“Mereka bilang bulan ramadhan adalah bulan
yang paling indah
Mungkin mereka salah
Buktinya di bulan ini, nasib
keluarga kami semakin susah....”
Ucapku
dalam sebuah status di Facebook malam ini. Mungkin besok aku tak bisa update status
lagi, karena harus kurelakan Hp ini pergi. Layaknya remaja lain, aku merupakan
salah satu penggila dunia maya yang sehari-harinya hanya memandang layar kaca.
Waktu belajar selalu ada liburnya, waktu online ada saja jatahnya. Baik itu di
tempat umum sampai di WC sekalipun, pasti kusempatkan untuk menyapa makhluk
aneh lainnya di Facebook. Senang rasanya jika status tersebut mendapatkan
banyak jempol dari mereka. Apalagi jika mendapatkan komentar, rasanya kita
menjadi sosok yang menjadi pusat perhatian, layaknya Emphasis dalam ilmu seni rupa. Tapi sepertinya penyakitku yang satu
ini akan diobati secara paksa oleh keadaan. Hp harus di jual, demi kelanjutan
sekolahku.
Tumpukan
pakaian lusuh menyeruak di sudut kamar. Di sebelahnya terpampang rak berisi buku
berantakan protes minta dirapikan. Tak kalah parahnya, tempat tidur berseprai
merah jambu dengan puluhan benda di atasnya berebut posisi menempatkan diri.
Lantai dengan pensil berceceran di atasnya turut meramaikan suasana ruangan. Tubuhku
tergolek lemas di sebuah tikar kumal dekat lemari sambil meratapi Hp pemberian
paman ini. Semua ini gara-gara: IBU!
Sudah
tiga bulan ibu pergi. Ia menghilang begitu saja tanpa pamit kepada kami. Mungkinkah
ini karena ayah sudah tak bisa berjualan krupuk lagi? Tapi itu semua bukan seratus
persen akibat ulah ayah. Siapapun tak ada yang ingin alat jualnya terbakar
tanpa sebab yang pasti. Hanya saja beberapa hari sebelum ibu pergi, aku sering
melihat mereka berdua bertengkar dan saling mendiamkan. Sekarang ayah lagi
sibuk-sibuknya menjadi kuli di rumah Haji Sobri.
Atau mungkin ibu sudah
bosan merawat Bang Jalu, abangku yang keterbelakangan mental itu. Tapi selama
ini Bang Jalu sudah mulai mampu mengurus keperluannya sendiri. Dia jelas-jelas
tak salah, siapa yang mau dilahirkan dengan kondisi cacat semacam itu. Mungkin
juga ibu sudah tidak kuat menghadapi watakku. Tak jarang aku meminta ini itu
padanya, tanpa melihat kondisi yang ada. Namun aku juga tak memaksakan itu
semua, wajarlah aku juga remaja biasa. Bagiku tetaplah ibu yang jadi
permasalahannya.
Sengsaranya
kehilangan sosok ibu sangat terasa jelas saat ramadhan telah tiba. Jika pada
ramadhan-ramadhan sebelumnya selalu ada yang membantu meringankan pekerjaan
saat letih menerpa, kini aku harus menyelesaikan semuanya sendiri. Jika dulu
selalu ada yang membangunkan kami untuk menyantap hidangan sahur, kini kami
harus bangun sendiri bahkan terkadang tertidur sampai pagi. Jika dulu selalu
saja ada menu istimewa saat berpuka puasa kini kami bertiga harus kesana kemari
mencari masjid yang memberikan buka puasa gratis dengan begitu rendah hati.
Ah,,,, jika dulu begini begitu, semua ini karena kepergianmu IBU!
