Seperti
Mengkonsumsi Mi Instan
Kondisi
Pertanian Indonesia Hingga Saat Ini
Tanggal 24 September
adalah saksi sejarah, saat para para pahlawan agraria berhasil memperjuangkan
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan menjadi cikal bakal hari tani nasional.
Kelahiran UUPA memerlukan waktu selama 12 tahun, dan diharapkan mampu
memperbaiki keterpurukan kondisi petani pada saat itu.
Namun pada kenyataannya hingga saat ini revolusi
agraria yang benar-benar mampu menjawab permasalahan petani kecil perihal tanah
di Indonesia masih belum terlaksana. Masih banyak petani kita yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Rata-rata dari mereka hanya memiliki luas tanah
pertanian sebesar 0,3 ha. Meskipun jumlah orang yang bekerja di sektor ini
masih cukup tinggi hingga tahun 2014 menurut BPS, yaitu sekitar 40,83 juta
orang, namun hingga kini Indonesia masih banyak mengimpor produk luar negeri.
Melihat dari perjalanan sejarah Indonesia pada tahun 1965, tingkat produksi beras hanya 1,7 ton per hektar, pada 1980 sudah mencapai 3,3 ton per hektar, dan Indonesia bisa berswasembada beras pada 1984. Sayangnya, hanya mampu bertahan 5 tahun. Setelah tahun 1990, impor beras Indonesia terus melonjak dan tidak pernah turun lagi hingga saat ini. Ironis, karena kemajuan pertanian di Indonesia tidak diikuti oleh kesejahteraan petani, dan justru malah memaksa dan menakut-nakuti petani dengan desakan ekonomi. Keadaan ini tak lepas dari gencar-gencarnya penerapan revolusi hijau di seluruh dunia pada saat itu. Yang diutamakan adalah pemerintah ingin memperoleh produksi yang tinggi secepat mungkin. Pupuk kimia bersubsidi pun akhirnya semakin marak digunakan sebagai asupan pokok tanaman budidaya. Tanpa mereka sadari, sesuatu hal yang buruk telah dimulai. Sama halnya dengan kasus ketimpangan politik seperti korupsi misalnya, hal ini sudah menjadi penyakit menurun yang susah untuk disembuhkan.
Penggunaan pupuk kimia an-organik yang
tidak terkendali menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas kesuburan fisik
dan kimia tanah. Keadaan ini semakin diperparah oleh kegiatan pertanian secara
terus-menerus (intensif), sedang pengembalian ke tanah pertanian hanya berupa
pupuk kimia Urea, TSP, dan KCl (unsur N, P, K saja), bahkan pada keadaan
ekstrim hanya unsur N lewat pemberian pupuk Urea saja dan hanya sangat sedikit
unsur-unsur organik yang dikembalikan ke dalam tanah. Hal ini mengakibatkan
terdegradasinya daya dukung dan kualitas tanah pertanian di Indonesia, sehingga
produktivitas lahan semakin turun.
Namun masih sangat
sulit bagi petani untuk berhenti menggunakan pupuk kimia yang ada. Salah satu
faktor mengapa petani masih sulit untuk beralih ke pupuk organik adalah karena
cara membuatnya yang membutuhkan proses serta dampak kenaikan hasil yang tidak
begitu terlihat saat pertama kali diterapkan. Mereka tidak mau menanggung
resiko hasil panennya menurun akibat bentuk pertanian baru yang diterapkan:
pertanian organik. Seperti halnya yang dialami oleh Uday, salah satu ketua
kelompok tani di Desa Darsono Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember yang
mendapatkan kesulitan untuk meyakinkan para petani untuk beralih ke pertanian
organik. Meskipun banyak contoh keunggulan pada produk usahatani yang ia
hasilkan saat menerapkan pertanian organik dari pada produk petani non organik,
namun mereka masih belum percaya. “Mereka tetap mengira, padi organik saya
bebas hama karena memang saya punya kios tani sendiri yang punya banyak
pestisida kimia buat mengatasi hama, bukan karena saya menerapkan pertanian
organik”, ungkap Uday saat ditanya di kediamannya (18/09/14)
Pupuk Kimia = Mi Instan
Ketergantungan para
petani di Desa Darsono maupun para petani di Indonesia terhadap pupuk kimia
sama halnya dengan ketergantungan manusia terhadap mi instan. Mi instan
merupakan sesuatu yang nikmat dan proses pembuatannya sangatlah mudah. Namun
dari segi kesehatan, makanan ini sangat membahayakan. Resiko yang ditimbulkan
diantaranya: kanker, kerusakan jaringan otak, serta berbagai resiko lainnya
yang diakibatkan terlalu keseringan dalam mengkonsumsinya. Berbagai informasi
tentang bahaya mengkonsumsi makanan ini telah banyak disebarluaskan, namun
masih banyak yang makan.
Hal diatas sama saja
dengan saat petani menggunakan pupuk kimia. Berbagai kerusakan sudah jelas
dirasakan, resiko banyak ditunjukkan, namun masih saja sering digunakan. Mereka
lebih memilih pupuk kimia yang sudah diproses oleh pabrik dan kualitasnya
langsung bisa dirasakan. Padahal jika diperhatikan dari sisi lain, penggunaan
ini tidak memperhatikan keberlanjutan suatu ekosistem. Produktivitas pun akan
semakin menurun karena tanahnya terdegradasi, kesuburannya terus berkurang
hingga tak ada lagi
Pertanian organik menawarkan masa depan
yang cerah bagi perekonomian di Indonesia. Saat ini produk organik sedang
menguasai pasar guna memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Dengan harga yang
optimal serta biaya produksi yang lebih minimum tentu ini adalah gambaran
pencerahan ekonomi bagi masyarakat petani.
Seperti yang diterapkan
oleh masyarakat Sumber Jambe-Jember yang merupakan Desa Percontohan pertanian
organik. Pada awalnya mereka memilih bertani secara organik guna mengatasi
kelangkaan pupuk yang ada. Meskipun untuk mencapai hasil yang maksimal
diperlukan waktu selama tiga kali tanam sejak permulaannya. Namun kini telah
berhasil memperjuangan sertifikasi produknya dan membuktikan bahwa bertani
secara organik adalah jenis usaha yang menjanjikan.
Untuk mengajak para
petani kita beralih ke pertanian organik memang diperlukan kerja sama yang
optimal antar stakeholder yang ada, baik itu pemerintah, Dinas Pertanian,
institusi pendidikan, masyarakat serta petani. Masih banyaknya para konsumen mi
instan salah satunya karena masih banyaknya produk mi instan ya dijual di
pasaran, begitu juga dengan pupuk kimia. Oleh karena itu sudah saatnya ada
program yang lebih serius dalam penggalakan penyediaan pupuk organik dan
mengurangi ketersediaan pupuk kimia guna mendorong para petani untuk beralih ke
pertanian organik. Meskipun prosesnya butuh waktu yang lama, namun selalu ada
hal positif dari sebuah perbaikan. Usaha setengah-setengah, hasilnya pun juga
akan setengah-setengah!
Komentar
Posting Komentar