“Barang siapa yang bergembira dengan datangnya Bulan Ramadhan, maka
Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka…”.
Ceramah dari
ustad favoritku terdengar merdu di telingaku. Malam ini adalah malam dimana
kami menunaikan sholat tarawih yang pertama ditahun ini. Antusiasme kami
terpanggil untuk datang ke masjid Al-Munawar menyambut bulan penuh berkah, bulan
suci ramadhan. Semuanya datang tanpa beban. Hingga Bang Yoni yang
keterbelakangan mental pun turut serta sholat tarawih meski tertatih-tatih.
Sungguh pemandangan langka yang teramat kurindukan. Suasana dimana masjid sesak
dipenuhi warga. Suasana di mana semua jama’ah menjawab dengan suara keras, “Shalu’alaihi….Shalu’alaihi….Rasulullah…!”,
seruan bilal di tengah pergantian raka’at. Ah…ramadhan memang penuh dengan
kejutan.
Ceramah usai,
disambung dengan pengucapan niat puasa bersama-sama. Nyanyian sang Imam
mengantar kepulangan para jama’ah diiringi irama bedug bertalu-talu. Para
jama’ah bergegas keluar disambut sandal-sandal yang turut bergembira berjumpa
dengan kawan seperjuangannya. Sandal-sandal beraneka rupa yang mengemban tugas
yang sama, sebagai alas kaki. Dari yang mulus hingga yang berlobus-lobus. Dari
yang top care, hingga yang ceper.
Semuanya ditopang oleh benda yang sama,
yaitu sepasang sandal. Dan di antara sandal-sandal itulah sandal baruku berada.
Sandal jepit pemberian emakku sebagai ganti sandal lamaku yang putus. Sandal
jepit yang bisa dikatakan pula sebagai hadiah karena aku berhasil masuk sepuluh
besar di kelas. Mungkin bagi sebagian orang ia tak begitu berharga, tapi bagiku
ia begitu berarti. Di mana aku sudah lama merindukan kehadirannya setelah aku
putus hubungan dengan sandal lamaku. Bisa ku bayangkan saat ini ia masih setia
menanti, karena majikannya belum menampakkan diri. Bersama remaja masjid
lainnya, aku tetap tinggal untuk tadarus Al-Qur’an hingga larut malam.
Kami tadarus
bergantian dengan dua pengeras suara, satu untuk santri putra, satu untuk
santri putri. Antara santri putra dan putri dibatasi oleh hijab yang kokoh. Ada
yang asik ngerumpi karena kebagian giliran akhir, ada yang sibuk makan krupuk
takjil dari Bu Ustad, dan ada yang menyimak kawannya yang sedang tadarus. Aku
pun sibuk dengan tugas sekolahku, sembari berbincang dengan teman menunggu giliran.
Aku tak habis fikir, di setiap ramadhan aku selalu kebagian giliran tadarus
paling akhir. Dengan alasan, rumah ku
terkategori paling dekat dari santri lainnya. Sempat aku jengkel
saat giliranku semua teman tergeletak pulas tanpa
ekspresi. Begitu aku selesai mereka segera bangun kegirangan bergegas pulang.
Dan kini aku bagai berada di tengah-tengah korban perang sampit yang berkelana
ke alam petualangan mimpinya. Ada yang mendengkur, ada pula yang terpekur.
“Sudah
Is....?”, tanya Ulma sang juara yang berhasil bangun lebih awal di antara
finalis lainnya sambil menoleh padaku.
“Sudah
Ul...dari tadi. Tuh santri cowok udah pada bubar...”, sahutku sembari
mengembalikan Al-Qur’an ke lemari hitam di sudut ruangan.
“Eh
bangun-bangun...pulang teman-teman...”, seru Ulma kepada para finalis lomba
tidur paling pulas di seantero kampung Sukoharjo. Seperti mendengar komando
dari komandan perang, pasukan yang terlelap tadi tergagap-gagap dan bergegas berbenah diri.
Ada yang masih menguap ditambah mengucek mata, ada pula yang masih asik melanjutkan
mimpi indahnya. Namun lima menit kemudian semuanya bangkit membawa barang
bawaannya. Aku sempat tertawa melihat Imah dengan mata yang masih berat
melangkah dengan gontai hampir menabrak pintu masjid. Kini kami bergegas menuju
pujaan kakinya masing-masing. Mereka tampak berserakan karena diinjak-injak
jamaah lainnya. Mataku terus mencari-cari, “Dimana dirimu kini sandal hijau
kesayanganku...”, fikirku mulai cemas. Ku itari seisi teras masjid, namun tak
ku temukan juga. Hatiku bimbang saat satu per satu temanku pergi
meninggalkanku.