@@@
Hidup
kami benar-benar berubah, terutama aku. Sifat manjaku mau tak mau harus kulawan
dengan sebuah keyakinan dan sedikit rasa keterpaksaan. Sejak kecil aku selalu
bergantung pada ibu. Kini aku belajar untuk melakukan semuanya sendiri. Namun
kenapa harus di bulan suci Ibu? Kenapa justeru di saat aku tumbuh remaja
seperti sekarang ini? Kini aku adalah satu-satunya perempuan di rumah. Namun
sepertinya sama saja dengan tidak adanya diriku. Ayah dan Bang Jalu yang
berusaha mengganti pekerjaan ibu.
Ayah
adalah seorang laki-laki yang kuat. Dengan memandang wajahnya saja orang tak
akan sanggup jika tak melemparkan senyum padanya. Ia sangat ramah kepada siapa
saja. Dahulu waktu ayah masih berjualan kerupuk, sering sekali memberikan bonus
bagi pelanggan setianya. Ayah juga pandai mengaji, mungkin itu sebabnya jika
guru mengaji kami sakit ayahlah yang menggantikannya. Pekerjaan apapun ayahlah
yang menanganinya sejak ibu pergi, kecuali memasak. Ayah tak pernah berhasil
membuat masakan yang enak. Aku sering protes jika harus berbuka puasa dengan
makanan buatannya. Berbeda dengan Bang Jalu, ia akan memberikan jempol pada
ayah setiap kali menyantap masakan buatannya. Entah itu enak ataupun tidak,
bagi Bang Jalu masakan ayah itu keren. Sementara aku, hanya mau menyantap beberapa
sendok lantas memilih masuk ke dalam kamar mengutuki nasib. Mungkin perasaan
ayah hancur tiap aku berperilaku seperti itu, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
Ayah tak punya cukup uang untuk membeli makanan yang enak. Satu-satunya cara
agar aku mau makan di bulan puasa ini adalah mencari masjid yang menyediakan
buka puasa gratis.
Meskipun
aku tumbuh normal, namun watakku jauh lebih buruk ketimbang Bang Jalu yang
berkelainan itu. Ia selalu rajin membantu bapak menyelesaikan pekerjaan rumah.
Dari menyapu hingga mencuci baju, abangku mulai terampil mengerjakan semuanya
sendiri. Dia memang berbeda dengan anak yang menderita kelainan yang sama
dengannya. Ia jarang sekali merepotkan kami. Hanya saja ketika mood-nya sedang buruk, ia akan
bersembunyi di dekat masjid dan tak mau pulang selama beberapa hari.
Akhir-akhir ini ia nampak begitu aneh dari biasanya. Setiap pagi abang pergi
tak tahu entah kemana dan pulang ketika sore telah tiba. Ayah tidak mengetahui
hal ini karena sibuk bekerja sebagai kuli. Aku tak mau ambil pusing dengan
perilakunya. Mungkin saja ia pergi untuk menghibur diri, entahlah!
@@@
Hari
ini adalah hari yang paling menyebalkan dalam hidupku. Kelasku mengadakan buka
bersama di rumah salah seorang teman. Kami diminta untuk membawa makanan sendiri
dari rumah agar tidak mengeluarkan banyak biaya. Awalnya aku berencana untuk
tidak hadir dalam acara ini. Namun ayah tak mengizinkan, karena memenuhi
undangan itu adalah sebuah kewajiban. Aku menuruti kkemauannya dengan sedikit
terpaksa. Namun akhirnya aku menyesal telah hadir di acara itu. Semuanya
berawal pada saat kita mulai membuka bekal dan memutuskan untuk saling
mencicipi satu sama lain. Namun saat melihat makananku, mereka sedikit kaget
dan tak berniat untuk mencicipi. Lantas si Ulfa, anak juragan ayam membuka
suara:
“El,
masak ibu kamu tega puasa-puasa gini cuma masakin mie instan sama telur sih?”,
katanya tanpa basa-basi.
“Kamu
nggak tahu ya, kalau ibunya Elya itu kabur dari rumah beberapa bulan lalu?”,
ucap Serli si tukang gosip.
