Mulai
tanggal 2 juni 2014, beberapa fakultas di Universitas Jember (UJ) akan
mengadakan Ujian Akhir Semester yang menentukan hasil belajar mahasiswa selama
satu semester. Salah satu kebijakan yang digunakan sebagai syarat untuk
mengikuti UAS adalah mahasiswa harus memiliki presensi kehadiran sebesar 75 %
dari waktu yang telah dijadwalkan. Kebijakan ini menimbulkan beberapa
pertanyaan besar bagi mahasiswa, khususnya yang mengaku masih keberatan dengan
jatah yang diberikan dalam perkuliahan. Untuk apakah sebenarnya tujuan dari
kebijakan tersebut dibuat?
Menurut
Ninik Kusbandini, Kepala Bagian Pendidikan dan Kerjasama bidang akademik UJ
menyatakan bahwa kebijakan ini sudah dibuat oleh atasan (Pembantu Rektor I),
berdasarkan persetujuan beberapa pihak dari masing-masing fakultas yang telah diperhitungkan
dengan baik. Presensi kehadiran 75% tersebut telah memberi kelonggaran
mahasiswa untuk memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya selama diperkuliahan.
Jatah 25% itu diberikan untuk mengantisipasi apabila ada mahasiswa yang sakit
dan ada kepentingan di luar perkuliahan, sehingga tidak ada kesempatan mahasiswa
untuk membolos. “Di instansi pendidikan manapun baik itu SD, SMP, SMA, maupun
perkuliahan pasti ada yang namanya aturan yang bertujuan untuk memudahkan
maksud dari pendidikan itu sendiri yaitu untuk mencerdaskan”, tambah Ninik.
Kebijakan
ini di dukung oleh pihak dosen salah satunya Ketut Anom Wijaya (Dosen Fakultas
Pertanian) yang mengatakan, “Kebijakan ini sudah sangat tepat dikarenakan salah
satu tujuan dari pendidikan bukan hanya membuat manusia itu cerdas, namun juga
disiplin”. Ia juga berpendapat bahwa apabila suatu sistem itu tidak ada
aturannya maka bisa dipastikan tidak akan bisa berjalan dengan baik. Selain itu
ada beberapa informasi penting dari fakultas untuk mahasiswa yang tidak ada
dalam slide-slide powerpoint yang diberikan oleh dosen.
Meskipun
kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan, namun hal ini
menimbulkan dampak negatif bagi mahasiswa yaitu maraknya kasus titip absen. Istilah titip
absen atau yang sering disebut dengan TA sudah menjadi hal yang biasa
dilakukan apabila mereka berhalangan hadir daripada sekedar memberi surat atau
menghubungi pihak fakultas. Hal ini dikarenakan mereka takut apabila tidak bisa
mengikuti kegiatan UAS yang menentukan kelulusan mata kuliah yang ditempuh.
Belum lagi jika ada beberapa dosen yang menentukan penilaian UAS berdasarkan
kehadiran mahasiswa, “Yang penting sering masuk. Minimal akan saya kasih B
nanti...”, ucap salah satu Dosen Mata Kuliah Umum UJ yang tidak mau disebutkan
namanya.
Salah
satu mahasiswa PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UJ Khusnul
Khotimah, mengaku kurang setuju dengan banyaknya kasus mahasiswa yang TA
tersebut. “Alhamdulillah sampai semester dua ini belum pernah yang namanya
titip absen. Mending jika benar-benar berhalangan hadir saya memilih untuk
membuat surat atau menelepon dosennya”, ucap Khusnul. Menurutnya mahasiswa yang
sering titip absen tersebut merupakan mahasiswa yang kurang bertanggung jawab,
karena apabila TA tersebut ketahuan nanti akan merugikan teman yang dititipkan
absen. Ketidaksukaannya pada TA juga didukung oleh salah satu dosen favoritnya
di PBSI yang bernama Siswanto. Dosen tersebut akan mengecek ulang siapa saja
mahasiswa yang ikut matakuliahnya diakhir pelajaran. Ia sangat perhatian dengan
kehadiran mahasiswanya dikarenakan hal tersebut juga mempengaruhi kelancaran
dalam penyampaian materi. Apabila ada yang ketahuan TA, maka konsekuensinya mahasiswa
tersebut harus mengulang lagi mata kuliah terebut semester depan.