“Kamu
kenapa Is...? Sandalmu kemana?”, tanya Ila, sahabat dekatku.
“Nggak
tahu Il...tadi kutaruh di sini...Tapi sekarang kok nggak ada.”,jawabku panik.
“Masak
? Kamu lupa naruh mungkin?”. Ucap Ila cemas.
“Kemana
ya? Ayo ku bantu nyari...?”, hibur Ila yang segera membantuku mencari hilangnya
sandalku.
Kami cari dan terus mencari hingga ke semua penjuru
masjid. Katak-katak yang istirahat terusik, jangkrik-jangkrik yang bernyanyi
pun berhenti mengerik. Inci demi inci kami telusuri, namun yang dicari tak
kunjung pasti. Kami pun putus asa dan memutuskan untuk pulang meski dengan kaki
telanjang. Beralaskankan tanah dan kerikil yang menggelitik urat saraf kakiku.
Menambahkan rasa kesal di dadaku yang tak menentu. Mulai terbayang wajah emakku yang saat ini tertidur pulas. “Ah, maafkan aku mak, aku mengecewakanmu. Sandal baruku tak setia”, ucapku
dalam hati. Aku terus melangkah dengan Ila tanpa banyak bicara. Dalam hatiku
tersimpan seribu tanda tanya. Malam ini takkan ku lupakan seumur hidupku.
Tarawih malam ini berjalan seperti
hari kemarin. Suasana tarawih di hari ke-2 makin terasa karena seharian tadi
kita berpuasa. Namun hal tersebut tak begitu ku nikmati karena hilangnya sandal
biasa namun berhargaku kemarin. Aku harus merelakan pergi ke masjid tanpa
sandal. emakku
belum mempunyai uang yang cukup untuk membelikannya lagi. sementara biaya
daftar ulang serta buku LKS ku belum lunas terbayar. Gaji bapak yang kami nanti
masih lama datangnya. Kekhusyukan shalat tak ku rasakan nikmatnya.
Selama tadarus berlangsung aku hanya
diam. Yang ku ingat hanya kata-kata emakku yang selalu terngiang di telinga.
“Yah Is-Is....tuh sandal emak beli
susah-susah. Nggak ngerti orang lagi krisis apa tu maling...puasa-puasa
lagi...”, namun Sarah si mata sipit membuyarkan lamunanku.
“Is...ikut aku yuk...disuruh Bu Haji
ngambil air minum nih...”.
“Ah....sandalku gimana?”,
“Udah...pinjem punya Ila....ya nggak
La?”, ucap Sarah sambil menoleh ke arah Ila.
“Yups...pinjam punyaku aja
Is,,,,nggak apa-apa”, jawab Ila.
Akupun mengiyakan bergegas keluar
hendak mengenakan sandal Ila yang berwarna merah jambu. Ukurannya lebih kecil
dari ukuran kakiku namun aku nyaman mengenakannya. Terbayang sandal hijauku
yang hilang kemarin,”Di mana kamu sekarang sandal kesayanganku...”,fikirku
konyol. Segera ku alihkan pandanganku pada Sarah yang tampak bingung. Ia
mondar-mandir mengamati satu per satu sandal yang ada. Aku tahu betul, sandal
Sarah mahal, oleh-oleh kakaknya yang jadi TKW di Hongkong. Sarah mulai panik.
Ku hampiri dia, sebelum ku tanyakan mengapa, dia sudah
mendahuluiku,”Ais...sandalku hilang...”.
“Lima hari puasa, lima sandal hilang
entah kemana...”, ucap Sherly puitis sambil menunjukkan lima jari tangannya.
“Iya...sampai aku sekarang telanjang
kaki kalau ke masjid. Emakku belum punya uang buat beli yang baru. Bapak juga
belum gajian...”, tambahku memelas disusul gelak tawa kawan-kawanku.
“Kasihan kamu...tega banget sih tu
maling. Kalau begini caranya besok atau lusa giliran sandalku yang ilang. Bawa
sandal jelek aja kalau gitu nanti....”, timpal Ila.
“Alah...jelek atau nggak sama aja...
Tuh maling nggak pilih-pilih...Punyaku yang udah korengan pun diambilnya...”,
Siti yang semalam kehilangan sandal menegaskan.