Semuanya
diam tak berani meneruskan. Hanya beberapa teman memelototi Serli karena tak
bisa menjaga mulutnya. Aku tak bisa berbuat banyak. Selera makanku telang hilang
di sela-sela mie instan. Lalu kulahap telurnya tanpa basa-basi sebagai
pelampiasan. Entahlah, mulutku bungkam hingga akhir acara. Aku benar-benar
marah pada ayah. Meskipun mie instan dan telur sudah sangat mewah jika di makan
di dalam rumah, namun bukan berarti harus jadi bekal puasaku kali ini.
Sesampainya
di rumah aku tak membuka mulut sama sekali. Mukaku kusut seperti pakaian yang
sudah lama menumpuk tak disetrika. Bang Jalu dan ayah bingung melihat tingkahku,
ayah hafal dengan watak bungsunya ini. Rumah kami hening hingga malam tiba. Aku
tetap menangis tersedu-sedu dalam kamar. Ayah dan Bang Jalu telah beberapa kali
mencoba mengetuk pintu. Namun tak pernah kubuka pintu ini secelah pun. Ini
benar-benar ramadhan yang menyebalkan. Dulu biasanya kalau sedang marah begini hanya
ibu yang dapat menghibur. Ia akan membuatkan bubur kesukaanku dan menyuapkannya.
Ah... ibu, kejam sekali kau padaku? Aku masih tetap tersedu-sedu.
Hingga
keesokan harinya aku tetap tak mau bersekolah. Ayah takut terjadi apa-apa dan berusaha
mendobrak pintu kamar. Didapatinya tubuhku demam tinggi dan pucat pasi. Ayah
segera menggendong dan membawaku ke bidan terdekat. Bang Jalu tergopoh-gopoh
mengikuti kami dengan wajah ketakutan seperti ayam yang hendak dipotong
lehernya. Ia tetap seperti itu hingga sang bidan memeriksa keadaanku.
Menurutnya, aku hanya menderita demam biasa dan magh ringan karena jarang
makan. Ia memberikan beberapa obat pada kami dan menunjukkan dosis
pemakaiannya. Syukurlah penyakitku tidak terlalu parah dan tidak perlu
mengeluarkan biaya yang banyak. Aku sedikit merasa bersalah sejak saat itu.
Gara-gara ulahku, mereka jadi semakin menderita begini. Namun rasa gengsi
menghalangiku untuk sekedar minta maaf pada mereka. Aku mulai benci dengan
diriku sendiri.
Ayah
dan Bang Jalu tidak pergi kemana-mana sejak aku sakit. Yang mengherankan lagi,
Bang Jalu selalu membawakan makanan enak setiap aku bangun tidur. Mereka akan
bergantian menyuapi dan merawatku. Meski terkadang suapan abangku ini terlalu
penuh menyesaki mulut, namun aku tak marah padanya. Aku justru malu karena
mereka sama sekali tak marah dan terbebani dengan kondisiku saat ini. Bahkan,
airmataku menetes saat mengintip mereka yang hanya berbuka puasa dengan krupuk,
terkadang hanya sambal terasi. Bang Jalu tetap makan dengan lahapnya, meski
mulutnya tampak merah kepedasan. Bila pagi tiba mereka akan antri ke WC akibat
sambal tersebut. Mereka makan hidangan
semacam itu namun tetap bisa tersenyum sementara aku? Aku tak pernah bersyukur
dengan apa yang Allah beri.
Sejak saat itu sikapku mulai berubah kepada
abang dan ayah. Bagiku mereka berdua adalah harta paling berharga yang
kumiliki. Biarlah mereka mau bicaara apa, yang penting kami akan tetap bersama.
