![]() |
pict: 3bp.blogspot.com |
Rabu (19/12/17), Wakil
Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno hadir di Acara Launching Program Jakarta Utara Berdaya dan peresmian Baziz Corner
untuk memberikan sambutan bersama Husein Murad (Walikota Jakarta Utara). Naskah
pidato yang telah disiapkan hilang. Dua ajudan tak berhasil menemukan naskah di iPad milik Sandiaga. Selama 10 menit, sambutannya didominasi
gurauan. Mungkin hal ini tidak akan terjadi, jika naskah pidato tersebut juga dicetak
pada selembar kertas.
Bisa
saja kita mengkritisi Sandiaga karena tidak membaca sedikit teks pidatonya sebelum acara dimulai. Sehingga
sekalipun naskahnya hilang, ada beberapa hal yang bisa disampaikan pada hadirin
tanpa harus bergurau kemana-mana. Namun dia mungkin saja bisa lupa, karena
ingatan manusia juga terbatas. Rupanya, kecanggihan teknologi yang dianggap
lebih efisien itu tak bisa membantunya menyampaikan inti sambutan yang harus
disampaikan.
Kertas merupakan benda ajaib yang
disia-siakan oleh Sandiaga untuk pidatonya. Sejak kecil kita selalu dikenalkan
dengan benda ini sebagai salah satu hal yang wajib ada saat sekolah. Mulai dari
perahu, pesawat, origami dan segala pernak-pernik yang bisa dibuat dari kertas,
telah banyak dikuasai anak-anak pada zamannya. Namun kita tak pernah dikenalkan
pada sejarah penemuan kertas. Bagaimana benda keramat itu ditemukan hingga
memberikan kontribusi begitu besar bagi peradaban.
Konon,
kertas diciptakan karena keresahan seorang Tionghoa bernama Cai Lun. Ia bosan
dengan metode penulisan kuno dengan media bambu dan potongan sutra. Bambu berat
jika dibawa kemana-mana, dan harga sutra saat itu sangat mahal. Cai Lun
mendapatkan ide untuk membuat kertas dari kulit pohon, rami-rami, jaring ikan
hingga potongan kain. Saat itu ia memakai kulit kayu murbei. Ia ambil bagian
dalam kulit kayunya, dipukul-pukul hingga seratnya lepas dan direndam lalu
dicampur dengan rami-rami, kain bekas, dan jaring ikan. Setelah menjadi bubur,
lalu ditekan-tekan hingga tipis dan
dijemur. Pada tahun 105 Masehi ia mempersembahkan temuannya pada Kaisar Dinasti
Han.
Kontroversi antara Fungsi dan
Konservasi
Perkembangan teknologi digital yang
melipat dunia agar lebih efisien mulai menjamur di segala bidang. Penggunaan
kertas dianggap bisa menurunkan produktifitas dan efisiensi, baik dalam
administrasi dunia kerja, penyebaran ilmu pengetahuan, hingga transaksi
pembayaran. Setiap pagi kita bisa mengakses berita tak hanya melalui koran atau
media cetak lainnya karena portal berita digital sudah bisa diakses gratis
sepanjang hari hanya dengan memanfaatkan jaringan internet. Buku-buku
elektronik (e-book) juga makin banyak
diproduksi. Dengan membuka ponsel dan mengunduh pdf.nya saja, kita sudah bisa
menikmati novel kesayangan atau jurnal penelitian untuk membantu menyelesaikan
makalah perkuliahan. Sandiaga Uno juga tak mau melewatkan kemajuan teknologi
ini untuk menyimpan naskah sambutan pidatonya.
