Belajar Seni Menunggu Lewat Novel Sirkus Pohon



‘’Cinta selalu memihak pada mereka yang menunggu’’,
Andrea Hirata dalam novel Sirkus Pohon.


                Menunggu bukan pekerjaan yang mudah. Mulai dari menunggu dosen meluangkan waktunya untuk merevisi skripsi, menunggu teman yang sudah membuat janji, menunggu narasumber yang tak kunjung datang, menunggu gaji turun di awal bulan, menunggu jodoh (eh), dan menunggu apapun. Semuanya menguras stok kesabaran. Tapi lewat novel Sirkus Pohon, Andrea seolah mengajak pembaca untuk menjadikan menunggu sebuah pekerjaan yang menyenangkan. Dengan sedikit debar, cemas dan buih-buih keyakinan, apapun hasilnya nanti. Sekalipun yang ditunggu tak datang, dunia tetap berputar dan kita akan tetap mendapat balasan yang setimpal.
                Sobri, tokoh utama dalam novel ini telah lama membujang. Di usianya yang ke 28 ia tak kunjung mendapatkan pasangan dan pekerjaan. Sobri hanya lulus SD karena bujukan Taripol, kawannya yang berandal. Ia masih tinggal bersama ayah dan adik perempuan yang hobi mengomel beserta suami dan kedua anaknya. Kedua kakak laki-lakinya telah bekerja jadi pegawai PN Timah dan PNS. Ibunya barusaja meninggal, dan ayahnya linglung selama 40 hari karena itu. Tapi setelahnya sang ayah bangkit lagi. Melihat keteguhan ayahnya Sobri mencoba meyakinkan diri, ‘’Jika suatu hari nanti nasib memberiku cinta, aku ingin mencintai perempuanku seperi ayah mencintai ibuku, dan aku berjanji pada diriku sendiri, jika ditimpa kesedihan, aku tak mau bersedih lebih dari 40 hari. Aku ingin tabah seperti ayah. Namun apakah nasib memberiku cinta?’’
                Ya, nasib akhirnya memberikan Sobri cinta di usia 31 tahun. Setelah kejadian menjengkelkan di kantor polisi akibat kelicikan Taripol, Sobri bertemu seorang perempuan yang mengubah jalan hidupnya. Sobri akhirnya menemukan semangat hidupnya untuk bekerja. Dia mulai mencari pekerjaan tetap agar bisa melamar Dinda, gadis Melayu pujaan hatinya. Hingga Sobri bekerja di sebuah sirkus keliling. Pekerjaan yang telah lama ditunggu itu akhirnya didapatkannya. Ia bekerja dengan penuh semangat. Seluruh anggota keluarga, terutama sang ayah, bahagia mengetahui Sobri mendapat pekerjaan. Dan Sobri siap melamar Dinda. Rumah untuk mereka berdua tinggali juga sudah siap berdiri.
                Namun semuanya tiba-tiba berubah, saat Dinda tiba-tiba seperti orang bingung yang tak bisa tersenyum setelah hilang dari rumah. Dinda ditemukan di bawah pohon delima yang dianggap keramat. Hingga Sobri putus asa, dan lamarannya gagal. Dia hampir melepaskan harapannya untuk mempersunting Dinda. Hingga akhirnya sepasang burung kutilang yang setiap pagi hinggap di pohon delima samping rumah barunya menyadarkan. Sobri teringat pada Dinda dan kembali berjuang untuk membantu kesembuhannya. Semua perjuangan dan kesabaran sebelum Dinda kembali tersenyum diupayakan oleh Sobri sembari fokus bekerja sebagai badut di sirkus keliling. Anak pemilik sirkus pohon yang bernama Tara, juga punya pengalaman menunggu tak kalah hebatnya dari kisah Sobri.
                Kisah Tara yang menunggu pertemuannya dengan Tegar selama bertahun-tahun digambarkan begitu kuat oleh Andrea Hirata. Betapa mereka akhirnya berhasil bertemu namun tak pernah saling tahu karena nama Tegar di awal pertemuan belum sempat diketahuinya. Tara mencari, dan Tegar juga tak diam memperjuangkannya. Hingga mereka bertemu dan jatuh cinta. Sempat berpikir untuk melupakan cinta pertama mereka yang sebenarnya adalah orang yang sama, di akhir cerita akhirnya mereka saling tahu. Yang menarik adalah upaya mereka selama menunggu. Tara berupaya keras belajar seni untuk membesarkan sirkusnya, dan Tara tak kalah rajinnya belajar dan bekerja lebih ekstra demi membiayai ibu dan meraih cita-citanya. Dimana di sela cita-citanya, impian tentang cinta pertama telah menjadi motivasi kuat bagi mereka. Ya, seperti kata Andrea Hirata tadi, cinta selalu memihak pada mereka yang menunggu.
                Terlepas dari seni menunggu yang berujung bahagia, upaya untuk melawan keterpurukan dalam novel ini selalu bisa kita pelajari. Bagaimana Andrea bisa menggambarkan, bahwa sepahit apapun hidup, masih ada yang bisa kita tertawakan. Kisah teman dan lawan juga digambarkan lewat Taripol dan pergulatan politik dalam pemilihan kepala desa. Akan ada beberapa sindiran yang kita temukan dalam beberapa kutipan, misalnya pada halaman 208, ‘’Pepatah masa kini adalah bicara itu berlian. Karena orang sekarang sudah tak bisa lagi disindir-sindir. Orang sekarang buta membaca tanda-tanda, bebal kiasan!’’

                Di penghujung halaman setelah menyelesaikannya selama dua malam, saya sadar jika sudah lama rindu pada buku-buku novel semacam ini. Untuk menghibur diri, melatih kesabaran dalam menyelesaikan majalah dan skripsi. Tidak ada yang berat, menunggu bisa jadi adalah proses yang nikmat. Yang pasti menunggu ada seninya, dan kita tidak bisa diam saja sebelum yang ditunggu tiba. Tidak bisa saya ceritakan semua karena Anda wajib membacanya. Satu hal keinginan saya setelah membaca buku ini selain agar tetap bahagia adalah menanam pohon delima. Andrea telah menjadikan pohon delima tanaman yang diceritakan sebegitu cantiknya sampai akhirnya tanaman itu mati. Ya semoga cita-cita saya bisa lekas terwujud.

Komentar