Aku belajar memahami hidup ini sedikit demi sedikit, setahap demi setahap. Kami
mengerjakan semuanya bersama-sama. Bahkan kini sudah jarang mencari buka puasa
gratis, masakan ayah mulai laris kami makan habis. Mungkin ia telah berusaha
keras untuk mengubah makanannya menjadi enak. Segala sesuatu yang istimewa
memang membutuhkan perjuangan, pengorbanan dan latihan sebaik mungkin. Namun
yang tidak boleh dilupakan adalah adanya cinta di balik itu semua. Ah, ayah...
betapa engkau begitu mencintai kami.
Setelah
sembuh, ayah dan abang mulai kembali pergi setiap pagi dan pulang sore hari. Bila
malam kami akan shalat tarawih di mushola terdekat bersama-sama. Namun aku
penasaran dengan apa yang abang kerjakan selama ini. Sebelum-sebelumnya ia tak
pernah keluar selama dan serutin itu. Bila kutanya ia hanya meringis menunjukan
giginya yang kuning keropos sambil menunjuk suatu tempat yang tidak begitu
jelas, kemudian tertawa-tertawa sendiri dan meninggalkanku yang bingung tak
menentu ini. Sebenarnya dia mau kemana, mengapa tak pernah mau bercerita?
Sementara ayah juga semakin bekerja keras mengingat lebaran akan segera tiba.
Sungguh aku tak memiliki pikiran untuk membeli pakaian baru, yang paling
kubutuhkan saat ini hanyalah ibu. Meski hatiku masih sedikit sakit mengingat
kepergiannya, namun biar bagaimanapun dia adalah ibuku satu-satunya.
@@@
Sore
ini abang tak memunculkan batang hidungnya juga. Ayah sudah bilang bahwa ia
akan telat pulang karena ada tugas lembur untuknya. Namun kemana perginya
abangku ini? Aku tetap menunggunya hingga buka puasa tiba sambil memegang dua
piring mie instan di balai-balai depan rumah. Kupandangi setapak jalan kecil
yang biasanya abang lalui sewaktu pulang. Namun tawa khasnya tak datang juga.
Hingga mie instan di tanganku dingin, layu, sudah bosan menunggu kami
menyantapnya. Aku takut penyakitku kambuh lagi, dan dengan terpaksa menyantap
makanan ini meski sedikit tak enak hati. Aku tetap menunggunya hingga waktu
shalat magrib hampir habis. Akhirnya aku masuk rumah untuk mengambil wudhu dan
shalat magrib. Tak kutemukan kekusyukan pada shalatku kali ini, abang benar-benar
menguasai pikiranku. Sehabis shalat kuputuskan untuk mencarinya ke dekat
masjid, ke semua tempat yang biasanya disinggahi Bang Jalu, namun wajahnya tak
juga kutemukan. Aku putuskan untuk pulang, siapa tahu ayah sudah tiba dan kita
akan cari sama-sama.
Aku
tercengang saat melihat abang tidur telentang dengan wajah sedikit kotor dan
tubuh bermandikan keringat di balai-balai tempatku menantinya tadi. Memangnya
habis melakukan apa abangku ini? Mengapa ia tampak begitu lelah sekali? Tak
sampai hati aku membangunkan tidurnya, namun malam semakin dingin pasti justru
akan menyakitkan baginya. Kubangunkan Bang Jalu perlahan dan kuminta dia masuk
ke dalam. Ia hanya meringis saja menuruti perintahku. Lalu kuberikan mie instan
yang dingin tadi padanya, segera saja ia lahap habis tak tersisa. Ia bagaikan
sudah seminggu tidak makan. Kuberikan segelas air putih padanya dan kutanyakan apa
yang telah dikerjakannya seharian tadi. Ia hanya berbicara tak jelas tentang
mahalnya harga-harga jajanan lebaran saat ini, terutama permen tape kesukaan
abang tak lupa ia sebutkan. Kuminta ia mandi saja dan mengganti pakaiannya yang
kotor. Kuminta ia untuk tidur melihat kondisinya yang nampak lelah, namun ia
menolak. Ia ngotot untuk ikut pergi taraweh bersamaku. Sudahlah, kuturuti saja
kemauannya. Jika tidak dia akan merengek-rengek seperti anak kecil yang minta
dibelikan permen.
