Apa yang kalian ketahui tentang
bungkus tempe? Sekedar sampah yang tidak berguna dan jika keberadaanya melimpah
akan membuat hidupmu susah! Sekedar benda mati yang sama sekali tak memiliki
arti, kotor, kusam dan secepat mungkin ingin kalian usir pergi. Sekedar
pelengkap tempe agar terhindar dari bakteri, untuk memenuhi kebutuhan perut
kalian yang ujung-ujungnya nanti akan diproses oleh Escherchia coli. Mungkin itu katamu, namun bagiku...bungkus tempe
lebih dari sekedar itu. Inilah aku, dengan sekolah kerenku: BUNGKUS TEMPE!!!
“Seorang
pelajar berusia 14 tahun tertangkap basah saat mengkonsumsi narkoba!”, bacaku
dalam hati. Miris sekali membaca kalimat dari salah satu bungkus tempe tadi. Bagaimana
bisa bocah seusiaku yang dikaruniai kesempatan untuk mengenyam manisnya
pendidikan terlibat kasus sedemikian memalukan? Kali ini topik-topik bungkus
tempe yang kukupas seputar berita tanah air. Sepertinya sang penjual tempe
menggunakan koran untuk membungkus tempe-tempenya. Berbeda dengan kemarin yang
keseluruhan bungkusnya membahas mengenai pesawat sederhana. Aku berharap besok
topik yang ada di bungkus-bungkus ajaib tersebut akan membahas mengenai
sejarah. Aku ingin tahu tentang sejarah. Sejarah tentang apalah itu, meski
mungkin aku juga tak tahu bagaimana sejarahku.
Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup
diantara gundukan bungkus tempe ini. Menghabiskan waktu berjam-jam untuk
mengupas bungkus-bungkus ini dan menyembunyikannya di kamar untuk kubaca jika
ada waktu luang. Bisa dikatakan itulah tempatku bersekolah. Bukan dengan baju
seragam, tas, sepatu serta deretan bangku yang aromanya sudah kulupa. Bukan
dengan guru-guru yang berpakaian rapi menenteng buku-buku materi. Bukan pula
dengan teman-teman sebaya yang bersuka ria menikmati masa-masa mudanya. Tapi
inilah aku, dunia sebagai sumber belajarku dan bungkus tempe menjadi
perantaranya. Seperti yang pernah dibilang Ki Hajar Dewantoro, “Jadikanlah
semua tempat sekolah dan semua orang guru”.
“Malah baca-baca, cepetan kerja Mar.
Nggak sekolah aja pakek gaya...”, Ucap Bi Lastri tiba-tiba dengan nada tinggi.
Aku terperangah, tak bisa berbuat banyak. Ingin rasanya kulahap semua tempe
yang ada disampingku ini. Aku marah dengan mereka, yang hanya bisa diam
melihatku yang bertahun-tahun bersamanya namun tak pernah dibela. Namun aku
lebih marah dengan diriku sendiri yang mulai menyalahkan benda mati berprotein
tinggi. Yang sering diperbincangkan karena bahan bakunya mengalami permasalahan
di dunia. Prihatin rasanya setelah membaca sebuah berita bahwa negara ini sudah
tak pantas menyandang status sebagai negara agraris lagi, dengan bukti beberapa
produk pertaniannya sudah banyak yang impor salah satunya kedelai. Tapi apalah
kuasaku, yang hanya berprofesi sebagai buruh di tempat bibiku sendiri. Mau
melawan tak akan ada yang peduli, mau berontak tak akan ada yang kasih hati.
@@@
Siang ini sungguh panas sekali.
Tempe goreng jualanku masih banyak, baru terjual lima biji. Haus rasanya
tenggorokanku setelah melihat botol air telah kosong tak berisi air setetespun.
Aku istirahat sejenak di bawah pohon beringin pinggir jalan. Tiba-tiba saja
melintas empat orang anak memakai pakaian biru putih dengan topinya bersepeda
ria. Mereka tampak begitu bahagia tanpa beban dalam hidupnya. Sesekali tangan
mereka membenarkan posisi topinya yang mulai tergeser kesana-sini. Sungguh,
bahagianya mereka! Salah satu dari mereka tak asing bagiku. Dia adalah Rudi,
anak pedagang roti di samping rumah Bi Lastri.
