejak kecil engkau selalu mendukungku untuk terus berprestasi. Tak hanya dalam mengejar ilmu di kelas, namun juga dalam mengembangkan bakatku agar lebih berkualitas. Segudang kegiatan ekstrakurikuler mulai kugeluti. Tak kau marahi jika aku pulang malam karena aktif di organisasi, tak kau ceramahi kala aku tak jadi juara satu karena mengetuai organisasi majalah semasa SMA dulu. Hingga saat ini akupun tetap jadi aktivis, namun akan kuusahakan agar prestasi akademikku akan memberikanmu senyuman yang manis. Tak apa jika waktu istirahatku berkurang, selama engkau senang rasa lelah itu masih bisa kutahan.

Sesekali aku bekerja, untuk membantumu meski belum bisa sepenuhnya membantu

                Meskipun pemerintah telah membantuku melalui beasiswa, namun kebutuhan kuliah yang lainnya terkadang membuatmu harus mengirimkan tambahan dana. Aku malu jika terlalu sering meminta padamu, karena kebutuhan lain sudah pasti menunggu. Suatu kali aku belajar berjualan, es lilin lima ratusan dan beberapa makanan ringan. Aku tak malu jika harus menawarkan dagangan ke teman-teman di perkuliahan. Tremos dan buku adalah dua benda wajib yang kubawa saat ke kampus. Tak peduli dengan banyaknya praktikum dan laporan, namun membuat es lilin di sela kegiatan adalah hal yang menyenangkan. Hingga penyakit itu datang, engkau marah padaku dan memintaku menghentikan pekerjaan itu.
                “Fokuslah pada pendidikanmu, biar bapak yang banting tulang untuk membiayaimu!”.

Aku mulai beranjak dewasa, sebagai seorang anak perempuan jarak itu semakin terasa jelasnya

                
Waktu terus berjalan, kedewasaan adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan kurasakan. Seorang anak perempuan yang beranjak dewasa akan mencoba menjaga jarak dengan makhluk bernama pria tak terkecuali bapaknya. Aku sering malu jika harus bercerita tentang asmaraku padamu dan memilih bercerita pada ibuku. Engkaupun juga semakin menyadari pertumbuhan yang kualami, yang pasti akan berbeda jika aku adalah anak laki-laki. Jujur terkadang aku benci untuk menjadi perempuan dewasa, karena denganmu aku tak bisa lagi untuk leluasa bermanja-manja ria. Namun dimatamu aku tetaplah anak perempuan yang sangat membutuhkan perlindungan.

Sosokmu yang sederhana, tak banyak bicara namun setianya luar biasa, mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya

                
Di mataku dan ibu, kau memang bukanlah sosok yang romantis. Tak pernah kutemui kau memberikan hadiah pada ibu seuntai bunga dan rayuan manis. Namun dimatamu ibulah yang nomor satu. Rayuan dari perempuan jelalatan yang sering kau ceritakan tak mampu meluluhkan hatimu. Tingginya kasih dan perjuanganmu demi keluarga sudah menjadi pembuktian cinta yang sesungguhnya. Bahwa cinta itu bukan hanya perkara bunga dan rayuan manis belaka, kesederhanaan dan kesetiaan yang sejati memang seringkali kasat mata.
                Dalam diamku, aku selalu mengagumi sosokmu, berharap kelak mendapatkan pendamping yang semulia hatimu.

Jika nanti aku menikah, semoga laki-laki itu sangat menyayangi dan mampu membahagiakanku layaknya bapak

                
Suatu saat nanti akan ada saat dimana seorang pria selain dirimu yang akan senantiasa menemani perjalanan hidupku. Meski tak tahu siapa lelaki itu, aku selalu berharap ia memiliki hati mulia sepertimu. Usahamu untuk membatasi pergaulanku, semata adalah demi menjaga kehormatanku. Kau sering selektif ketika berbicara tentang pria, karena kau akan berupaya agar anak perempuannya dapat pendamping yang bisa dipercaya. Seperti apapun laki-laki yang akan meminangku nanti, namun kau akan tetap jadi raja di hati.
Aku pasti akan menemukan seorang pangeran suatu hari nanti, namun bapak akan tetap jadi raja dalam hidupku sampai kapanpun. –CHAPLIN-

Dalam perjalanan panjang itu, aku selalu berharap kelak engkau mendapat kesempatan untuk menikmati keberhasilanku

                
Sejauh perjuangan yang telah kita usahakan bersama, kesuksesanku adalah harapanmu yang paling utama. Memiliki anak yang mampu membanggakan keluarga dan berprestasi adalah sesuatu yang jadi impianmu saat ini dan nanti. Meskipun kau tak langsung mengatakannya, namun senyum yang mengembang di bibirmu adalah ungkapan yang sejujur-jujurnya. Engkau bahagia hingga tak mampu lagi berkata-kata. Akupun tak ingin mengecewakanmu, agar kelak aku bisa mewujudkan cita-citamu itu. Kesehatan dan kebahagiaanmu sangat kudambakan, rasa sedih itu muncul saat penyakitmu mulai berdatangan. Jangan sampai masa tuamu nanti belum tenang karena belum merasakan keberhasilan anakmu ini. Pengorbananmu tak layak jika hanya kubayar dengan hasil yang biasa-biasa saja. Apapun hasilnya nanti, semoga TUHAN senantiasa memberi yang terbaik untuk kita. Doakan anakmu ini, agar kelak bisa jadi kebanggaan hati.
                Selamat berjuang dalam pelataran panjang menuju masa depan. Semoga kelak bisa berkumpul dalam istana kecil buah dari perjuangan kita dengan penuh kebahagiaan.

                                                            Dariku, anak perempuan yang sering merindukanmu
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYXo2MlepnMAOPWgQ-1bLXlQdvt30x7QmMQLAqqh8x4uGFdV1MvSjSFl5r3_8ynqwhqIxh3G7cI9eO_nYy27_0j_5qEdfKYPLuDGw_sVKgiUu8XGUZ_yGoODg2eF1IaNTH_MjyG8go3HPR/s1600/ffdfdf.jpg


Komentar