Hingga
malam tiba pikiranku masih dipenuhi rasa penasaran terhadap tingkah abang. Aku
mulai berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Biar bagaimanapun Bang Jalu punya
keterbelakangan mental yang membuatnya terkadang bertingkah tidak normal. Masih
nampak jelas di ingatanku saat masih kecil dulu. Beberapa kali ayah mendapat
teguran dari beberapa tetangga karena Bang Jalu sering mengambil jemuran mereka
terutama celana dalam. Terkadang juga Bang Jalu rajin membersihkan masjid
setiap malam jumat tiba. Serta masih banyak keanehan lain yang sering ditunjukkan
oleh Bang Jalu. Jangan sampai kejadian-kejadian di masalalu itu terulang lagi.
Bayanganku mulai merambah kemana-mana hingga aku tertidur karena kelelahan.
@@@
Sekolah
sudah mulai libur mendekati lebaran. Ada banyak hal yang ingin kukerjakan
beberapa hari di penghujung ramadhan. Sudah kupersiapkan semuanya sejak pagi.
Mungkin akan dimulai dengan membersihkan langit-langit rumah dulu, dan akan
disusul dengan kaca-kaca di jendela rumah. Saat aku hendak bersiap membuat sapu
panjang yang menyambungnya dengan galah, kuurungkan niatku begitu melihat abang
mulai bersiap untuk pergi seperti biasanya. Tiba-tiba saja rasa penasaranku bangkit lagi. Aku pura-pura tidak melihat
kepergiannya yang nampak secara diam-diam itu. Pintu rumah kukunci rapat-rapat
dan kaki ini sengaja tak mengenakan sandal agar tidak menimbulkan suara yang
mencurigakan Bang Jalu. Aku tetap mengendap-endap dengan jarak beberapa meter
darinya. Sambil sesekali sembunyi di balik pohon saat ia berhenti. Perjalanan
kami cukup jauh dan kaki ini mulai pegal-pegal membuntutinya. Jalan setapak
yang dilaluinya benar-benar penuh dengan bebatuan membuat kakiku serasa sedang
diterapi secara paksa. Ia tetap berjalan dan belok ke kanan di sebuah tikungan.
Kini kami mulai memasuki area jalan raya yang ramai dengan kendaraan. Aku mulai
merasa tak asing lagi dengan daerah ini. Beberapa meter dari tikungan tadi
abang berhenti di sebuah toko tepat di tempat yang dulu ayah kunjungi setiap
hari: pasar!
Aku
tetap mengawasi Bang Jalu dari kejauhan dengan sikap waspada agar ia tak
mengetahui keberadaanku. Kubaca nama toko di papan usang yang hurufnya mulai
pudar namun masih bisa dibaca; Toko Ah Cong, lalu dibawahnya ditambahi kalimat
yang nampaknya baru dituliskan “Sedia Jajanan untuk Lebaran”. Kudengar kabar
dari teman sekelasku bahwa pemilik toko bermata sipit ini sangat ulet dalam
bekerja namun pelit terhadap karyawannya. Apa yang dilakukan Bang Jalu di toko
orang Tionghoa ini? Mataku berusaha mencari jawaban.
Sesampai
disana nampak Bang Jalu ditegur oleh pemilik toko yang hanya memakai kaos dalam
oblong putih yang warnanya sudah sedikit berubah menjadi krem. Lalu ia segera
menyodorkan sapu pada abang tanpa sikap sopan. Bang Jalu hanya menunduk tanpa
bisa melawan. Ia segera menyapu tempat itu dan membantu beberapa pelanggan yang
membeli banyak jajanan untuk diangkut di mobil pick-up yang parkir di samping
tokonya. Sesekali kulihat Bang Jalu terjatuh dan menyebabkan jajanannya
berantakan di lantai. Pemilik berkaos dalam tadi segera saja memarahi abangku
dan menyabetkan sapu ke pantatnya. Bang Jalu hanya meringis kesakitan
diperlakukan semacam itu. Hampir saja aku berlari ingin menyelamatkan abang.