“Mar, ngapain lihat-lihat? Urus saja
daganganmu. Hahaha!”, teriaknya sambil menunjuk ke arahku. Diikuti gelak tawa
teman-temannya. Lalu hilang bersama dengan lenyapnya suara tawa.
Aku hanya diam menundukkan diri. Aku
berusaha untuk tetap biasa saja. Namun nyatanya aku hanyalah manusia biasa. Aku
juga punya hati, aku juga punya perasaan yang tak bisa kututupi. Air mataku
menetes perlahan, hatiku perih tak tertahankan. Aku berlari kemana saja yang
kumau. Jatuh tercecer semua tempe-tempeku dipunguti oleh sekawanan ayam yang
kelaparan. Tak kuhiraukan lagi semua itu. Kubuang sekalian wadah tempe yang
masih tersisa di tangan. Aku marah pada semuanya. Marah pada kedua orang tuaku
yang entah pergi kemana. Marah pada Bi Lastri yang begitu kejamnya. Marah pada
pemerintah yang tak peduli dengan pendidikan anak-anak sepertiku. Aku marah
sejadi-jadinya sampai lelah, diantara gundukan sampah. Ya... mulai sejak itu
aku kabur dari rumah Bi Lastri dan menjadi seorang pemulung.
Tapi tetap saja, bagiku buku dan
kertas mempunyai daya tarik tersendiri untuk tidak langsung dijual kepada para
pengepul. Aku membacanya hingga kelar dulu, baru rela menukarnya dengan uang.
Aku rindu dengan sekolah bungkus tempeku dulu. Mungkin sekarang kertas-kertas
itu telah dibakar oleh Bi Lastri sambil mengumpat kepergianku. Maaf Bi Lastri,
aku harus meninggalkanmu seorang diri!
@@@
Aku terjaga diantara gundukan sampah
ini bersama dengkuran para pemulung lainnya. Tiba-tiba saja aku ingin membaca
sesuatu yang bisa memenuhi dahagaku akan ilmu. Barang rongsokanku telah
kehabisan buku. Aku ingin meminjam punya yang lainnya, namun takut membangunkan
mereka. Akhirnya aku mencari-cari secara diam perlahan, berusaha tak membuat
suara sekecil apapun itu. Kubuka dan terus kubuka, namun secara tidak sengaja
kakiku menginjak botol minuman plastik. Ah... kenapa harus begini?
“Heh, mau apa kamu? Maling punyaku?
Dasar anak baru. Bangun semuanya...........”, kata Sang Pemilik dengan begitu
marahnya. Aku akan menjelaskan padanya, namun kemarahannya sudah terlanjur
membabi buta. Semua pemulung di kompleks ini bangun. Malangnya nasibku malam
ini. Mereka mengusirku dengan mengambil semua barang rongsokanku. Sebelum
nasibku lebih parah dari ini aku memutuskan untuk kabur, dengan hati sedikit
hancur.
Mungkin ini jalan yang terbaik.
Jalanan di kota ini begitu kejamnya. Aku juga seorang gadis yang tentu beberapa
tahun lagi beralih menuju dewasa. Tempat seperti ini tentu bukan tempat yang
tepat buatku. Aku berjalan dengan perut menahan lapar. Aku butuh makan, aku
butuh minuman. Tapi sepertinya tak akan ada yang begitu saja mau memberiku
sedikit makanan ataupun minuman. Hingga kaki ini mengantarkanku ke suatu tempat
yang rasanya tak asing buatku. Pasar yang dulu setiap minggu tempatku menjual
tempe. Aku begitu girang melihat tempat ini. Aku harap aku bisa bertemu dengan
Mak Sri, penjual pecel yang sering cuma-cuma memberikan makanan padaku.
Senangnya aku pagi ini, rasanya seperti terguyur hujan setelah setahun
mengalami kekeringan.