“Wadaw...dasar tuh maling. Siapa ya
kira-kira pelakunya...?”, kata Ila.
Semua peserta konferensi meja kotak
dengan jumlah empat orang tersebut diam memutar otak. Ada yang membayangkan
pencuri itu pakai pakaian serba hitam membawa karung corak bintang-bintang. Ada
pula yang membayangkan maling itu pakai pakaian belang-belang mirip tahanan yang ada di TV. Yang paling lucu adalah bayangan
Siti, ia membayangkan maling tersebut bisa menghilang dan muncul sewaktu-waktu,
seperti para pemain laga di film Tutur
Tinular yang berilmu sakti.
“Teeeet....teeeet....teeeet....”,
bel tanda jam pelajaran berakhir menghentikan lamunan konyol kami. Tanpa
basa-basi kami semua mengemasi buku-buku dan bergegas pulang. Selama bulan
ramadhan, pelajaran tidak berjalan efektif. Guru jarang masuk kelas. Sebagai
siswa, konyolnya kami menganggap itu anugrah Tuhan yang patut disyukuri.
Menunggu bel pulang untuk berkumpul dengan komunitasnya masing-masing. Seperti
biasa aku, Sherly, Ila dan Siti berasal dari kampung yang sama dan sangat dekat
dari sekolah kami, MA Darul Hikmah. Kami berangkat dan pulang bersama dengan
jalan kaki. Ditambah lagi kami berempat merupakan bagian dari remaja masjid Al-Munawar, kebersamaan kami semakin terasa.
Di perjalanan pulang kami
berbincang-bincang dan bercanda. Kami lewati jalan setapak yang berbatu. Ketika
kami belok di sebuah gang kami
bersimpangan dengan Bu Rokah yang jalan tergopoh-gopoh tanpa menyapa. Ia
bergerak bagai dikejar setan ompong di siang bolong. Setelah Bu Rokah
meninggalkan kami tiba-tiba Sherly menghentikan langkah kami.
“Kalian lihat nggak sandal Bu
Rokah?”, tanyanya sambil menoleh ke arah Bu Rokah. Seketika pandangan kami
tertuju pada sandal yang dikenakan Bu Rokah.
“Emangnya kenapa?”, tanya kami
hampir bersamaan.
“Mirip punya Imah yang hilang kemarin,”, jawab Sherly.
“Ah...aku rasa sandal kayak gitu di
pasar banyak.”, sahutku tanpa basa-basi.
“Eits,,,,tunggu dulu. Kalian masih
inget sandal Sarah yang dibelikan mbaknya kemarin dari Hongkong? Aku lihat si
Tamrina, anak pertamanya Bu Rokah yang Cuma jualan sayur itu pakai persis,
ukuran dan warnanya sama punya Sarah. Masak ada sih yang jualan sandal kayak
gitu di sini? Kalau toh ada harganya pasti mahal...”, cerita Sarah penuh
semangat seperti seorang orator yang meyakinkan pendengarnya.
“Masak sih?”, tanya Siti kaget.
Kami berempat terdiam sejenak
terbawa cerita Sherly tadi, membayangkan kondisi rumah Bu Rokah di ujung
kampung dekat sungai kumuh yang reyot hampir roboh. Sejak ditinggal suaminya,
kondisi keluarganya makin susah. Bersama ke
lima anaknya ia menjalani hari-harinya menjadi seorang
penjual sayur. Namun benarkah dia rela mencuri sandal karena himpitan ekonomi?
Fikiran kami melancong kemana-mana.
Kabar tentang hilangnya
sandal-sandal santriwan-santriwati masjid Al-Munawar makin meluas. Tak hanya di kalangan remaja, namun
menyebar hingga kalangan dewasa. Semuanya dirundung rasa penasaran tentang
siapa sebenarnya maling sandal tersebut. Sudah terhitung sekitar 27 sandal yang
hilang. Masyarakat yang menjadi korban pencurian sandal tersebut merasa sangat
kecewa. Masjid yang seharusnya jadi tempat pencipta ketenangan justru dirasakan
menjadi tidak aman. Bahkan ada beberapa masyarakat yang tidak memakai sandal ke
masjid. Mereka mengantisipasi agar tidak kehilangan sandal. Jama’ah makin
berkurang, mereka memilih shalat tarawih ke masjid lain.