Namun bila hal ini kulakukan mungkin penyamaranku akan ketahuan dan Bang Jalu
akan marah karena aku telah menghancurkan rencana dan pekerjaan barunya. Aku
hanya menangis terisak dari kejauhan. Aku memukuli jidatku sendiri karena
merasa tidak berhasil menjaga abangku ini. Aku pulang ke rumah dengan pipi
basah berteteskan air mata. Ternyata ini yang ia kerjakan selama ini.
Kemiskinan benar-benar telah membuat abangku lebih bersikap dewasa dari
sebelumnya. Aku terharu melihat perjuangan Bang Jalu.
Hari
ini adalah hari terakhir kami di bulan ramadhan. Ayah dan Bang Jalu sudah libur
dari pekerjaannya. Kami membersihkan rumah ini bersama-sama. Bang Jalu bagian menyapu
dan mengelap kaca di rumah, ayah memotong rumput dan membersihkan halamannya
dan aku mencuci toples-toples serta membersihkan kamar-kamar yang ada di rumah
agar lebih bersih lagi. Semua tetangga juga nampak begitu senang layaknya kami.
Meskipun dalam hati kecilku masih berharap agar ibu bisa pulang berkumpul dengan
kami. Setiap mengingatnya rasanya air mata ini ingin menetes saja. Mungkin
lebaran tahun ini akan terasa berbeda tanpa kehadirannya. Melihat ayah dan
abang semangat dengan pekerjaannya akupun membuyarkan lamunanku. Kami
mengerjakan tugas ini sebaik mungkin. Hingga waktu buka puasa tiba, ya buka
puasa terakhir di bulan penuh berkah ini. Kami bersorak bahagia dengan
kemenangan yang telah kita raih. Pada malam ini juga kami saling bermaaf-maafan
atas kesalahan satu sama lain. Kalau lebaran sebelum-sebelumnya ayah dan ibu akan menunjukkan baju baru kami
yang telah mereka beli sendiri. Entahlah, apakah tahun ini masih sama atau
tidak? Aku tidak mau berharap banyak. Baju lama kami masih layak pakai,
setidaknya ada banyak pelajaran yang bisa kudapatkan pada ramadhan tahun ini.
Namun
ternyata di luar dugaan. Ayah tetap membelikan aku dan Bang Jalu baju baru. Bang
Jalu mendapat baju kemeja warna biru, warna kesukaan abangku. Ia nampak tampan
dengan pakaian itu, meskipun sedikit kebesaran. Sedangkan untukku, ayah
membelikan sebuah pakaian muslim dengan warna merah jambu dengan jilbab ungu.
Ayah bilang, aku nampak cantik memakainya seperti ibu. Kamipun saling
berpandangan dengan mata sedikit berkaca-kaca. Tak kuasa menahan itu semua kami
bertiga berpelukan penuh haru. Benar-benar ramadhan tahun ini mengajarkan
banyak hal pada kami. Bahwa kebahagiaan yang sejati tidak terletak pada berapa
kekayaan yang kita punya, namun rasa syukur dalam kehidupan yang sederhanaadalah
kuncinya. Saat kami sedang larut dalam sebuah tangis penuh haru, tiba-tiba saja
terdengar suara pintu diketuk perlahan. Ayah segera bergegas ke depan untuk
membukakan pintu. Aku dan Bang Jalu segera menghapus air mata kami. Namun lama
sekali ayah tidak masuk kembali. Aku memanggil-manggilnya namun tetap tak ada
suara. Rasa penasaran tiba-tiba memaksa kami untuk keluar dan melihat siapa
yang datang,
Ayah
tampak mematung tak berdaya tanpa suara. Di depan pintu terlihat seorang
perempuan berkerudung membawa sebuah tas jinjing besar dengan sebuah karung
yang tak tahu berisi apa. Ia menangis lirih tanpa suara, namun tampak
kerudungnya basah penuh dengan peluh dan air mata. Seperti ayah, aku dan Bang
Jalu ikut mematung tak tahu harus berbuat apa. Perempuan itu tambah duduk
bersimpuh dan suara tangisnya mulai terdengar jelas seolah aku dan Bang Jalu
hendak menyiksanya. Melihatnya seperti itu, kami bertiga tak kuasa untuk tetap
berdiam diri membiarkannya. Kami berlari memeluknya dengan tangis tak kalah
hebohnya. Lengkap sudah kebahagiaanku di Idul Fitri tahun ini. Ibuku pulang,
setelah tiga bulan meninggalkan kami.