Materi
perkuliahan dari dosen pada dasarnya bukanlah suatu patokan yang tidak bisa
dikembangkan lagi. Apa yang didapatkan pada saat kuliah tersebut hanyalah
berfungsi sebagai pemantik, selebihnya mahasiswa bisa mencari dan menggali
lebih dalam lagi dari berbagai referensi. Sumber referensi yang bisa dicari
misalkan dari buku, koran, blog, jurnal, serta berbagai sumber lainnya yang
saat ini semakin mudah untuk dicari. Pendapat ini juga didukung oleh Azizah
salah seorang mahasiswa Fakultas Pertanian yang mempunyai kakak yang sudah
lulus dari Fakultas Teknologi Pertanian. Kakaknya tersebut jarang sekali masuk
kuliah dan sering mewakilkan absennya pada seorang teman. Namun IPK nya selalu bagus, karena kakak dari
Azizah terebut menganggap bahwa materi dari dosen itu hanyalah acuan. Sehingga
selebihnya itu urusan mahasiswa untuk mencari materi di luar jam perkuliahan.
Presensi
kehadiran dijadikan sebagai indikator kelayakan untuk mengikuti ujian. Padahal
meskipun seorang mahasiswa hadir 100% sekalipun bukan suatu jaminan apakah dia
benar-benar paham dengan materi yang disampaikan atau tidak. Pada akhirnya
nilai menjadi tujuan utama yang mereka agungkan. Sementara itu bagi mahasiswa
yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, tentu akan menyusahkan ketika mereka
diharuskan mengulang materi yang sudah mereka pahami. Waktu yang seharusnya
dapat mereka gunakan untuk mengkaji teori lebih dalam lagi terpakai untuk
mengulang materi yang sama dengan mahasiswa biasa lainnya. Disisi lain mereka
harus tunduk dengan kebijakan yang dibuat oleh pusat.
Seperti
yang digambarkan Suwardjono dalam Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan
Tinggi : Dari Penguliahan ke Pembelajaran. Sehingga syarat kehadiran minimal
75% tidak secara mutlak dihilangkan, namun tidak sebagai indicator kelayakan
peserta ujian (syarat ujian). Misalnya saja seperti metode yang diterapkan oleh
para asisten dosen di Fakultas Pertanian UJ. Bagi para praktikan yang tidak
bisa mengikuti praktekum Wawasan Agribisnis diminta untuk merangkum sebuah
jurnal dengan materi tertentu lalu mempresentasikannya. Hal tersebut sebenarnya
juga tepat diterapkan untuk mengatasi kurangnya presensi. Sehingga mahasiswa
yang presensi kehadirannya tidak memenuhi 75% dapat tetap mengikuti ujian tanpa
harus kecewa menerima nasibnya begitu saja.
Kebijakan yang
mengutamakan presensi sebagai syarat mengikuti UAS, lebih mengutamakan
kuantitas (kehadiran) daripada kualitas (pencapaian) dari mahasiswa. Jika
presensi kehadiran menjadi salah satu acuan, maka hal tersebut berpotensi untuk
membuat mahasiswa bergantung pada apa yang telah disampaikan oleh dosen.
Padahal seperti yang telah dikatakan oleh kakak dari Azizah bahwa materi dari
dosen hanya sekedar acuan. Pengetahuan tentang materi tersebut bisa lebih
digali lagi di luar jam perkuliahan. Seorang mahasiswi di FMIPA bernama Ismi
mengaku kurang setuju dengan adanya kebijakan tersebut : “Menurut saya,
sebaiknya kehadiran UAS tidak perlu dijadikan sebagai salah satu syarat masuk
UAS. Hal itu dikarenakan tingkat kemampuan dan pemahaman mahasiswa itu tergantung
pribadi masing-masing”. Jika mengacu dengan pihak akademik yang mengatakan tujuan
utama dari kebijakan ini adalah bermaksud untuk mendisiplinkan mahasiswa, namun
apabila mereka lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas apakah bisa
dicapai mahasiswa yang benar-benar cerdas?
Komentar
Posting Komentar