Tak hanya gempuran digital, isu-isu
tentang lingkungan juga tak lepas untuk menyerukan pembatasan produksi kertas. Pemerhati
lingkungan mengkalkulasi bahwa 35% hasil panen kayu di dunia diambil untuk
produksi kertas, atau setiap jam 1.732,5 hektar hutan ditebang demi kebutuhan
produksi ini. Ditambah lagi setiap 3 lembar kertas diperlukan 1 liter air dalam
proses pembuatannya. Tahun 2012 lalu, Walt Disney yang juga memproduksi
buku-buku anak ‘’The Jungle Book’’ memboikot produk kertas Indonesia karena
dianggap tidak ramah lingkungan. Wakil Menteri Perdagangan kala itu, Bayu
Krisnamurthi, membantah tuduhan ini karena kertas Indonesia diproduksi oleh
industri kehutanan yang mengantongi dokumen V-Legal sebagai bagian dari
ketentuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) (dikutip dari Kompas.com, 25/10/2012). Sekalipun
Disney tak banyak mengimpor kertas buatan Indonesia, namun sedikit banyak ini
dikhawatirkan akan mempengaruhi pandangan konsumen dari luar negeri sehingga menurunkan angka ekspor dan devisa
bagi negara (US$ 4,9 Miliar pada 2016 lalu).
Yang
terbaru, diterbitkannya Surat Keputusan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 16 Oktober 2017 yang membatalkan
persetujuan Rencana
Kerja Usaha (RKU) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) untuk periode 2010-2019 dengan alasan pihak perusahaan
menolak mengubah rencananya agar sesuai dengan aturan baru soal perlindungan
lahan gambut (bbc.com, 25/10/17). Setelah terbitnya SK
ini, perusahaan langsung menghentikan seluruh kegiatan operasionalnya.
Akibatnya, ribuan massa dari serikat pekerja melakukan unjuk rasa di Kantor
Gubernur Riau agar izin operasional RAPP dilanjutkan. Hingga akhirnya pihak
perusahaan akui telah salah interpretasi, bahwa dengan ditangguhkannya RKU tersebut, maka izin operasional dicabut. Mereka
akhirnya bersedia merevisi RKU agar tidak lagi menggunakan lahan gambut untuk
upaya konservasi.
Mengapa
jadi Mubazir?
Bagaimanapun adanya, produksi kertas
di negeri ini masih menimbulkan kontroversi. Mulai dari aktivis lingkungan
hingga para pegiat literasi. Pelaku usaha juga tak mau kalah, karena biar
bagaimanapun juga kertas begitu berjasa dalam memberikan tampilan menarik tiap
kemasan produk yang dijualnya. Dibalik perdebatan yang tiada habisnya ini,
diam-diam ada beberapa orang yang berpotensi membuat produksi kertas jadi
mubazir bahkan merugikan beberapa kalangan.
Golongan
pertama adalah mereka yang malas membaca buku. Joseph
Brodsky pernah mengatakan, bahwa ada yang lebih jahat dari membakar buku, yaitu
dengan tidak membacanya. Peringkat 60 dari 61 negara untuk Indonesia dengan
minat baca paling rendah menurut Penelitian The
World's Most Literate Nation yang dilakukan oleh The Central Connecticut State University pada 2016 sebenarnya juga
tidak bisa terus menerus jadi alasan pembenaran. Sulitnya akses serta mahalnya
buku di beberapa toko besar bisa jadi merupakan faktor lain yang turut
mendukung. Tapi tak bisa dipungkiri, bahwa budaya membaca masih asing hingga
hari ini. Membaca update timeline di
medsos lebih menarik daripada menghabiskan waktu luang untuk sekedar membaca
buku. Kertas-kertas berisikan pemikiran
dan wawasan yang dicetak itu tak akan ada artinya jika tidak ada yang berkenan
membaca. Jika tak bisa membeli, perpustakaan sudah semakin merebak sekarang.
Pegiat literasi dan taman baca masyarakat sudah mulai difasilitasi. Maka
mencampakan kertas dalam wujud buku merupakan suatu tindakan yang membuat
kertas ajaib berbentuk buku itu menjadi mubazir.