Kami
ajak ibu masuk rumah dan memintanya untuk bercerita. Aku yang dasarnya manja
langsung saja merebahkan kepalaku di pangkuannya. Dengan tangannya yang lembut
ia mengusap rambutku yang bau ini. Ibu mulai bercerita tentang kepergiannya
selama ini. Ia meminta maaf atas perbuatannya ini pada kami, terutama ayah.
Ternyata ibu bekerja jadi Baby Sitter di luar kota. Ibu tak berani minta izin
pada ayah karena ia tahu ayah tak akan mengijinkannya. Ibu tak punya nomor Hp
kami untuk sekedar memberi kabar. Majikan ibu juga belum mengizinkannya pulang
karena kesibukan mereka di masa-masa pemilu ini. Maklumlah majikan ibu adalah
seorang DPR yang kewajibannya memang harus sering menghadiri rapat di gedung
DPR dan jarang bisa merawat anaknya. Akhirnya setelah memohon dengan penuh
ibanya malam ini ibu boleh pulang. Kami semua memaafkannya. Namun kemana
perginya Bang Jalu sekarang? Ia menghilang lagi. Aku masih tetap bermanja-manja
dengan ibu.
Tiba-tiba
saja Bang Jalu muncul dengan sesuatu dalam sebuah plastik. Ia mendekati ayah
dengan malu-malu. Lalu memberikan bungkusan itu padanya.
“Apa
ini Lu?”,tanya ayah bingung.
Bang
Jalu hanya diam saja senyum-senyum sendiri seperti perawan yang sedang
kasmaran. Ayah segera membukanya. Sebuah kopyah hitam nampak masih baru dibeli
dari toko keluar dari plastik tadi. Ayah berkaca-kaca dan memeluk Bang Jalu.
Bang Jalu segera meminta ayah untuk mencobanya, dan ternyata ukuran kopyah
tersebut sesuai dengan kepala ayah. Senang rasanya melihat ayah bahagia seperti
itu. Selama ini yang ayah pikirkan hanyalah kami. Ia tak pernah memperhatikan
dirinya sendiri. Kini, Bang Jalu ingin mengapresiasi ketulusannya.
Ternyata
ini alasan Bang Jalu rela bekerja dan dipukuli selama berhari-hari. Mulai dari
pagi hingga sore hari, ia relakan waktunya untuk sebuah kopyah. Pantas saja ia
sering sekali memandang kopyah ayah yang sudah kusam, jahitannya rusak
disana-sini tak layak pakai. Sejak kecil aku tak pernah melihatnya berganti
kopyah. Mungkin kesempatan ini sangat ia nanti-nanti sebelumnya. Betapa Bang
Jalu sangat menyayangi ayahku. Kini aku mengidolakannya, abangku yang hatinya
mulya itu. Ramadhan ini rasanya beda, bahagia tak terkira. Saat idhul fitri
tiba kami memetik nikmatnya hasil kesabaran kami. Kami tumbuh lagi menjadi
pribadi yang suci.
Komentar
Posting Komentar