Sebagai remaja
masjid, kami merasa kawatir dengan keadaan tersebut. Hal ini tidak pernah
terjadi sebelumnya. Dengan dikoordinasi Ikhwan sang ketua Remaja Masjid
Al-Munawar, kita mengadakan rapat anggota. Hari ini, dengan formasi melingkar
kami serius membicarakan kasus hilangnya sandal jepit yang menelan banyak
sandal tak berdosa. Ada yang lirik-lirikan, ada yang sibuk ngrumpiin baju baru,
dsb. Lucu juga melihat mereka riuh berbicara satu sama lainnya setelah hijab
yang lama ditutup tersingkap. Namun tiba-tiba sang ketua menenangkan suasana,
“Diam…teman-teman. Assalamu’alaikum Wa rohmatullohi wa barokatuh….”. setelah
semua menjawab salam dan suasana mulai tenang, ia memulai rapat. “Melihat kasus
hilangnya sandal jepit tersebut, kita sebagai anggota remaja masjid Al-Munawar
punya tanggung jawab atas itu. Apakah ada usulan?”.
Semua
terdiam hening tanpa suara. Ku pandangi wajah Siti yang tak berkedip mengamati
wajah Ikhwan, pujaan hatinya. Satu per satu peserta rapat menyampaikan
usulannya. Aku mendengarkan dengan seksama. Suasana mulai tegang. Berbagai
argumen telah dilontarkan. Selang beberapa menit kemudian, aku mencoba
menyampaikan sebuah tak-tik.
“Lapor…
saya ada usulan!”, ucapku sambil mengacungkan tangan.
“Silahkan…”,
jawab Ikhwan sang ketua dengan lembut.
“Bagaimana
kalau kita menggunakan sebuah tak-tik….”,
semua mulai diam mendengarkan dengan seksama, lalu ku lanjutkan kalimat
selanjutnya.
“Kita
sangat membutuhkan bantuan dari teman-teman yang berhalangan, atau lagi
menstruasi. Pada waktu sholat tarawih berlangsung, mereka mengawasi dari
kejauhan. Pengawasan bisa dilakukan di bawah pohon beringin, atau di bawah
pagar. Yang lain tetap sholat seperti biasa. Pada waktu tadarus, yang belum
kebagian giliran jaga-jaga di luar….”, ku akhiri usulanku melihat raut muka
serius dari para peserta.
“Setuju
sama usulan Ais…”, seru Arga sambil mengacungkan jempol, disambung riuh peserta
lain membuatku malu. Ah, gossip antara Arga dan aku sangat menggangguku,
padahal sama sekali kita tidak ada hubungan special apapun. Suasana segera
ditenangkan oleh sang ketua, “Tenang dulu teman-teman…saya setuju dengan usulan
Ais. Bagaimana dengan teman-teman?”, ucapnya sambil melemparkan pandangannya ke
semua peserta. Secara serempak peserta menjawab, “Setuju…!”. Rapat pun masih berlanjut
disusul dengan penyusunan tak-tik dan
pembagian tugas.
Rapat selesai hingga pukul 24.00
WIB. Kami pulang ke rumah masing-masing membawa tugas esok yang siap kami
laksanakan. Ada yang tetap tinggal untuk ronda menunggu waktu sahur. Fikiran
kami mulai dipenuhi bayangan si pencuri misterius itu segera tertangkap, dan
jama’ah masjid kembali melimpah. Sandal-sandal tak berdosa itu segera kembali.
Aku mulai tersenyum lega, meski sekarang emak sudah membelikanku yang baru
namun enggan ku pakai ke masjid. Aku takut sandalku itu hilang lagi. “Dan esok,
Si PS alias Pencuri Sandal itu akan segera tertangkap”, fikirku lagi penuh
harap.
Tarawih
malam ini berjalan seperti biasa. Kebetulan aku dan tiga temanku yang
berhalangan tidak sholat mengawasi situasi sandal di masjid. Rumah ustad yang
terletak dekat masjid tampak sunyi, karena malam itu kami dengar kabar bahwa
salah satu putrinya yang kelainan jiwa sedang sakit. Ibunya tetap di rumah menemani
putrinya yang sakit tersebut. Nyamuk
mulai berdatangan. Di balik pagar ini kami menanti dan terus mengamati. Raka’at
demi raka’at terus berganti. Seruan bilal disambut suara jama’ah menggema
hingga pagar kayu ini, tempat dimana kami, para pahlawan sandal bertengger.
