DEMOKRASI KITA DAN DUNIA SEPAK BOLA



            Ada dua hal yang dinanti-nanti pada tahun 2014 dari pada tahun-tahun sebelumnya. Tepatnya pada tahun ini Negara Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi dalam memilih pemimpinnya dan dunia sedang merayakan piala dunia yang akan diselenggarakan oleh FIFA diikuti oleh 31 negara terpilih di Brazil. Dua hal tersebut merupakan sesuatu yang sama-sama menariknya untuk menjadi sesuatu yang diperbincangkan, baik itu dalam obrolan ringan di warung kopi hingga seputar berita di televisi. Padahal sebenarnya ada hal yang sangat berbeda dari keduanya jika dilihat dari tingkat antusiasme masyarakat kita dalam merayakannya.
            Pertama jika dilihat dari sisi Piala Dunia. Semua hal yang berkenaan dengan lapangan hijau ini memang begitu menarik minat bagi masyarakat di seluruh penjuru dunia, tak pandang bulu dari yang tua-muda, laki-laki-perempuan, kaya-miskin, banyak yang menggemarinya. Mereka akan sempatkan untuk sekedar menontonnya sesibuk apapun itu. Meski harus bangun tengah malam dan esoknya dikejar tugas di kantor dan di sekolahnya, tak jadi masalah. “Malam ini aku harus menyalakan alarmku pada tengah malam, untuk menonton Chelsea vs Arsenal. Tak peduli besok harus ada jadwal kuliah yang padet atau nggak” Kata Ardi Mahasiswa Sastra UJ. Beberapa stasiun televisi hingga berbagai operator mengadakan nonton bareng demi merayakan pesta ini seperti yang dilakukan oleh Telkomsel di 250 titik yang tersebar di seluruh Indonesia.
Ditambah lagi dengan para penggila bola yang semakin marak untuk meningkatkan koleksi pernak-perniknya yang berhubungan dengan tim kesayangannya. Dari baju, sepatu, bantal, guling, sampai keset kamar semuanya berbau sepak bola. Mereka tak menyayangkan uangnya harus melayang hanya untuk membeli itu semua. “Yang terpenting aku mendapatkannya, meski harus rela tidak jajan beberapa minggu” kata salah seorang penggemar Chelsea yang tidak mau disebutkan namanya. Mereka melakukannya tanpa diminta oleh siapapun juga demi meramaikan piala dunia.
            Coba bandingkan dengan pesta yang kedua, yaitu pesta demokrasi. Mungkin dalam pesta ini memang ramai, begitu banyak konvoi dijalanan, kampanye-kampanye secara langsung maupun lewat media sosial, hingga bendera-bendera partai serta pamflet-pamflet yang memenuhi pinggir jalanan. Namun keramaian tersebut hanyalah semu. Apalah arti sebuah keramaian jika obyek dari pesta tersebut yaitu rakyat, kurang antusias dalam menyambutnya. Sekali lagi mereka harus memilih dengan cara dipaksa, bukan seperti ketulusan yang sering dilakukan oleh para penggila bola saat menyambut piala dunia. Belum lagi tingginya kasus golput pada tahun ini semakin menggambarkan bahwa antusias masyarakat dalam pemilu ini sangatlah rendah.
            Sebenarnya apa yang terjadi dengan kedua hal diatas? Keduanya memang sama-sama menunjukkan suatu pesta yang harus dirayakan dengan suka cita. Namun jika dilihat dari segi tujuannya ada suatu garis besar yang sangat membuat keduanya berbeda. Dunia sepak bola digemari hanya untuk memenuhi kesukaan seseorang pada sebuah hobi yang sejatinya untuk memenuhi hasrat pribadi. Kalaupun mereka tak merayakannya dunia akan tetap berjalan dan hidup merekapun akan tetap demikian. Lagipula yang mereka dukung juga bukan negaranya sendiri karena Indonesia tak masuk nominasi. Namun untuk pesta demokrasi, sejatinya memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan dan masa depan masyarakat, tak hanya beberapa namun untuk seluruh warga negara. Dimana mereka diberi kesempatan untuk menentukan siapa yang pantas untuk mengendalikan negara ini selama empat tahun ke depan. Mengapa mereka justru merelakan waktu, tenaga, dan uang hanya untuk sekedar sebuah kesenangan sedangkan untuk menentukan masadepan negaranya mereka memilih untuk diam tak memberikan pilihan?
            Orde baru telah menyisakan krisis kepercayaan bagi masyarakat Indonesia hingga kini. Kasus korupsi yang telah terjadi pada masa itu terus diwariskan sampai sekarang. Indonesia telah berada dalam lingkaran hitam yang tiada putusnya. Pada tahun 2013 terhitung sekitar 48 kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. Awalnya mereka menjanjikan sebuah kesejahteraan namun itu semua hanyalah janji palsu yang hanya terucap di bibir mereka yang kejam. Hampir semuanya terseret dalam kasus korupsi. Dari partai yang ‘ngakunya’ nasionalisme hingga partai yang berlabelkan agama dengan janji bahwa partainya suci tak luput dari kejahatan hina tersebut. Hal-hal itulah yang menjadikan beberapa warga masyarakat yang sudah tak percaya lagi dengan adanya pemimpin bagi bangsa ini. Mereka harus disuap dengan uang ataupun janji jaminan sebuah jabatan untuk memilih sebuah partai dan pemimpin yang memang bermodal besar. Meski dengan suapan uang tersebut tak berarti mereka memang percaya dengan pilihannya. Mereka yakin jika nanti sudah benar-benar terpilih belum tentu nasib mereka akan berubah. Hal itulah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat memilih untuk golput. Belum lagi kasus pemilihan DPT(Daftar Pemilih Tetap) pada bulan November 2013 lalu yang memiliki permasalahan akibat adanya indikasi korupsi E-KTP. Jika awalnya saja sudah dibuka dengan kasus penyelewengan, apakah masyarakat yang peka akan tetap antusias untuk ikut merayakan?
            Sejatinya dunia demokrasi dan dunia sepak bola merupakan kedua hal yang sangat berbeda. Namun dibalik perbedaan tersebut ternyata ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Masyarakat akan sangat antusias dan bersemangat meskipun tanpa harus dengan disuap dengan uang untuk memberikan suaranya jika para pemimpinnya benar-benar konsisten dengan ucapannya. Namun kenyataannya krisis kepercayaan telah membuat mereka bosan untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Hingga beberapa dari mereka lebih memilih untuk menonton bola dibanding menonton diskusi mengenai politik di televisi. Mereka tak suka omong kosong tanpa bukti yang berarti.  Meskipun keduanya sama-sama memerlukan taktik dan strategi dalam merebut kekuasaan untuk menjadi sang pemenang, namun jika beberapa pemain telah memberikan uang suap bagi sang wasit untuk memenangkan timnya, bagaimana jika hal tersebut yang diterapkan dalam lingkup demokrasi kita?  

Komentar