Aku berjalan begitu cepatnya hingga
lupa kalau hari ini adalah hari dimana biasanya Bi Lastri juga pergi ke pasar
ini untuk belanja bahan-bahan makanan. Ah... kesenangan mulai membutakan
mataku. Belum sampai di warung Mak Sri, langkahku tertahan oleh sebuah suara
tak jauh dari tempatku berdiri. Ia memanggil namaku dengan pandangannya, mirip
seperti seekor kucing yang sedang menemukan sepiring ikan goreng. Kepalaku
mendadak pusing, badanku terasa ringan dan tak terkendalikan. Aku ingin lari,
namun nyatanya sudah tak kuat lagi. Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu.
@@@
Kubuka mata ini perlahan, awalnya
buram lalu semakin kelihatan. Aku tak asing dengan ruangan ini. Sebuah lemari
kecil dengan al-qur’an serta sebuah buku lusuh terletak di atasnya. Di bawah
lemari tampak setumpuk potongan kertas-kertas bungkus tempe yang tertata rapi.
Syukurlah, Bi Lastri tidak membakarnya. Yang paling menyolok mataku adalah
sepiring nasi dengan dua iris tempe goreng dengan sedikit kuah soto. Aku begitu
lapar, entah berapa hari aku tak makan nasi seenak ini. Meski hanya tempe
goreng, namun bagiku tak kalah lezatnya dengan daging ayam yang ada di
restoran. Hingga habis tak tersisa lagi sebiji nasi sekalipun. Setelah kenyang,
barulah pikiranku teringat pada wanita itu. Aku pasrah dengan apa yang terjadi
setelah ini. Tubuhku masih terlalu lelah, aku kembali tertidur dengan begitu
pulasnya. Namun itu tidak berlangsung lama, saat Bi Lastri memercikan air ke
wajahku.
“Bagus ya... setelah makan, tidur.
Macam tuan putri saja kau. Pergi seenaknya, sok bisa hidup sendiri!”, Ucapnya
dengan muka penuh amarah. Aku hanya tertunduk diam tak berani menatapnya.
Apapun yang terjadi memang aku yang salah. Kalau toh bukan aku, pasti baginya tetap aku yang salah.
“Sana beli tempe mentah ke Pak
Slamet. Ini uangnya. Awas saja kalau kau berani kabur lagi. Tak akan
kupedulikan lagi jika nyawamu dicabik-cabik anjing diluar sana....”, kata Bi
Lastri dengan mata melotot dan menunjukkan jarinya ke mukaku. Aku hanya bisa
mengangguk ngeri membayangkan ucapannya.
Namun aku sedikit lega kembali ke
kampung ini. Setidaknya aku merasa lebih aman dari godaan preman-preman yang sering
mengancam kesucianku waktu masih jadi pemulung dulu. Aku juga mempunyai
kawan-kawan baik yang senantiasa mau mendengarkan keluhanku. Meski tak bisa
seratus persen mengobati kegalauanku, namun cukuplah untuk meringankan
penderitaanku. Langkah-langkahku kali ini penuh dengan rasa syukur pada
kehidupanku sekarang. Sesaat di tengah perjalanan menuju rumah Pak Slamet hatiku
terketuk melihat sekelompok anak jalanan yang berkerumun membaca selembar
kertas. Mereka berusaha mengeja hurufnya satu per satu. Ternyata mereka masih
punya semangat untuk bisa membaca. “Ah, andai Bapak Presiden ataupun Menteri
Pendidikan melihat kejadian ini!”, kataku dalam hati.
Sejak itu, aku berubah profesi
menjadi guru sekaligus penjual tempe di kompleks ini. Namun bukan seperti
guru-guru yang biasanya menenteng buku dengan seragam dan sepatu mengkilap yang
mereka kenakan setiap hari. Aku juga bukanlah sarjana yang berpendidikan
tinggi, aku hanyalah lulusan SD yang bahkan tak sempat mendapatkan ijazah
karena tertimpa musibah. Aku cukup menggunakan kertas-kertas bungkus tempe ini
sebagai media pembelajaran dengan anak-anak jalanan sebagai muridnya. Mungkin
aku tidak akan mendapat penghargaan seperti mereka. Mungkin aku tidak mendapat
gaji yang besar seperti mereka. Namun aku ingin memberi perubahan dengan apa
yang aku mampu. Aku ingin membagikan apa yang aku tahu. Inilah aku dengan
“Sekolah Bungkus Tempe”ku.
Komentar
Posting Komentar