Suasana sekitar sandal masih tetap biasa saja. Tidak ada aroma mencurigakan sama
sekali. Kami mulai bosan menderita gatal-gatal akibat gigitan nyamuk yang
nakal. Ditambah lagi aroma dingin yang menusuk tulang. “Hufh, perjuangan kami
malam ini harus berhasil,maling….di mana kamu?”,fikirku.
Hingga
sholat tarawih berakhir, pencuri itu tidak memperlihatkan batang hidungnya.
Kesal menyeruak dalam dada kami. Mungkin saja pencuri tersebut mengetahui tak-tik kami. Di mana dia bisa tahu? Rencana
kami tidak membuahkan hasil. Di saat lagi kesalnya, kami kaget melihat sosok
berjubah putih di belakang kami. Keringat kami bercucuran, mulut kami terbungkam.
Lemas rasanya saat makhluk itu menyapa kami,
“Sedang
apa kalian di sini”, ucapnya serius.
“Pak Ustad…”, jawab kami serentak sambil
menundukkan kepala.
“Allahu
Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar…Laa Ila Ha Ilallahu Wallahu Akbar…Allahu Akbar
Wa Lillahil Hamdu…”.
Suara
takbir menggema menyeruak ke segala penjuru. Malam penuh nikmat yang dinantikan
hadir menumbuhkan kebahagiaan ke sanubari. Ramadhan usai, disusul dengan malam
takbir penuh syahdu. Rumah-rumah penduduk terang benderang memancarkan cahaya
kemenangan. Senyum tulus terukir indah di setiap wajah umat muslim. Harapanku,
kami bisa bertemu dengan Ramadhan berikutnya, amin. Ah, tak terkira
kebahagiaanku malam ini. Meski tanpa baju baru, tapi inilah malam dimana semua
umat islam sedunia mengumandangkan irama takbir beramai-ramai. Seperti mereka
pada umumnya aku pun ingin bersama teman-teman takbir di masjid. Seusai berbuka
dan menata makanan di meja, aku bergegas menuju masjid bersama temanku.
Di
perjalanan kami berbincang-bincang tentang topik kejadian kemarin. Aku dan tiga
temanku terkekeh mengingat kami kemarin kena hukum Pak Ustad. Bukannya
menemukan maling sandal, tapi kita di hukum membersihkan tempat wudhu yang
sudah lama tak pernah dikuras. Kami tak berani membantah. Ah, cerdas sekali
maling tersebut. Pengalaman malam itu tak kan kami lupakan. Di tengah kesal
yang menyeruak di tambah hukuman Pak Ustad yang menguras tenaga, misteri Si
Pencuri Sandal tersebut belum tersibak.
Tibalah
kami di jalan kecil depan masjid. Suasana tampak ramai di bagian teras masjid.
Tampaklah anak Pak Ustad yang kelainan jiwa tersebut di antara puluhan sandal
yang tertata rapi. Dengan wajahnya yang tampak cerah ia meneriakkan suaranya,
“Di pilih-di pilih…sandal bagus.
Dari yang seribu rupiah, hingga seratus ribu rupiah ada. Bagi yang berminat
hubungi saya. Akan mendapat sandal cantik beserta bonusnya, yaitu senyum manis
dari saya…”. Aku dengan ragu melangkah dengan teman-temanku menuju tempat yang
menjadi pusat perhatian tersebut. Tampak para warga yang melihat dengan wajah
prihatin dan tak percaya. Aku pun demikian adanya. Saat ku dekati, mataku
langsung tertuju pada sandal hijau yang tergeletak manis di pojok meja. Dia
seolah-olah memanggilku minta tolong. Aku masih tetap saja terpaku. Ku pandangi
lagi sandal-sandal yang lain. Di bagian paling atas,tampak sandal paling
mencolok berwarna merah. Bisa ku tebak itu sandal Sarah yang dari Hongkong.
Wajah Bu Rokah yang sempat ku curigai mulai terbayang, aku merasa bersalah.
Yang paling bawah dan tampak tak terurus, sandal Siti yang korengan berada.
Hah, aku masih tak percaya beserta korban-korban sandal yang tak berdaya
lainnya. Ku pandangi tiga kata di tulis dengan huruf besar-besar di atas kertas
kardus dan ku baca dalam hati, “SANDAL-SANDAL HAMIDAH”. Cita-cita Hamidah, anak Pak Ustad yang gila
untuk menjadi pengusaha sandal tersebut tercapai pada malam takbir ini.
Komentar
Posting Komentar