Golongan
kedua adalah perusahaan kertas yang tak ramah lingkungan. Kemenperin mencatat, Indonesia memiliki 82 industri
pulp dan kertas pada tahun 2013, yang terdiri 4 industri pulp, 73 industri
kertas, serta 5 industri pulp kertas terintegrasi dengan kapasitas terpasang
sebesar 18,96 juta ton (kompas.com, 18/11/16). Tak heran jika Indonesia menempati peringkat ke-9 sebagai produsen pulp terbesar di
dunia dan produsen kertas ke-6 terbesar di dunia. Tudingan Walt Disney tentang
kertas Indonesia yang tak ramah lingkungan (yang berhasil dibantah) perlu kita
waspadai. Kasus RAPP yang akhirnya terselesaikan juga perlu ditinjau lebih jauh
lagi. Komunikasi dan pertimbangan yang kontinyu akan pentingnya menjaga
kelestarian hutan harus terus diperhatikan. Belum lagi pabrik-pabrik kertas
yang masih sering membuang limbah sembarangan dan tak mematuhi AMDAL. Untungnya
masih ada perusahaan produk kertas daur ulang (misalnya Suparma Tbk) dan mau
menerapkan teknologi produksi yang ramah lingkungan (seperti yang diterapkan
RAPP). Pakar akademisi dan beberapa hasil penelitian untuk meminimalisir
penggunaan kayu dalam produksi kertas juga perlu terus diberikan dukungan.
Golongan
ketiga adalah konsumen kertas yang boros. Sebagai mahasiswa, saya pernah
mengalami fase terjahat dalam memanfaatkan kertas. Yaitu saat musim laporan
praktikum tiba. Berapa lembar kertas revisian yang terbuang setiap hari. Jika
salah satu tanda titik saja, laporan kami tak bisa diterima dan harus
dibenarkan lagi sampai tidak ada kesalahan sama sekali. Parahnya lagi yang
dicetak hanya satu sisi, sementara sisi baliknya dibiarkan kosong begitu saja.
Tak hanya mahasiswa, konsumen yang turut menyumbang pemborosan ini sudah
menjalar ke ragam profesi lainnya. kadang kita terlalu malas untuk menjual
tumpukannya ke tukang loak sehingga yang harusnya bisa didaur ulang, menjadi
sampah yang terbuang percuma. Kemasan-kemasan dan kardus bekas kadang tak
dimanfaatkan dan disimpan dengan baik, sehingga kesulitan mencarinya saat
dibutuhkan.
Golongan
keempat adalah mereka yang membakar dan melarang peredaran buku karena alasan
ideologis. Hasil penelitian Iwan Awaluddin Yusuf
(et al) berjudul Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks
Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, membahas bagaimana pelarangan buku
terjadi sejak zaman kerajaan hingga pasca orde baru dan gerakan untuk
melawannya. Orang begitu
dengan mudahnya membungihanguskan ratusan karya dan hasil pemikiran
penulisnya. Di satu sisi kita sedang bimbang untuk meningkatkan minat baca, dan
di sisi lain ada golongan orang (bahkan aparat negara) yang seenakudelnya membakar buku-buku (yang
belum tentu dibaca isinya itu). Keberadaannya dianggap membahayakan, dan
membakarnya adalah hal yang merasa wajib dilakukan. Tanpa mereka sadari,
menulis adalah upaya mengabadikan pemikiran seseorang, dan membakarnya
merupakan salah satu upaya pembungkaman dan menghentikan upaya pengabadian itu.
Ada hak yang telah dilanggar, suara yang dibungkam. Padahal ada beberapa upaya
yang bisa dilakukan untuk melawan pemikiran dalam buku yang dianggap berbahaya
itu tanpa harus membakar dan melarang peredarannya. Misalnya saja dengan
menerbitkan buku baru untuk memberikan perspektif yang membuktikan bahwa
pemikiran yang ditakuti itu bermasalah.
Mungkin kita selama ini tak
menyadari telah masuk ke dalam beberapa golongan yang membuat kertas menjadi
mubazir. Mungkin juga beberapa dari kita telah melupakan fungsinya hingga
mengalami hal yang serupa dengan Sandiaga Uno saat memberikan sambutan. Yang
perlu kita sadari hingga hari ini, kertas tak ingin dilupakan dan diperlakukan
seenaknya. Dia berasal dari alam, yang bisa berkomunikasi dengan manusia dan
berreaksi akibat ulah mereka melalui caranya sendiri.
Semangat kakk
BalasHapus